Islam Untuk Semua Umat

Thursday, February 28, 2013

Keharusan Memelihara Diri Dan Keluarga




Tersebut dalam firman Allah Surat Al Tahrim ayat 6: "Hai orang-orang yg beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka."  

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Abas RA mengatakan, ”Berikanlah pengertian kepada mereka dan didiklah mereka“, yakni tentang syariah Islam dan akhlak-akhlak yg baik.  

Tersebut dalam riwayat dijelaskan: "Sesungguhnya di antara manusia yang paling keras menerima siksaan kelak  di hari kiamat adalah orang  yang memperbodoh keluarganya, (yang sengaja membentuk keluarganya menjadi bodoh)." (al-hadits) 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda yang artinya: “Setiap kamu sekalian adalah penggembala dan kelak akan ditanya tentang penggembalaannya. Imam adalah penggembala dan kelak dimintai tanggung jawab atas penggembalaan (kepemimpinan)-nya".  

Suami adalah pemimpin keluarganya dan kelak dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinan (rumah tangganya). Isteri adalah pengatur di rumah suaminya, kelak akan diminta pertanggungjawaban tentang pengaturannya (di rumah suaminya). Pembantu adalah pelaksana dalam menjalankan pertanggungjawaban tentang pelaksanaannya. Anak lelaki adalah penjaga harta kekayaan orangtuanya dan kelak akan diminta pertanggungjawaban tentang penjagaannya. Jadi kalian semua adalah  penggembala dan kelak kalian akan diminta pertanggungjawaban atas penggembalaannya." (Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).  

Rasulullah SAW bersabda yang artinya: ”Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah dalam urusan wanita, karena mereka adalah merupakan amanat bagimu.  Barangsiapa tidak menyuruh isterinya menunaikan shalat dan tidak mengajarinya, berarti telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya." (Al-hadits).  

Di antara akhir kata-kata yang dipesankan oleh Rasulullah SAW yang diulang tiga kali hingga lisannya terasa sulit berkata dan sangat berat, adalah: “Peliharalah shalat, peliharalah shalat (mu) dan apa saja yang ada pada kekuasaanmu. Janganlah kamu membebani mereka dengan perkara yang mereka tidak mampu menanggungnya. Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah dalam urusan isteri-isterimu, sesungguhnya mereka adalah tawanan yang ada dalam kekuasaanmu.  Kamu mengambil mereka dengan amanat Allah, dan kamu mengambil kehalalan farji mereka dengan firman-firman Allah.“ (al-hadits).  

Firman Allah dalam surat Thaaha ayat 132: “dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat."   

Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda, yang artinya: “Tidak ada dosa yang lebih besar yang kelak di hari kiamat dibawa seseorang menghadap kepada Allah, daripada orang yang membuat keluarganya menjadi bodoh. ” 

Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Pertama kali perkara yang dipertanggungjawabkan kepada seseorang di hari kiamat adalah keluarganya (yakni isteri) dan anak-anaknya. Mereka berkata, wahai Tuhan kami, ambillah hak-hak kami (tanggung jawab) dari orang ini, karena sesungguhnya dia tidak mengajarkan kepada kami tentang urusan agama kami. Ia memberi makan kepada kami berupa makanan dari hasil yang haram, dan kami tidak mengetahui. Maka orang itu dihantam (disiksa) lantaran mencari barang yang haram, sehingga terkelupas dagingnya, kemudian dibawa ke neraka." (al-hadits). 





Diambil dari kitab UQUD AL-LUJAIN FIY BAYAANI HUQUQ AL-ZAUJAIN, karya Syekh Nawawi Al Bantani.
Lintas Islam akhlak, keluarga, tashawuf
Tuesday, February 26, 2013

Sebuah Catatan Untuk Kitab Uqud Al Lujain






Atas usulan salah seorang teman di forum Lintas Islam agar kami memberikan sedikit pengantar untuk kitab Uqud Al Lujain - yang sedang dipublikasikan di blog Lintas Islam saat ini - dapat dicerna dalam konteks kekinian, maka kami memberikan sedikit pengetahuan yang kami bisa untuk tujuan tersebut. Catatan kami ini hanyalah sebuah pengantar, bukan syarah atau tafsir dari kitab Uqud Al Lujain. Sebaiknya seluruh isi dari kitab Uqud Al Lujain dalam blog ini hanya untuk dijadikan wacana. Untuk mendapatkan syarah atau tafsir yang tepat, kami menyarankan pembaca untuk bertanya kepada ustad atau ulama yang telah diberikan otoritas (ijasah) sanad kitab Uqud Al Lujain. 

