Islam Untuk Semua Umat

Friday, June 28, 2013

Ringkasan Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12

Ringkasan Tafsir Al Hujurat ayat 12 dari Tafsir Al Qurthubi dan Tafsir Ibnu Katsir.

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan dagin saudaranyan yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang" (Al Hujuraat:12)


Ringkasan Tafsir Al Qurthubi

Pada ayat ini terdapat beberapa masalah yang dapat dibahas.

1. Firman Allah ,"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka"

Menurut satu pendapat, ayat ini diturunkan tentang 2 orang sahabat Nabi SAW yang menggunjing seorang temannya. Peristiwa itu bermula dari kebiasaan Rasulullah SAW saat melakukan perjalanan, dimana Rasulullah SAW selalu menggabungkan seorang lelaki miskin kepada dua orang lelaki kaya, dimana lelaki miskin ini bertugas untuk melayani mereka.

Dalam kasus ini, Rasulullah SAW kemudian menggabungkan Salman kepada dua orang lelaki kaya. Singkat cerita, pada saat 2 orang lelaki kaya tersebut lapar (tidak ada lauk maupun makanan yang dpt dimakan) maka mereka menyuruh Salman untuk meminta makan kepada Rasulullah SAW  Setelah bertemu Rasulullah SAW, Beliau berkata kepada Salman, "Pergilah engkau kepada Usamah bin Zaid, katakanlah padanya, jika dia mempunyai sisa makanan, maka hendaklah dia memberikannya kepadamu"

Setelah bertemu dengan Usamah, beliau mengatakan bahwa beliau tidak memiliki apapun. Akhirnya Salman kembali kepada kedua lelaki kaya tersebut dan memberitahukan hal itu (tidak adanya makanan). Namun kedua lelaki tersebut berkata, "Sesungguhnya Usamah itu mempunyai sesuatu, tapi dia itu kikir". Selanjutnya mereka mengutus Salman ketempat sekelompok sahabat, namun Salman tidak menemukan apapun di tempat mereka.

Akhirnya kedua lelaki tersebut memata-matai Usamah untuk melihat apakah Usamah memiliki sesuatu atau tidak. Tindakan mereka ini akhirnya terlihat oleh Rasulullah SAW  dan Beliau bersabda, "Mengapa aku melihat daging segar di mulut kalian berdua?" Mereka berkata, "Wahai Nabi Allah, demi Allah, hari ini kami tidak makan daging atau yang lainnya." Rasulullah SAW bersabda, "Tapi, kalian sudah memakan daging Usamah dan Salman". Maka turunlah ayat ini, "Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa".

Demikianlah yang dituturkan Ats-Tsa'labi. 

Maksud Firman Allah diatas adalah : Janganlah kalian mempunyai dugaan buruk terhadap orang yang baik, jika kalian tahu bahwa pada zahirnya mereka itu baik.


2. Dalam Shohih Al Bukhari dan Shahih Muslim terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Janganlah kalian berprasangka (curiga), karena sesungguhnya prasangka itu pembicaraan yang paling dusta. Janganlah kalian saling mencari-cari berita atau mendengarkan aib orang, janganlah kalian mencari-cari keburukan orang, janganlah kalian saling menipu, janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling memboikot, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara" (Lafaz hadits ini milik Al Bukhari)

Para Ulama (Mazhab Maliki) berkata, "Dengan demikian prasangka (yang dimaksud) disini, juga pada ayat tersebut, adalah tuduhan (kecurigaan) dan adanya sesuatu yang perlu diwaspadai. Tuduhan (kecurigaan) yang terlarang adalah tuduhan yang tidak ada sebabnya, seperti seseorang dituduh berzina atau mengkonsumsi khamr, misalnya, padahal tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan pada tuduhan tersebut dalam dirinya.

Bukti bahwa prasangka disini berarti tuduhan (kecurigaan) adalah Firman Allah Ta'ala, "Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain".

Hal itu disebabkan sejak semula pada diri orang yang berprasangka itu sudah ada tuduhan (kecurigaan), kemudian dia berusaha mencari tahu, memeriksa, melihat dan mendengar berita mengenai hal itu, guna memastikan tuduhan/kecurigaan yang ada pada dirinya itu. Oleh karena itu Rasulullah SAW melarang hal itu.

