Islam Untuk Semua Umat

air bekas wudhu




يقول أَبَو جُحَيْفَةَ : خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بِالْهَاجِرَةِ، فَأُتِيَ بِوَضُوءٍ، فَتَوَضَّأَ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ، مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ، فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ، فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ .


وَقَالَ أَبُو مُوسَى، رضي الله عنه : دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بِقَدَحٍ فِيهِ مَاءٌ، فَغَسَلَ يَدَيْهِ، وَوَجْهَهُ فِيهِ، وَمَجَّ فِيهِ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُمَا، اشْرَبَا مِنْهُ، وَأَفْرِغَا، عَلَى وُجُوهِكُمَا، وَنُحُورِكُمَا .

(صحيح البخاري)



Berkata Abu Juhaifah (ra) : keluar pada kami Rasulullah saw diwaktu musim puncaknya panas, maka dibawakan untuk beliau saw bejana utk wudhu, maka beliau saw berwudhu, maka jadilah orang berebutan mengambil air bekas wudhu beliau saw dan mengusapkannya ke wajah dan tubuh mereka, maka Rasul saw shalat dhuhur dua rakaat, lalu ashar dua rakaat (jamak taqshir) dan dihadapannya terdapat pancang penghalang.

Dan berkata Abu Musa ra : dibawakan pada Nabi saw bejana air, maka beliau saw mencuci kedua tangan, dan wajah beliau saw, dan berkumur, lalu bersabda Rasulullah saw kpd kami berdua : Minumlah kalian berdua air ini, dan basuhkan ke wajah kalian berdua dan leher kalian berdua.

(Shahih Bukhari)



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ .

Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala, yang saat ini kita berada di dalam naungan rahmat dan keluhuran-Nya, di dalam naungan kewibawaan-Nya, di dalam naungan kekuasaan-Nya, di dalam naungan kasih sayang-Nya, Yang Maha menentukan masa depan kita di dunia dan akhirat. Dan perkumpulan seperti inilah yang akan membuka banyak gerbang kebahagiaan dan rahmat Allah di dunia dan akhirat. Dan kita senantiasa berlindung kepada Allah dari perkumpulan-perkumpulan yang di dalamnya diperbuat hal-hal yang dimurkai Allah subhanahu wata’ala, yang darinya Allah subhanahu wata’ala banyak mendatangkan musibah di dunia dan akhirat, karena perkumpulan dosa dan maksiat itu mencipta musibah baik di masa hidup di dunia atau kelak di akhirat. Sungguh perbuatan-perbuatan dosa tersebut akan mendapatkan balasan dari Allah subhanahu wata’ala berupa musibah di dunia dan akhirat. Sehingga sangatlah berbeda antara perkumpulan yang mulia (didalamnya diperbuat hal-hal yang baik dan mulia) dan perkumpulan yang hina (didalamnya diperbuat dosa), yang mana perkumpulan dosa akan menimbulkan bala’ dan musibah di dunia dan akhirat, sedangkan perkumpulan yang mulia akan mendatangkan rahmat dan kebahagiaan dari Allah subhanahu wata’ala di dunia dan akhirat. Alhamdulillah di malam hari ini kita berada dalam perkumpulan kebahagiaan dan rahmat Allah subhanahu wata’ala, yang akan terus berlimpah di dunia dan akhirat.