Seperti umumnya kitab yang ditulis oleh Syekh Nawawi dan ulama Klasik lainnya, struktur penulisannya adalah lebih dulu menguraikan karakter buruk asli manusia, lalu kemudian menyarankan 'pengobatan'-nya. Ini sesuai dengan kejadian asal muasal manusia, di mana malaikat mempertanyakan kepada Allah "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?". Lalu Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama.... (Q.S. 2 : 30-31). 

Manusia diciptakan dengan karakter asli bawaaan yang dikenali malaikat sebagai karakter buruk, yaitu 'membuat kerusakan dan menumpahkan darah'. Tetapi dengan pengajaran (pendidikan), manusia dapat mencapai karakter mulia, bahkan lebih mulia dari malaikat. Malaikat memiliki sifat mulia karena Allah memang telah menciptakan mereka hanya untuk memuji dan mensucikan Allah. Sedangkan manusia sejak awalnya diciptakan, telah diuji dengan sifat-sifat buruk. Tetapi bila manusia berhasil melewati ujian tersebut, maka kedudukannya akan lebih mulia dari malaikat. Manusia dapat mencapai kedudukan mulia tersebut dengan belajar, meningkatkan derajat mereka dari 'bodoh' menjadi 'alim'. Oleh karena itu dalam kitab-kitab klasik disebutkan bahwa menuntut ilmu kedudukannya lebih tinggi daripada ibadah ritual ('ibadah yang dilakukan tanpa ilmu, tertolak').

Dalam penyusunan kitab-kitab klasik, umumnya digunakan sistematika sebagai berikut:

Pertama, pengarang kitab klasik menguraikan tentang fadhilah (keutamaan) dari suatu perbuatan mulia dan hukuman dari perbuatan tercela. Seperti dalam kitab Uqud Al Lujain ini, Syekh Nawawi menguraikan keutamaan sikap bersabar atas perlakuan suami/istri dan diperbolehkannya hukuman atas perbuatan tercela. Karena sistem pengajaran di masa lalu menggunakan metode 'Cambuk dan Wortel', maka dalam kitab Uqud tersebut ada disebutkan 'dibolehkan memukul' sebagai 'cambuk', dan besarnya 'pahala bersikap sabar' sebagai 'wortel'. 'Cambuk' dan 'wortel' adalah metode yang digunakan untuk keledai, yaitu belakangnya dicambuk dan di depannya ditaruh wortel agar keledai mau berjalan ke depan. Tetapi di jaman modern ini, di mana manusia 'lebih pintar' atau setidaknya 'sok pintar', maka metode 'cambuk dan wortel' tidak tepat lagi bila digunakan sebagai metode pembelajaran (bisa-bisa terkena pasal KDRT). Istilah 'cambuk dan wortel' diperlembut dengan istilah 'reward and punishment' (hadiah dan hukuman). Maka bab 'diperbolehkan memukul' janganlah ditafsirkan sebagai perintah untuk 'memukul', tetapi harus dicari cara lain sebagai 'punishment' yang terdengar layak untuk masa kini. Misalnya dipisahkan tempat tidur, tidak diajak bicara, distop jatah bulanan (hehehe....), atau punishment lain yang dianggap layak untuk konteks kekinian. Tetapi bila istri memang seseorang yang telah terdidik, maka jangan mencari-cari alasan untuk menerapkan 'punishment'. Sedangkan untuk 'reward', karena manusia masa kini semakin bersikap materialistik, mungkin 'reward' berupa pahala terlalu jauh dari jangkauan. 'Reward' dapat digantikan dengan cincin dan kalung emas atau permata, atau bentuk 'reward' lain yang layak pula dalam konteks kekinian.  

Kedua, pengarang menguraikan sifat-sifat buruk asli bawaan manusia. Seperti untuk perempuan, disebutkan bahwa perempuan 'diciptakan dalam keadaan serba kurang akal dan tipis beragama', 'menyukai perhiasan', 'suka memamerkan dandanannya', 'penyebab fitnah dunia', 'berlebihan dalam penggunaan harta', 'Iblis memperindah perempuan yang diperuntukkan bagi orang yang memperhatikannya', dll. Uraian sifat-sifat buruk asli tersebut bukanlah dimaksudkan untuk merendahkan martabat perempuan, tetapi untuk mengenali sifat-sifat buruk asli bawaan perempuan yang dilihat oleh malaikat sebagai karakter buruk manusia. Seperti yang dikatakan oleh seorang motivator terkenal, "Kenalilah kelemahanmu, dan tundukkan!". 