Jadi intinya, prasangka yang terlarang/dilarang adalah prasangka yang tidak memiliki tanda dan sebab yang pasti. Maksudnya, bila orang yang kita curigai itu pada zahirnya baik, tidak ada cerita/informasi sebelumnya tentang keburukan yang dia pernah lakukan, maupun tabiatnya yang memang tercela, serta memang orang tersebut adalah orang yang "baik" maka kita tidak boleh berprasangka buruk kepada orang tersebut. Berbeda bila orang tersebut memang terkenal akan keburukannya, suka menipu, suka berbuat onar, mencari masalah, yang pada intinya orang tersebut memang terkenal dengan tabiat buruknya, suka berbuat keburukan terang-terangan, maka diperbolehkan kita berhati-hati dan tidak mudah/langsung percaya terhadap apa yang dikatakannya/informasinya (harus dilakukan cek dan ricek kebenaran berita tersebut)


3. Prasangka (dugaan) itu memiliki kondisi :

a. Kondisi yang diketahui dan diperkuat oleh salah satu dari sekian banyak bukti/dalil, sehingga hukum dapat ditetapkan dengan prasangka (dugaan) pada kondisi ini.

b. Kondisi dimana terdapat sesuatu (asumsi/dugaan) didalam hati tanpa ada petunjuk (manakah yang lebih kuat: apakah sesuatu tersebut ataukah lawannya), sehingga sesuatu itu tidak menjadi lebih baik dari lawannya. Ini adalah Keraguan. Hukum sesuatu tidaklah boleh ditetapkan dengan keraguan ini. Inilah yang terlarang.

Rasulullah SAW bersabda, "Apabila salah seorang diantara kalian menyanjung saudaranya, maka hendaklah dia mengatakan: 'Saya kira anu, dan saya tidak menyucikan (menganggap suci) seseorang kepada Allah (HR Bukhari, tentang larangan menyanjung jika itu berlebihan dan dikhawatirkan akan menimbulkan Fitnah atas tersanjung, HR Abu Dawud, HR Ibnu Majah, dan HR Ahmad)

Mayoritas Ulama berpendapat bahwa memiliki prasangka buruk terhadap orang yang zahirnya baik adalah tidak boleh. Namun tidak masalah mempunyai dugaan buruk terhadap orang yang zahirnya buruk. Demikianlah yang dikatakan Al Mahdawi.


4. Firman Allah Ta'ala "Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain"

Makna ayat tersebut adalah: Ambilah apa yang nampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin. Maksudnya, salah seorang dari kalian tidak boleh mencari aib saudaranya hingga menemukannya setelah Allah menutupinya. Dalam kitab Abu Daud, terdapat hadis dari Mu'awiyah, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jika engkau mencari-cari aib manusia, maka engkau telah menghancurkan mereka, atau hampir menghancurkan mereka" (HR Abu Daud)

Diriwayatkan dari Abu Barzah Al Aslamai, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Wahai sekalian orang-orang yang lidahnya telah menyatakan beriman namun keimanan belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum muslimin, dan jangan pula mencari-cari kesalahan mereka. Sebab barangsiapa yang  mencari-cari kesalahan mereka, maka Allah akan mencari-cari kesalahannya. Dan, barangsiapa yang kesalahannya dicari-cari Allah, maka Allah akan membukakan kesalahannya itu di rumahnya" (HR Abu Daud)

Abdurrahman bin Auf berkata, "Suatu malam, aku meronda bersama Umar bin Al Khathab di Madinah. Tiba-tiba, terlihatlah oleh kami pelita di dalam rumah yang pintunya disegani oleh orang-orang. Mereka mengeluarkan suara yang keras dan ribut. Umar berkata, "Ini adalah rumah Rabi'ah bin Umayah bin Khalaf, dan sekiranya mereka sedang minum-minum. Bagaimana menurutmu?" Aku menjawab, "Menurutku sesungguhnya kita telah melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Sebab Allah Ta'ala berfirman: "Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan kini kita telah mencari-cari kesalahan orang lain". Umar pun kemudian pergi dan meninggalkan mereka.