Hadirin yang dimuliakan Allah, Riwayat sayyidina Abu Juhaifah RA yang tadi kita baca menjelaskan bahwa di suatu hari yang sangat panas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar kepada para sahabat. Al Imam Ibn Hajar Al Asqalani di dalam Fath Al Bari dan Al Imam An Nawawi di dalam Syarh An Nawawiyyah ‘Alaa Shahih Muslim mengatakan bahwa makna kata “Al Haajirah” adalah panas terik. Namun di kalangan para Ulama’ ahli hadits berbeda pendapat apakah waktu tersebut adalah waktu shalat zhuhur ataukah waktu shalat asar, akan tetapi yang pasti di saat itu sinar matahari sangat panas. Maka para sahabat membawa tempat berwudhu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau pun berwudhu, kemudian orang-orang berebutan mengambil air bekas wudhu’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengusapkan wajah dan tubuh mereka. Mereka berebutan untuk mengambil keberkahan dari bekas air wudhu’ sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadits ini mengandung banyak makna, diantaranya adalah diperbolehkannya “Tabarruk”, yaitu mengambil barakah dari sesuatu yang dimuliakan Allah subhanahu wata’ala, baik itu berupa benda atau manusia yang shalih, maka hal tersebut diperbolehkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan merupakan sunnah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Bertabarruk bisa dari benda atau manusia yang shalih, lebih-lebih pemimpin para shalihin sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Diantara bentuk bertabarruk kepada orang-orang shalih adalah seperti memohon doa, atau dengan meminta disentuh dadanya atau kepalanya agar diberi ketenangan, kesejukan atau kesembuhan dari penyakit oleh Allah subhanahu wata’ala dengan keberkahan orang tersebut, dan hal-hal seperti demikian dahulu diperbuat oleh sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan diperbuat oleh para sahabat untuk mengobati orang lain bahkan terhadap kaum non muslim. Sebagaimana yang disebutkan di dalam riwayat Shahih Al Bukhari dimana sekelompok para sahabat melakukan perjalanan dakwah ke tempat yang jauh hingga mereka tiba di tempat suatu qabilah yang mereka semua masih menyembah berhala, dan ketika itu pimpinan (kepala suku) mereka sedang sakit, kemudian orang-orang dari qabilah tersebut berkata kepada para sahabat mungkin mereka bisa mengobati pimpinan qabilah tersebut. Maka para sahabat pun kebingungan apa yang akan mereka perbuat, namun mereka beranggapan jika kepala suku mereka disembuhkan dari sakitnya, maka sangat mungkin jika qabilah tersebut akan masuk Islam. Kemudian salah seorang sahabat membaca surat Al Fatihah lantas meniupkan ke dalam air lalu diberikan kepada kepala suku itu untuk diminum, yang akhirnya dengan izin Allah subhanahu wata’ala ia pun sembuh dari sakitnya. Begitu juga perbuatan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam riwayat Shahih Al Bukhari ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengobati seorang sahabat,,, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :

بِسْمِ اللَّهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا يُشْفَى سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا

“ Dengan nama Allah, debu bumi kami dengan ludah sebagian kami, tersembuhkan penyakit dengan izin Allah subhanahbuw wata’ala”.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menempelkan jempol ke lidah beliau shallallahu ‘alaihi wasalam lalu disentuhkan ke tanah kemudian ditempelkan pada yang sakit, demikian yang diperbuat oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengobati yang sakit, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Dengan nama Allah, debu bumi ini, dengan air liur sebagian dari kami akan tersembuhkan penyakit kami dengan izin Allah subhanahu wata’ala”. Hal ini menunjukkan bahwa bukan hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diperbolehkan untuk berbuat hal tersebut. Al Imam An Nawawi di dalam Syarh An Nawawiyyah ‘alaa Shahih Muslim menjelaskan bahwa diantara sunnah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah membaca surat Al Ikhlas dan Mu’awwadzatai ( Al Falaq dan An Naas) ketika hendak tidur, kemudian sedikit meludahkan atau meniupkan pada kedua telapak tangannya kemudian mengusapkan ke seluruh tubuhnya, demikian yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Al Imam An Nawawi berkata bahwa hal tersebut merupakan tabarruk dengan air ludah yang lidahnya selesai membaca Al qur’an Al Karim, hal tersebut merupakan mengambil barakah dari tubuh kita untuk tubuh kita sendiri. Demikian juga Hajar Aswad, dimana setiap orang yang berkunjung ke Ka’bah akan selalu berusaha dan berebutan untuk menciumnya. Disebutkan dalam riwayat Shahih Al Bukhari bahwa sayyidina Umar bin Khattab berkata :

وَاللَّهِ إِنِّي لأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ ، لا تَضُرُّ وَلا تَنْفَعُ ، وَلَوْلا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ قَبَّلَكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“ Demi Allah sesungguhnya aku tau bahwa kau adalah batu, yang tidak mendatangkan bahaya dan tidak pula mendatangkan manfaat, dan jika bukan karena aku telah melihat Raululullah shallallahu ‘alaihi wasallam menciummu niscaya aku tidak akan menciummu”