Ketiga, pengarang menegaskan fungsi pengajaran (pendidikan). Bila tanggung jawab pengajaran anak diletakkan pada pundak orang tua, dalam kitab ini tanggung jawab pengajaran istri diletakkan pada pundak suami. Bila suami tidak memiliki ilmu, maka ia diwajibkan bertanya kepada ulama. Bila ia tidak memiliki kemampuan untuk bertanya, maka suami diwajibkan mengirim istrinya untuk belajar kepada seorang ulama. Bagaimana bila istri lebih berilmu daripada suami? Berdasarkan keterangan yang kami peroleh, suami dapat bertanya kepada istri, tetapi dengan demikian tanggung jawab suami untuk menuntut ilmu dan memberikan pengajaran tidaklah terhapus. Dalam menjelaskan proses pengajaran ini, pengarang umumnya menggunakan bahasa-bahasa hiperbolik untuk menegaskan keutamaan-keutamaan. Misalnya bahwa 'istri bagaikan budak bagi suaminya'. Istilah tersebut hanyalah ditujukan sebagai penegasan kedudukan suami atas istri, bukan untuk menjadikan istri sebagai budak di rumahnya sendiri. Oleh karena itu, untuk pernyataan-pernyataan yang bersifat hiperbolik, sebaiknya jangan ditafsirkan secara harfiah.

Keempat, pada penutupan kitab, pengarang memberikan contoh-contoh perempuan mulia yang dapat membuat malaikat takjub. Perempuan-perempuan seperti itulah sebaiknya yang dijadikan model, dijadikan idola, dan dijadikan cita-cita bagi para perempuan. Bukan untuk menjustifikasi 'perasaan berkuasa' kaum laki-laki. Sebab ketika mengambil kesimpulan dari bab tersebut, kaum lelaki seringkali berkata: "Tuh, begitu tuh yang namanya wanita sholehah. Mendukung suaminya untuk poligami!!", atau pernyataan yang semacamnya.


Isu Kontemporer

Dalam isu-isu mengenai perempuan, syariat Islam saat ini sedang babak-belur dalam menghadapi isu-isu modernitas yang asalnya dari Barat. Penyebab utama dari masalah ini adalah karena semakin mudahnya manusia-manusia modern mengakses isu-isu seputar agama melalui buku, internet dan media lainnya; lalu menafsirkan sendiri isi dari informasi tersebut tanpa bimbingan seorang guru yang benar-benar paham akan isu-isu tersebut. Di dalam tradisi klasik, ilmu dipelajari melalui sanad dari guru ke murid, lalu dari murid tersebut ke murid pada generasi di bawahnya. Dengan demikian isi dari kitab dapat dipahami sesuai dengan aslinya. Saat murid mengajar, gurunya terus mengawasi, membimbing dan mengoreksi bila muridnya melakukan kesalahan pada saat mengajar. Dengan demikian pergeseran makna dari makna aslinya dapat diminimalisasi.

Ada seorang kenalan dari ormas yang cita-cita utama organisasinya adalah mendirikan kekhalifahan, yang menulis dari sumber - katanya - kitabnya Imam Syafi'i, Al Umm. Ustad saya pernah menjelaskan bahwa para ulama tidak berani mengkaji kitab Al Umm karena ketinggian bahasanya. Tetapi dengan keberaniannya, kenalan tersebut menyajikan hasil elaborasinya dari membaca kitab Al Umm dan mengemukakan kesimpulannya yang sangat jenius: "Bunuhlah semua orang kafir yang engkau temui, sehingga hanya nama Allah yang tegak di muka bumi". Jawaban beliau tersebut dikemukakan untuk menjawab pertanyaan saya: "Apa dalilnya bahwa umat Islam diwajibkan untuk mendirikan kekhalifahan atau negara Islam?". 

Dengan yakinnya ia mengatakan: "Itu kata Imam Syafi'i, di kitab Al Umm!", tetapi dalam hati saya berkata: "Itu bukan kata Imam Syafi'i, tetapi kata tukang jagal sapi!".