Amr bin Dinar berkata, 'Seorang penduduk Madinah mempunyai seorang saudara yang sedang sakit. Dia menjenguk saudarinya itu, lalu saudarinya itu meninggal dunia. Maka dia pun memakamkannya. Dia turun ke dalam makam saudarinya, namun kantungnya yang berisi uang terjatuh. Maka dia meminta keluarganya untuk menggali makam saudarinya. Dia mengambil kantung itu lalu berkata, 'Sungguh, akan kubuka (makamnya) agar dapat kulihat bagaimanakah keadaannya.' Dia kemudian membongkar makam saudarinya itu, dan ternyata makam itu penuh dengan nyala api. Dia kemudian mendatangi ibunya dan berkata, 'Beritahukanlah padaku apa yang telah dilakukan saudariku?' Ibunya berkata, 'Saudarimu sudah meninggal dunia. Lalu, mengapa engkau bertanya tentang perbuatannya?; Lelaki itu terus mendesak ibunya, hingga ibunya berkata, 'Diantara perbuatannya adalah mengakhirkan shalat dari waktunya. Apabila para tetangga tidur, dia berangkat ke rumah mereka, menempelkan telinganya di rumah mereka, mencari-cari keburukan mereka, dan menyebarkan rahsia mereka' Orang itu berkata, 'Karena inilah saudariku celaka'".


5.Firman Allah Ta'ala, "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain"

Allah 'azza wa Jalla melarang menggunjing, yaitu engkau menceritakan seseorang sesuai dengan apa yang ada pada dirinya. Tapi jika engkau menceritakan tidak sesuai dengan apa yang ada pada dirinya, maka itu merupakan sebuah kebohongan.

Pengertian itu terdapat dalam sebuah hadis Riwayat Muslim, Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Tahukan kalian apakah menggunjing itu?" Para sahabat menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Baginda bersabda, "Engkau menceritakan hal-hal yang tidak disukai saudaramu". Ditanyakan kepada Rasulullah SAW: "Bagaimana pendapatmu jika apa yang kau katakan memang terdapat pada saudaraku?" Rasulullah SAW menjawab, "Jika apa yang engkau katakan terdapat padanya, maka sesungguhnya engkau telah menggunjingnya. Tapi jika apa yang engkau katakan tidak terdapat padanya, maka sesungguhnya engkau telah berdusta kepadanya" (HR Muslim)

Al Hasan berkata, "Menggunjing itu ada 3 macam, dan semuanya terdapat dalam kitab Allah :

a) Ghibah (menggunjing), b) Ifk (cerita bohong), c) Buhtaan (berdusta).

Ghibah adalah engkau menceritakan apa yang ada pada diri saudaramu.

Ifk adalah engkau menceritakannya sesuai dengan berita yang sampai padamu tentangnya.

Buhtaan adalah engkau menceritakan apa yang tidak ada padanya.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Ma'iz Al Aslami datang kepada Rasulullah SAW dan mengaku berzina, kemudian Rasulullah SAW merajamnya. Rasulullah SAW kemudian mendengar dua lelaki dari sahabatnya, salah satunya berkata kepada yang lainnya, "Lihatlah orang yang dilindungi Allah itu. Dia tidak membiarkan dirinya, hingga dirinya dirajam seperti dirajamnya anjing." Rasulullah SAW tidak mengomentari kedua orang itu, lalu Rasulullah SAW berjalan beberapa saat, hingga bertemu dengan bangkai keledai yang mengangkat kakinya. Baginda bertanya, "Dimana si fulan dan si fulan?" Kedua orang itu menjawab, "Ini kami wahai Rasulullah". Rasulullah SAW bersabda, "Turunlah kalian makanlah bangkai keledai ini!". Keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, siapa yang akan memakan bangkai (keledai) ini". Rasulullah SAW bersabda, "Apa yang telah kalian nodai dari kehormatan saudaramu adalah lebih menjijikan daripada memakan bangkai keledai itu. Demi Zat yang jiwaku berada di dalam kekuasaan Nya, sesungguhnya dia sekarang ini telah berada di sungai syurga, dimana dia menyelam ke dalamnya" (HR Abu Daud).


6. Firman Allah Ta'ala, "Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?"

Allah menyerupakan menggunjing dengan memakan bangkai. Sebab orang yang sudah mati tidak mengetahui dagingya dimakan, sebagaimana orang yang masih hidup tidak mengetahui gunjingan yang dilakukan orang yang menggunjingnya.

Ibnu Abbas berkata, "Allah membuat perumpamaan ini untuk menggunjing, karena memakan bangkai itu haram lagi jijik. Demikianlah pula menggunjingpun diharamkan dalam agama dan dianggap buruk di dalam jiwa (manusia).

Di dalam Kitab Abu Daud, dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda, "Ketika aku melakukan Mi'raj, aku bertemu dengan suatu kaum yang memiliki kuku-kuku yang terbuat dari tembaga. Mereka mencakari wajah dan dada mereka. Aku berkata, "Siapakah mereka itu wahai Jibril?". Jibril Menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (menggunjing) dan menodai kehormatan mereka" (HR Abu Daud).