Padahal sebuah batu yang merupakan benda itu tidak dapat memberi manfaat dan mudharat, namun setelah disentuh dan dicium oleh sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam maka batu itu menjadi sunnah untuk dicium, hingga sampai saat ini orang-orang berebutan untuk menyentuh dan mencium batu tersebut. Maka dalam riwayat di atas disebutkan bahwa para sahabat berebutan untuk mengambil bekas air wudhu’ rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mengusapakan pada wajah dan tubuh mereka. Kemudian seusai berwudhu’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat zhuhur 2 rakaat dan shalat asar 2 rakaat dengan cara di jama’ dan di qashr. Qashar yaitu melakukan shalat yang jumlahnya 4 rakaat menjadi 2 rakaat, adapun shalat Maghrib dan shalat subuh tidak bisa diqashar (diringkas). Sedangkan shalat jama’ adalah menggabungkan 2 shalat dalam satu waktu, seperti melakukan shalat zhuhur dan asar di waktu zhuhur ( Jama’ taqdim) atau di waktu asar (Jama’ ta’khir), atau melakukan shalat maghrib dan isya’ di waktu maghrib (Jama’ taqdim), atau di waktu isya’ (Jama’ ta’khir) dan hal ini hanya diperbolehkan bagi orang yang melakukan safar (perjalanan lebih dari 82 Km). Dan di saat itu dihadapan rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat sebuah pembatas (tongkat, panah atau yang lainnya), dimana dijelaskan oleh para Fuqaha (Ulama’ ilmu fiqh) jika dihadapan seseorang yang sedang melakukan shalat terdapat pembatas maka tidak diperbolehkan untuk lewat di depan orang yang shalat tersebut, tetapi jika tidak ada pembatas maka boleh dilewati di depannya namun hal ini hukumnya makruh. Kebiasaan yang ada di masjid-masjid besar yang memiliki banyak pintu, maka di hadapan imam tidak terdapat sesuatu apapun. Namun jika melakukan shalat di lapangan atau tempat terbuka, maka cukuplah di hadapan imam saja yang diberi pembatas, sedangkan para makmum tidak perlu memberi pembatas di hadapannya, sebab jika ada orang yang terlambat datang maka ia bisa menyelip diantara barisan-barisan shalat. Begitu juga jika shalat tersebut adalah shalat sunnah, maka ketika seseorang sedang melakukan shalat dan dihadapannya telah diberi pembatas maka orang lain jangan melewati di hadapannya. Oleh karena itu dulu ketika para sahabat akan melakukan shalat maka mereka mencari tiang dan shalat menghadap tiang tersebut agar tidak ada yang lewat di depan mereka. Namun jika ada orang yang melakukan shalat di depan pintu masuk atau pintu keluar, maka janganlah menyalahkan orang-orang yang telah lewat di depannya, karena kesalahan ia sendiri yang telah melakukan shalat di depan pintu masuk atau pintu keluar.

Kemudian dalam riwayat di atas disebutkan bahwa sayyidina Abu Musa Al Asy’ari dan sayyidina Bilal membawakan bejana air kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membasuh kedua tangannya, kemudian membasuh wajah beliau dan berkumur-kumur di dalamnya, yang mana bau air liur beliau shallallahu ‘alaihi wasallam lebih wangi dari wanginya misk, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada mereka berdua : “Minumlah dari air ini, kemudian usapkan pada wajah dan tubuh kalian”, karena air yang disentuh oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam membawa keberkahan, sebagaimana air yang memancar dari jari-jari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam di saat perjanjian Hudaibiyah, ketika itu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :

حَيَّ عَلَى الطُّهُورِ الْمُبَارَكْ

“ Inilah air yang sangat suci dan diberkahi”

Ketika para ulama’ mempertanyakan tentang air yang paling mulia, maka mereka menyatakan bahwa air yang paling mulia adalah air zam zam, dimana makruh hukumnya menggunakan air zam zam untuk membersihkan najis atau beristinja’, sehingga air zam zam hanya digunakan untuk berwudhu’ dan minum karena kemuliaan air tersebut. Tetapi air yang paling mulia adalah air yang keluar dari jari-jari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun air itu saat ini sudah tidak ada, bahkan air itu lebih mulia daripada air yang berada di surga, sebab air yang ada di surga bukan keluar dari jasad makhluk yang paling dicintai Allah subhanahu wata’ala, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian makna riwayat yang terdapat dalam Shahih Al Bukhari, yang di dalamnya terdapat banyak makna yang diantaranya adalah shalat jama’ dan shalat qashar, serta kesunnahan tabarruk, dimana sebagian orang menganggap hal ini sebagai sesuatu kesyirikan dan bid’ah yang terlarang, sebab kedangkalan pengetahuan mereka akan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab Shahih seperti Shahih Al Bukhari, Shahih Muslim dan lainnya. Jika mereka mau membuka dan memahami semua yang ada dalam kitab-kitab tersebut tersebut maka akan mereka temui bahwa tabarruk atau mengambil keberkahan merupakan sunnah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan bahwa sayyidah Asma bint Abu Bakr As Shiddiq menyimpan jubah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau mengobati orang-orang yang sakit dengan cara mencelupakan bagian dari jubah tersebut kemudian memerasnya, lalu air itu diberikan kepada yang sakit dan air itu pun membawa kesembuhan dengan izin Allah subhanahu wata’ala berkat jubah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, demikian yang teriwayatkan di dalam Shahih Muslim.





Anda baru saja membaca artikel yang berkategori hadits dengan judul air bekas wudhu. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://lintas-islam.blogspot.com/2014/12/air-bekas-wudhu.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Lintas Islam - Wednesday, December 17, 2014

Belum ada komentar untuk "air bekas wudhu"