Kalau ustad saya pernah mengatakan bahwa para ulama saja tidak berani mengkaji kitab Al Umm, lalu kenalan tersebut belajar sanad kitab Al Umm dari siapa? Apakah hanya karena bisa baca tulisan Arab, maka seseorang telah memiliki otoritas untuk melakukan penafsiran terhadap suatu kitab? Lalu orang seperti inikah yang akan kita tunjuk sebagai khalifah? sebagai pemimpin kita? Melamar kerja di salon saja  tidak ada yang mau menampung. Nanti bila diperintahkan boss salonnya "potong kupingnya!", bukan rambut di sekitar kuping yang dipotong, tetapi kupingnya yang dipotong. Disuruh "potong tangannya!", bukan diambilnya gunting kuku, tetapi diambilnya kapak untuk memotong tangan. Disuruh "potong lehernya!", diambilnya pedang untuk memenggal leher. CIAAAT!!

Penyebab kedua, adalah akibat digunakannya isu-isu agama untuk tujuan-tujuan sesaat, seperti digunakannya isu-isu agama untuk tujuan-tujuan politik. Misalnya ketika muncul isu mengenai presiden perempuan. Memang benar bahwa dalam syariat, bila perempuan dijadikan pemimpin, maka keberkahan akan diangkat. Lalu cendekiawan-cendekiawan 'Islam Modern' angkat bicara. Untuk menutupi rasa rendah diri mereka atas isu-isu Barat tentang 'kesetaraan gender', mereka membela perempuan untuk diberikan hak yang sama dengan laki-laki. Argumen mereka: "Cut Nyak Din dan Kartini dulu diberikan hak untuk memimpin, walaupun pada saat itu hak-hak perempuan lebih diabaikan dibandingkan dengan jaman sekarang".

Kasus Cut Nyak Din dan Kartini sungguh berbeda dengan isu presiden perempuan masa kini. Saat Cut Nyak Din menjadi pemimpin, ia bertaruh nyawa, meninggalkan istana dan kehilangan hak istimewanya sebagai bangsawan, dan wafat di pembuangan untuk memperjuangkan hak orang-orang tertindas. Perempuan seperti inilah yang dikagumi oleh malaikat. Ia menjadi pemimpin untuk berkorban, untuk kehilangan kenikmatan dunia yang diburu oleh banyak perempuan lainnya. Sedangkan ketika Mrs. M menjadi presiden, jumlah SPBU-nya justru bertambah banyak. 

Sementara Kartini harus menjual sepeda dan harta yang dimilikinya. Bukan untuk mendirikan 'Woman Islamic School' atau 'Sekolah Perempuan Islam Terpadu', lalu mengutip biaya sekolah yang tinggi karena merupakan sekolah unggulan. Tetapi ia berkorban untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dalam mendapatkan pendidikan. Perempuan seperti ini pula yang dikagumi oleh malaikat.

Di sisi lain, kelompok yang memunculkan isu haramnya presiden perempuan, hanya mem-blow up isu tersebut untuk kepentingan politik sesaat. Begitu sang perempuan terpilih menjadi presiden, ia dengan senang hati disandingkan sebagai wakil presiden. Tidak sinkronnya ucapan dan perbuatan inilah yang menjadikan syariat Islam hanyalah sebuah lelucon.

Bila saja perempuan masa kini ada yang memiliki karakter seperti Cut Nyak Din dan Kartini, maka larangan untuk mengangkat pemimpin perempuan tidaklah berlaku lagi. Yang dilarang adalah memilih pemimpin perempuan yang masih memiliki karakter buruk asli bawaan dari lahir. Memang benar bahwa dalam syariat, bila perempuan dijadikan pemimpin, maka keberkahan akan diangkat. Tetapi keberkahan juga akan diangkat dari pemimpin laki-laki, yaitu bila kepemimpinannya dijalankan untuk berbuat maksiat kepada Allah, yaitu tidak digunakan untuk mengembalikan hak-hak kepada yang seharusnya menerima hak tersebut. 

Semoga kita mendapatkan petunjuk dalam memahami agama, sehingga dapat selamat baik di dunia maupun di akhirat. Amin.