Diriwayatkan dari Al Mustaurid, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang memakan makanan karena (menggunjing) seorang muslim, maka Allah akan memberinya makanan yang serupa dengan makanan  itu dari api neraka Jahannam. Barangsiapa yang diberikan pakaian/penghargaan karena (menjelek-jelekan) seorang muslim, maka Allah akan memberinya pakaian yang serupa dengan pakaian itu dari api neraka. Barangsiapa yang mendirikan seseorang di sebuah tempat karena ingin mendapatkan reputasi baik dan riya, (dimana dia menyifatinya dengan baik, bertakwa dan mulia, dan dia pun mempopularkannya dengan sifat itu, juga menjadikannya sebagai wasilah untuk mendapatkan tujuan pribadinya), maka Allah akan mendirikannya di tempat orang-orang yang ingin mendapatkan reputasi baik dan riya pada hari kiamat kelak" (HR Abu Daud)

Maimun Bin Siyah tidak pernah menggunjing seseorang, dan diapun tidak pernah membiarkan seseorang menggunjing seseorang lain di dekatnya. Dia melarangnya. Jika orang itu berhenti, (maka itu yang terbaik). Tapi jika tidak, maka diapun berdiri (untuk pergi).

Umar bin Al Khathab berkata, "Janganlah kalian menceritakan manusia, sebab itu merupakan penyakit. Berzikirlah kepada Allah, sebab itu merupakan ubat/penawar".


7. Bergunjing termasuk kezaliman yang harus mendapatkan maaf dari saudaranya (penghalalan dari saudaranya) karena mencakup masalah agama dan dunia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

"Barangsiapa yang memiliki kezaliman terhadap saudaranya, maka hendaklah dia meminta penghalalan pada saudaranya itu dari kezaliman tersebut" (HR Bukhari).

8. Perbuatan ini (membicarakan orang lain/berprasangka buruk kepada orang lain) merupakan dosa besar, dan orang yang membicarakan hal ini (bergunjing) harus bertaubat kepada Allah 'Azza wa Jalla.

9. Menggunjing/membicarakan orang lain yang diperbolehkan adalah membicarakan orang yang fasik, yang terang-terangan dan menampakkan kefasikannya.

Juga diperbolehkan membicarakan orang lain yang ditujukan kepada seorang hakim, dimana hendak meminta bantuannya untuk mengambil haknya dari orang yang menzalimi tersebut, seperti contoh :"Fulan telah menzalimiku, merampas (sesuatu) dariku, mengkhianatiku, memukulku, menuduhku berzina, atau melakukan kejahatan terhadapku. Adalah termasuk dalam sesuatu yang dihalalkan (bila menceritakan keburukan seseorang) saat meminta fatwa, seperti ucapan Hindun kepada Nabi SAW, "Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat kikir. Dia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupi aku dan anakku, sehingga aku harus mengambil (hartanya) tanpa sepengetahuannya". Nabi SAW kemudian bersabda kepadanya, "Ya Ambillah" 

Demikian pula (diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang) jika menceritakan keburukannya itu mengandung suatu faedah, seperti sabda Rasulullah SAW:  "Adapun Mu'awiyah, dia orang yang miskin tidak mempunyai harta. Adapun Abu Jahm, dia tidak dapat meletakkan tongkatnya dari tengkuknya (ringan tangan)". Ucapan Baginda ini adalah sesuatu yang dibolehkan, sebab maksud Baginda adalah agar Fatimah Binti Qais tidak terkecoh oleh keduanya. Semua itu dikatakan oleh Al Muhasibi.


Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir

Allah Ta'ala melarang hamba-hamba Nya yang beriman dari banyak prasangka, yaitu melakukan tuduhan dan pengkhianatan terhadap keluarga dan kaum kerabat serta ummat manusia secara keseluruhan yang tidak pada tempatnya, karena sebagian dari prasangka itu murni menjadi perbuatan dosa.

Oleh karena itu, jauhilah banyak berprasangka sebagai suatu kewaspadaan. Amirul Mukminin 'Umar bin Al Khathab RA pernah berkata, "Janganlah kalian berprasangka terhadap ucapan yang keluar dari saudara Mukminmu kecuali dengan prasangka baik. Sedangkan engkau sendiri mendapati adanya kemungkinan ucapan itu mengandung kebaikan."

Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulllah SAW bersabda, "Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian meneliti rahasia orang lain, mencuri dengar, bersaing yang tidak baik, saling dengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian ini sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara." (hadis ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, dan Muslim, juga Abu Dawud)

Pada ayat ini juga terdapat pemberitahuan tentang larangan berghibah (penjelasannya sama dengan Ringkasan dari Tafsir Al Qurthubi).

Ghibah masih diperbolehkan bila terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti misalnya dalam Jarh (menilai cacat dalam masalah hadits), Ta'dil (menilai baik/peninjauan kembali dalam masalah hadits), dan nasihat, seperti perkataan Nabi SAW kepada Fatimah binti Qais ketika dilamar oleh Mu'awiyah dan Abul Jahm (seperti diterangkan dalam penjelasan sebelumya dalam Ringkasan Tafsir Al Qurthubi).

Adapun bagi orang-orang yang berghibah/menggunjing orang lain, diwajibkan bertaubat atas kesalahannya, dan melepaskan diri darinya (bergunjing) serta berkemauan keras untuk tidak mengulanginya lagi.

Kemudian ada sebagian ulama yang menambahkan syaratnya, bahwa bagi yang suka bergunjing/menggunjingkan orang lain, maka dia harus meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya, atau dia harus memberikan sanjungan kepada orang yang telah digunjingkannya di tempat-tempat dimana ia telah mencelanya.

Selanjutnya, ia menghindari gunjingan orang lain atas orang itu sesuai dengan kemampuannya. Sehingga gunjingan dibayar dengan pujian.


Wallahua'alam bishawwab..

Lintas Islam akhlak, fiqh
Thursday, June 27, 2013

Tanda-Tanda Istri yang Shalehah


Istri Shalehah

Di antara tanda-tanda istri yang shalehah adalah, bilamana ia melakukan kesalahan terhadap suaminya, ia menyesal sekali dan segera meminta maaf dan memohon keridhoannya. Kesalahan itu ia sesali dan ia tangisi sepanjang hari, karena takut mendapat siksa dari Allah.

Tanda-tanda yang lain adalah misalnya, ia melihat suaminya sedang diliputi perasaan duka dan sedih, maka ia menghibur, ”Kalau yang kamu sedihkan berhubungan dengan urusan akhirat, sesungguhnya hal itu sangat menguntungkan bagimu, tetapi jika yang kau sedihkan berhubungan dengan urusan dunia, sama sekali aku tidak membebanimu dengan perkara yang berat".





Diambil dari kitab UQUD AL-LUJAIN FIY BAYAANI HUQUQ AL-ZAUJAIN, karya Syekh Nawawi Al Bantani.
Lintas Islam akhlak, keluarga, tashawuf
Thursday, June 20, 2013

Kisah Rabi'ah Al Adawiyah



Dikisahkan ada seorang perempuan yang gemar memamerkan dandanannya di depan kaum lelaki. Ia mati. Hingga suatu malam di antara saudaranya ada yang bermimpi melihat dirinya dihadirkan ke hadapan Allah dengan mengenakan busana yang sangat tipis. Saat itu angin bertiup menerpa busananya, tersingkaplah busananya. Allah berpaling tidak sudi memperhatikannya. Allah berfirman: ”Seret dia ke NERAKA ………………!!! Sesungguhnya perempuan itu termasuk orang yang suka memamerkan dandanannya sewaktu di dunia."   

Ketika suami Rabi’ah Al Adawiyah mati, beberapa waktu kemudian Hasan Al Basri dan kawan-kawannya datang menghadap Rabi’ah. Mereka meminta izin diperkenankan masuk, mereka diperkenankan masuk. Rabi’ah segera mengenakan cadarnya, dan mengambil tempat duduk di balik tabir.  

Hasan Al Basri mewakili kawan-kawannya mengutarakan maksud kedatangannya. Ia berkata : ”Suamimu telah tiada, sekarang kau sendirian. Kalau kamu menghendaki silakan memilih salah seorang dari kami. Mereka ini orang-orang yang ahli zuhud”.  

Jawab Rabi’ah Adawiyah: ”Ya, aku suka saja mendapat kemuliaan ini. Namun aku hendak menguji kalian, siapa yang paling ‘alim (pandai) di antara kalian itulah yang menjadi suamiku”. Hasan Al Basri dan kawan-kawannya menyanggupi. Kemudian Rabi’ah Adawiyah bertanya: ”Jawablah empat pertanyaanku ini kalau bisa aku siap diperistri oleh kamu”.  