Lintas Islam
Thursday, February 21, 2013

Wasiat Dan Pengajaran Suami




Ketahuilah bahwa, setiap suami hendaknya pandai-pandai memberi pengajaran atau wasiat-wasiat kebajikan kepada isterinya. Rasulullah SAW mengingatkan: “Mudah-mudahan Allah merahmati seorang suami yang mengingatkan isterinya, ‘Hai istriku, jagalah shalatmu, puasamu, zakatmu. Kasihanilah orang-orang miskin di antaramu, para tetanggamu. Mudah-mudahan Allah mengumpulkan kamu bersama mereka di surga’. ” 

Hendaknya seorang suami selalu memperhatikan nafkahnya sesuai dengan kesanggupannya. Hendaknya suami selalu bersabar jika menerima cercaan isterinya, atau perlakuan-perlakuan tidak baik lainnya. Hendaknya suami mengasihani isterinya, yaitu dengan bentuk memberi pendidikan secara baik, kendati ia seorang terpelajar. Sebab kaum wanita bagaimana pun diciptakan dalam keadaan serba kurang akal dan tipis beragama (kecuali hanya sedikit saja yang mempunyai akal panjang dan beragama kuat).  Tersebut dalam hadits: “Kalaulah bukan karena Allah membuatkan penutup rasa malu bagi kaum wanita, niscaya harganya tidak dapat menyamai segenggam debu.” (al-hadits).  

Hendaknya seorang suami selalu menuntun isterinya pada jalan-jalan yang baik. Memberi pendidikan kepadanya berupa pengetahuan agama (Islam), meliputi hukum-hukum bersuci (Thaharah) dari hadats besar. Misalnya tentang haid dan nifas. Seorang isteri harus diberi pengetahuan tentang persoalan yang sangat penting itu. Sebab bagaimanapun masalah itu berhubungan erat dengan waktu-waktu shalat.  

Demikian pula memberikan pengajaran terhadap masalah ibadah. Meliputi ibadah fardhu (wajib) dan sunnahnya. Pengetahuan tentang shalat, zakat, puasa dan haji.  

Jika seorang suami telah memberi pendidikan tentang persoalan pokok tersebut, maka isteri tidak dibenarkan keluar rumah untuk bertanya kepada ulama. Tetapi kalau pengetahuan yang dimiliki suami tidak memadai, sebagai gantinya maka ia sendiri yang harus siap untuk selalu bertanya kepada ulama (orang yang mengerti ilmu agama). Artinya, isteri tetap tidak diperkenankan keluar rumah. Namun, kalau suami tidak mempunyai ilmu untuk bertanya, maka isteri dibenarkan keluar rumah untuk bertanya tentang persoalan agama yang dibutuhkan. Hal itu malah menjadi kewajibannya, dan bahkan kalau suaminya melarang keluar berarti telah melakukan kamaksiatan (dosa).  

Tetapi isteri harus meminta izinnya lebih dulu jika sewaktu-waktu hendak belajar mengenai ilmu-ilmu tersebut. Isteri harus memperoleh keridhaan suaminya.





Diambil dari kitab UQUD AL-LUJAIN FIY BAYAANI HUQUQ AL-ZAUJAIN, karya Syekh Nawawi Al Bantani.
Lintas Islam akhlak, keluarga, tashawuf
Thursday, February 14, 2013

Memukul Istri




Seorang suami diperbolehkan memukul isterinya jika tidak mengindahkan perintahnya berhias, padahal ia menghendaki. Atau lantaran menolak diajak tidur bersama. Diperbolehkan pula seorang suami memukul isterinya lantaran keluar rumah tanpa memperoleh izinnya. Atau karena isterinya itu memukul anak kecil yang sedang rewel. Atau karena mencaci-maki orang lain, atau karena menyobek pakaian suaminya, menjambak jenggotnya, atau berkata kepada suaminya: “Hai kambing, hai keledai, hai orang tolol, dll.” sekalipun pencaciannya itu didahului oleh sikap suami yang telah mencacinya.  

Demikian pula seorang suami diperbolehkan memukul isterinya lantaran isterinya sengaja memamerkan wajahnya kepada lelaki lain. Atau karena asyik berbincang-bincang dengan lelaki lain. Atau sekali pun ia ikut mendengarkan pembicaraan suaminya bersama lelaki lain, dengan maksud dapat mencuri pendengaran dari suara lelaki itu. Atau karena memberikan sesuatu dari rumah suaminya berupa barang yang tidak biasanya diberikan kepada orang lain. Atau karena menolak menjalin kekeluargaan dengan saudara suaminya.  