Hasan Al Basri berkata :”Silahkan bertanya, kalau Allah memberi pertolongan aku mampu menjawab tentu aku jawab”.  
“Bagaimana pendapatmu kalau aku mati kelak, kematianku dalam muslim (husnul khatimah) atau dalam keadaan kafir (suul khatimah)”. kata Rabi’ah bertanya.  
Jawab Hasan Al Basri : ”Yang kau tanyakan itu hal yang ghaib, mana aku tahu. . ”.  
“Bagaimana pendapatmu, kalau nanti aku sudah dimasukkan ke dalam kubur dan mungkar-nakir bertanya kepadaku, apakah aku sanggup menjawab atau tidak. . ”  
“Itu persoalan ghaib lagi” jawab Hasan Al Basri.   
“Kalau seluruh manusia digiring di MAUQIF (padang mahsyar) pada hari kiamat kelak, dan buku-buku catatan amal yang dilakukan oleh malaikat HAFAZHAH beterbangan dari tempat penyimpanannya di bawah ‘arsy. Kemudian buku-buku catatan itu diberikan kepada pemiliknya. Sebagian ada yang melalui tangan kanan saat menerima dan sebagian lagi ada yang lewat tangan kiri dalam menerimanya. Apakah aku termasuk orang yang menerimanya dengan tangan kanan atau tangan kiri. . ?, tanya Rabi’ah.  
“Lagi-lagi yang kau tanyakan hal yang ghaib”, jawab Hasan Al Basri.  
Tanya Rabi’ah sekali lagi: ”Manakala pada hari kiamat  terdengar pengumuman bahwa, sebagian manusia  masuk surga dan sebagian yang lain masuk neraka, apakah aku termasuk ahli syurga atau ahli neraka. . ?”.  
“Pertanyaanmu yang ini juga  termasuk persoalan yang ghaib”, jawab Hasan Al basri.  
Rabi’ah berkata: ”Bagaimana orang yang mempunyai perhatian kuat terhadap empat persoalan itu masih sempat memikirkan nikah?”.  

Coba perhatikanlah kisah dialog tersebut. Betapa besar perasaan takut Rabi’ah Adawiyah terhadap persoalan itu. Kendati ia seorang sholehah. Namun masih diikuti perasaan takut yang luar biasa jika akhir hayatnya tidak baik.  

Diceritakan bahwa, Rabi’ah Adawiyah itu mempunyai tingkah laku yang berubah-ubah. Suatu ketika perasaan cintanya kepada Allah begitu berat, hingga ia tidak sempat lagi berbuat apa-apa. Di waktu lain ia kelihatan tenang nampak seperti tidak ada masalah, dan lain waktu ia kelihatan sangat takut dan cemas.  

Suaminya menceritakan, suatu hari aku duduk sambil menikmati makanan. Sementara ia duduk di sampingku dalam keadaan termenung lantaran dihantui peristiwa kiamat.  

Aku berkata :”Biarkan aku sendirian menikmati makanan ini”.  
Ia menjawab, "Aku dan dirimu itu bukanlah termasuk orang yang dibuat susah dalam menyantap makanan, lantaran mengingat akherat”. Lebih lanjut Ia berkata: ”Demi Allah, sesungguhnya bukanlah aku mencintaimu seperti kecintaannya orang yang bersuami istri pada umumnya, hanyalah kecintaanku padamu sebagaimana kecintaan orang yang bersahabat”.  

Kalau Rabi’ah Adawiyah memasak makanan, Ia berkata: ”Majikanku, makanlah masakan itu. Karena tidak patut bagi badanku kecuali membaca tasbih saja”. (yang dimaksud majikan adalah suami dari Rabi’ah Adawiyah sendiri).  

Hingga suatu hari Rabi’ah berkata pada suaminya: ”Tinggalkan diriku, silahkan kamu menikah lagi”. Hal itu dikatakan ketika suaminya masih hidup. Maka Aku (suaminya) pun menikah lagi dengan tiga orang perempuan. Saat itu Rabi’ah masih setia melayani keperluan suaminya, termasuk memasakkan makanan. Suatu hari Rabi’ah Adawiyah memasakkan daging untuk suaminya, Ia berkata: ”Tinggalkanlah diriku dengan membawa kekuatan yang baru menuju istri-istrimu yang lain”.  