Begitu pula suami dibenarkan memukul isterinya karena meninggalkan shalat, setelah terlebih dulu diperintah tetapi menolak mengerjakannya. Pendapat inilah yang lebih kuat.





Diambil dari kitab UQUD AL-LUJAIN FIY BAYAANI HUQUQ AL-ZAUJAIN, karya Syekh Nawawi Al Bantani.
Lintas Islam akhlak, keluarga, tashawuf
Thursday, February 7, 2013

Kisah Orang Shalih dan Harimau



Ada seorang salih, ia mempunyai saudara (kawan) yang salih pula. Setiap tahun ia berkunjung kepadanya. Suatu hari ia mengunjunginya lagi, sampai ke rumah yang dituju pintunya masih tertutup. Ia ketuk pintu rumah itu. Dari dalam terdengar suara wanita: “Siapa itu?” Orang yang salih menjawab: “Aku, saudara suamimu. Aku datang untuk mengunjunginya, hanya karena Allah semata.” 

“Dia sedang keluar mencari kayu bakar,” balas istri sahabatnya. “Mudah-mudahan ia tidak kembali.” Lanjutnya sambil terus bergumam memaki-maki suaminya.  

Ketika mereka sedang terlibat perbincangan, tiba-tiba orang yang salih itu datang sambil menuntun seekor harimau yang sedang membawa seikat kayu bakar. Begitu melihat saudaranya datang mengunjunginya, ia menghambur kepadanya seraya bersalaman.  

Kayu bakar itu lalu diturunkan dari punggung harimau tersebut. Katanya kemudian: “Sekarang pergilah kamu, mudah-mudahan Allah memberkahimu.” 

Orang yang salih itu (yakni yang empunya rumah) lalu mempersilakan saudaranya masuk. Sementara isterinya masih bergumam memaki-maki dirinya. Namun sebegitu jauh ia hanya berdiam, tanpa menunjukkan reaksi kebencian. Setelah terlibat perbincangan beberapa saat lamanya, hidangan keluar disuguhkan. Dilanjutkan berbincang-bincang hingga beberapa saat.  

Setelah itu saudaranya berpamitan dengan menyimpan kekaguman yang sangat berkesan. Ia sangat kagum sebab saudaranya sanggup menekan kesabarannya menghadap isteri yang begitu cerewet dan berlidah panjang.  

Tahun berikutnya ia berkunjung lagi. Sampai di depan pintu ia mencoba mengetuknya. Isterinya keluar dan menyapa: “Tuan siapa?” 

“Aku adalah saudara suamimu,“ balasnya. "Kedatanganku ini semata untuk mengunjunginya” 

“Oh, selamat datang, tuan” kata isteri saudaranya seraya mempersilahkan masuk penuh keramahan. Tidak begitu lama saudara salih yang ditunggunya tiba juga sambil memanggul seikat kayu bakar. Mereka segera terlibat perbincangan sambil menikmati hidangan yang disuguhkan.  

Setelah semuanya dirasa cukup, dan ketika ia hendak kembali, ia sempatkan bertanya tentang beberapa hal. Bagaimana dahulu ia dapat menundukkan seekor harimau dan mau diperintah membawakan kayu bakar. Sedang sekarang ini ia hanya datang sendirian sambil memanggul kayu bakar. 

“Kenapa bisa begitu?” tanya saudaranya. 

Saudaranya menjawab: ”Ketahuilah saudaraku, isteriku yang dahulu berlidah panjang itu sudah meninggal. Sedapat mungkin aku berusaha bersabar atas perangai buruknya. Sehingga Allah memberi kemudahan diriku untuk menundukkan seekor harimau, sebagaimana pernah kau lihat sendiri sambil membawa kayu bakar itu. Semuanya terjadi lantaran kesabaranku padanya. Lalu aku menikah lagi dengan perempuan yang shalihah ini. Aku sangat gembira mendapatkannya. Maka harimau itupun dijadikan jauh dariku, karena itu aku memanggul sendiri kayu bakar itu, lantaran kegembiraanku terhadap isteriku yang shalihah ini.” 





Diambil dari kitab UQUD AL-LUJAIN FIY BAYAANI HUQUQ AL-ZAUJAIN, karya Syekh Nawawi Al Bantani.
Lintas Islam akhlak, keluarga, tashawuf