Dikisahkan bahwa Rabi’ah Adawiyah juga mempunyai sahabat-sahabat yang lain dari bangsa jin, yang sanggup mendatangkan apa saja yang dikehendakinya. Wali perempuan ini dalam kehidupannya dikenal pula mempunyai berbagai kekeramatan (karomah) hingga wafatnya. Di antara kekeramatannya adalah bahwa pada suatu malam ada pencuri masuk menjarahi isi rumahnya. Ia sendiri masih terlelap tidur. Ketika pencuri itu hendak keluar dengan menjinjing barang-barang yang telah dikemasi, mendadak pintu rumahnya hilang semua. Pencuri itu lalu duduk disamping pintu yang di pandang semula belum lenyap. Tiba tiba saat itu terdengar suara halus menyapanya: ”Letakkan barang-barang yang kau kemasi. Keluarlah dari pintu ini”.  

Ia pun segera meletakkan barang-barang yang telah dikemasi. Mendadak pintu itu kelihatan lagi. Begitu ia melihat pintu maka ia segera menyambar lagi barang-barang hasil curian tadi. Tiba-tiba pintu itu hilang lagi seketika ia letakkan lagi barang hasil jarahannya. Pintu kelihatan lagi. Ia mengambil kembali barang haasil jarahannya. Pintu hilang lagi. Dan begitu seterusnya.  

Tiba-tiba terdengar lagi suara lembut menyapa: ”Kalau Rabi’ah Adawiyah tertidur, tetapi Allah tidak tertidur dan tidak pula terserang rasa kantuk”, maka ia pun sadar. Barang barang yang dikemasinya pun ia tinggalkan, lalu ia pun keluar melalui pintu tadi.





Diambil dari kitab UQUD AL-LUJAIN FIY BAYAANI HUQUQ AL-ZAUJAIN, karya Syekh Nawawi Al Bantani.
Lintas Islam akhlak, keluarga, tashawuf
Thursday, June 13, 2013

Kecemburuan




Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya aku ini pecemburu. Setiap orang yang tidak mempunyai rasa pecemburu, maka tidak lain kecuali orang itu berhati terbalik” (Al hadits). Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya Allah SWT itu pecemburu, dan orang mukmin itu hendaknya pencemburu. Kecemburuan Allah adalah jika ada orang mukmin yang melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim dan Turmudzi dari Abu Hurairah). 

Imam Ali RA mengatakan, ”Apakah kalian tidak malu. Apa kalian tidak cemburu membiarkan perempuan-perempuan (istri-istri) mu keluar ketengah-tengah kaum lelaki. Ia melihatnya dan mereka memperhatikan dirinya”. Sebaliknya cemburu yang berlebihan juga tidak baik. Imam Ali RA mengatakan hal itu, ”Janganlah kamu berlebihan mencemburu. Sebab dengan kecemburuan yang berlebihan itu sama artinya menuduh istrimu berbuat buruk”.  

Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya di antara kecemburuan ada yang dicintai Allah dan ada pula kecemburuan yang dibenci Allah. Di antara sikap berbangga diri ada yang disukai Allah dan ada pula sikap berbangga diri yang dimurkai Allah. Adapun kecemburuan yang disukai Allah adalah kecemburuan (dalam hal keragu-raguan). Kecemburuan yang dibenci Allah adalah kecemburuan di luar hal itu. Adapun sikap berbangga diri yang disukai Allah adalah keberbanggaan seseorang ketika maju ke medan pertempuran di saat terjadinya bencana. Sikap keberbanggaan yang dibenci Allah adalah dalam hal kebatilan”.  
  
Dewasa ini, kalau ada perempuan keluar rumah maka hampir dipastikan menjadi sasaran godaan kaum lelaki. Mungkin dengan cara mengedipkan matanya atau disentuh. Ada pula yang sekedar dipegang dan ada pula yang disindir dengan kata-kata yang jorok yang tidak mengenakkan telinganya.  

Yang terakhir itu tentu saja khusus bagi orang baik-baik dan orang sholehah serta selalu menjaga kehormatannya. Ibnu Hajar mengatakan, jika seorang perempuan (istri) bermaksud hendak keluar untuk menjenguk orang tua, misalnya, sebenarnya tidak dilarang. Tetapi terlebih dulu harus memperoleh izin dari suaminya. Yang perlu diperhatikan pula, hendaknya ketika keluar jangan memamerkan perhiasan dan dandanannya. Sebaiknya bahkan dirinya dianjurkan agar berdandan sebagaimana seorang pelayan yang kotor tubuhnya.  

Pakaian yang dikenakannya tidak perlu bagus, melainkan pakaian yang sederhana. Pandangan hendaknya dijaga, ditundukkan sepanjang jalan. Tidak perlu tengok kanan dan kiri. Kalau tidak begitu justru akan membuka kesempatan untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah, Rasul-NYA dan kemaksiatan kepada suaminya.





Diambil dari kitab UQUD AL-LUJAIN FIY BAYAANI HUQUQ AL-ZAUJAIN, karya Syekh Nawawi Al Bantani.
Lintas Islam akhlak, keluarga, tashawuf
Thursday, June 6, 2013

Hikayat Budak Hindi




Ada sebuah keluarga yang sangat terpandang. Suatu hari keluarga itu membeli seorang pembantu (budak) yang berkebangsaan hindi (Hindia). Keluarga itu terus merawatnya dan akhirnya diambil sebagai anak.  Setelah dewasa, ia jatuh cinta pada tuan puterinya, yang ketika itu telah menjadi ibu angkatnya sendiri. Ia terus menerus menggoda ibu angkatnya, dan ibunya pun melayani. Hingga suatu hari terjadilah hubungan layaknya hubungan suami istri.  

Ketika pembantu itu sedang asyik di atas dada ibu angkatnya, tiba-tiba ayah angkatnya datang. Ia marah. Ia segera mengambil pisau, lalu dipotongnya kelamin anak angkatnya itu. Namun pada akhirnya ia menyesal. Ia membawanya ke tabib untuk diobati.  

Setelah sembuh si anak angkat itu tidak diusir. Ia tetap diberi kesempatan tinggal di rumah orang tuanya yang telah menjadi orang tua angkatnya, tetapi secara diam-diam ia (anak  angkat) itu mendendam. Ia menunggu datangnya kesempatan untuk melakukan pembalasan.  

Keluarga yang sangat terpandang itu sebenarnya mempunyai dua anak yang sangat tampan. Salah satunya masih berusia anak-anak sedang yang lainnya  mendekati remaja. Suatu hari kedua anak itu hilang dibawa pembantunya yang telah diangkat menjadi anaknya. Tanpa diketahui keduanya dibawa naik ke atas loteng. Di sana keduanya diajak bermain-main, diperlakukan secara baik hingga tak ada kesan disandera.  

Hingga manakala orang tuanya telah kebingungan mencari, tanpa sengaja ia mendongak keloteng. Di sana anak-anak disandera anak hindi tadi. Ia berteriak “Celaka benar Kau. Apakah engkau menghendaki kematian kedua anakku?” 

Bekas pembantunya menjawab: ”Ya benar, kedua anakmu mesti akan mati kalau kau tidak menuruti perintahku”. 
”Apa kemauanmu?”, tanya orang yang terpandang itu. 
”Aku menghendaki supaya kamu memotong kelaminmu sendiri”. 
Demi mendengar permintaan itu, ia terperanjat bukan kepalang. Katanya, ”Takutlah kepada Allah, takutlah kamu. Bukankah dirimu telah kupelihara. Hentikan perbuatan jahatmu itu”. Ia terus mengulang-ulang permintaanya. Namun anak hindi itu tidak ambil peduli.  

Ketika tuannya akan naik ke atas loteng, si anak Hindi itu menyeret kedua anaknya dibawa ke pinggir loteng. Lelaki yang malang itu berteriak, ”Celaka benar kamu! Tunggu sebentar, tentu aku akan menuruti tuntutanmu”. Ia pergi sebentar lalu datang dengan membawa pisau. Tanpa diminta lagi kelaminnya di potongnya sendiri di depan mata si anak Hindi. Setelah puas menyaksikan dendamnya, si anak Hindi itu pun mencampakkan kedua anak bekas majikannya itu hingga tewas seketika. Apa katanya. ”Tuntutan memotong kelamin sendiri itu adalah sebagai pembalasan atas perbuatanmu tempo hari memotong kelaminku. Dan kematian kedua anakmu itu sebagai tambahan atas kerugianku”.  

Memperhatikan kisah tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa, bilamana pembantu telah memasuki usia baligh hendaknya dilarang masuk kamar majikannya. Sebab pada umumnya godaan mulai terjadi setelah memasuki usia itu. Di samping menjaga keturunan itu termasuk perkara terpenting.




by: Lintas Islam

Diambil dari kitab UQUD AL-LUJAIN FIY BAYAANI HUQUQ AL-ZAUJAIN, karya Syekh Nawawi Al Bantani.
Lintas Islam akhlak, keluarga, tashawuf