Islam Untuk Semua Umat

Monday, February 27, 2012

Imam Ja'far as Sadiq

Hanya sedikit ulama yang selama berabad-abad telah berusaha menjembatani perbedaan antara Syiah dan Sunni, Sufi dan Salafi, Modernis dan Tradisionalis; dan lebih sedikit lagi yang dinaikkan begitu tinggi dalam keilmuan mereka dan diklaim dengan validitas yang sama oleh kaum Syiah dan Sunni, Sufi dan Salafi, Modernis dan Tradisionalis. Imam Ja'afar Sadiq adalah salah satu dari ulama tersebut. Kaum Syiah menganggap beliau sebagai Imam keenam. Kaum Sunni menganggap beliau sebagai seorang guru dari  mujtahidin besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Para Sufi dari semua tariqah mendudukkannya dalam rantai periwayatan pengetahuan spiritual dari Nabi, kaum Salafi menerima hadis yang diriwayatkan melalui beliau, kaum modernis menganggap beliau sebagai guru dari beberapa saintis empiris dan rasional terbaik yang terkenal pada zamannya, dan tradisionalis mengikuti bimbingan beliau dalam hal iman dan ritual. Bila Sunnah Nabi adalah seperti batang pohon, Imam Ja'afar adalah salah satu cabang utamanya.

Imam Ja'afar mengajarkan rekonsiliasi dan persaudaraan di antara perselisihan agama dan sektarian. Mengenai Sunni ia berkata: "Berdoalah dengan suku mereka, ambil bagian dalam pemakaman mereka, kunjungi mereka yang sakit dan berikan kepada mereka apa yang menjadi hak mereka". Syekh Hisyam meriwayatkan doa berikut dari Imam Ja'afar tentang Abu Bakar as Siddiq RA dan Umar bin Al Khattab RA: "Ya Allah, Engkau adalah saksiku, bahwa aku mengasihi Abu Bakar dan aku mencintai Umar dan jika apa yang aku katakan tidak benar semoga Allah memutuskanku dari syafaat Muhammad". Sungguh berbeda pendekatan para Imam besar dengan pendekatan picik dari kaum Syiah dan Sunni hari ini yang menaruh pisau di leher saudara mereka yang lain karena mereka tenggelam di dalam kebodohan dan prasangka yang terakumulasi selama berabad-abad untuk melayani narasi sejarah yang mereka buat di masa lalu.

Imam Ja'afar as Sadiq adalah Syaikh dari Syaikh besar, guru dari Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi), Imam Malik (pendiri mazhab Maliki), Jabir bin Hayyan (Kimiawan) dan Wasil bin Atta (pendiri mazhab Muta'zilah). Keilmuannya mencakup esoteris dan juga eksoteris, ilmu Isyarah dan juga ilmu Ibarah, ilmu kalam dan ilmu hadis, sunnah, ilmu alam dan ilmu-ilmu sejarah. Dia adalah al-Hakim, orang bijaksana sejati sesuai Alquran, seorang alim yang lengkap yang mengerti bahwa Syariah diterapkan tidak hanya untuk dunia manusia tetapi juga untuk dunia semesta alam. Beliau menerapkan pengetahuan yang tajam untuk menciptakan pola Ilahi di dunia manusia melalui Fiqh, tetapi beliau juga melihat pola-pola di alam dan dalam sejarah dan beliau mengajarkannya kepada murid-muridnya. Beliau adalah pewaris dua rahasia, satu dari Abu Bakar as Siddiq RA, dan yang lain dari Ali bin Abi Thalib kwh.

Ja'far as Shadiq lahir di Madinah pada tanggal 20 April 702 Masehi dari rahim Ummu Farwa, yang merupakan cucu dari Muhammad bin Abi Bakr, salah seorang putra dari Abu Bakar as Siddiq, Khalifah Rasyidin pertama dalam Islam versi Sunni. Ayahnya adalah Muhammad al-Baqir bin Ali bin Zainul Abidin bin Hussein bin Ali bin Abi Thalib kwh yang dianggap oleh Syiah sebagai Imam kelima. Beliau adalah seorang ulama yang bekerja keras untuk menjembatani kesenjangan antara Syiah dan Sunni dan antara Islam dan agama lain. Tak heran jika Syiah dan Sunni, Sufi dan Salafi, tradisionalis dan modernis mengklaim beliau sebagai milik mereka.

Imam Ja'afar adalah seorang master dari Ilmu Ibarah dan Ilmu Isyarah. Ulama Islam klasik membagi pengetahuan ke dalam dua kategori besar, yaitu yang bisa diakses oleh pikiran dan yang hanya dapat diakses oleh hati. Yang termasuk kategori pertama adalah rasional, logika, matematika, sains, sosiologi, hadis dan kewajiban-kewajiban dan ritual-ritual agama. Pengetahuan ini dapat diajarkan dan dapat dipelajari dari seorang Alim. Ilmu ini disebut Ilmu Ibarah dari akar bahasa Arab Alif-Ba-Ra yang berarti menyeberang, seperti mengarungi dari satu tepi sungai ke tepi lainnya. Ini adalah pengetahuan yang diberikan kepada murid di dalam sekolah atau universitas. Pengetahuan hati, di sisi lain, tidak dapat diakses oleh pikiran tetapi hanya dapat diakses oleh hati. Yang termasuk dalam kategori ini termasuk cinta, kasih sayang, kerendahan hati (zuhud), kesalehan (wara), etika (akhlak) dan kesadaran akan kehadiran Ilahi. Pengetahuan ini tidak dapat diajarkan. Namun Syaikh besar dapat membantu murid-murid untuk membersihkan hati mereka dan membukakannya kepada kemungkinan yang tak terbatas dari ilmu Isyarah. Kadang-kadang, kedua aliran pengetahuan itu juga disebut sebagai Ilmu Ghaib (pengetahuan yang berada di luar persepsi) dan Ilmu Zahir (pengetahuan yang dapat diakses oleh persepsi). Terminologi ini konsisten dengan terminologi Quran. Namun, diskusi Ilmu ghaib adalah di luar lingkup tulisan ini.

Imam Ja'afar as Sadiq menjauhkan diri dari ketegangan politik pada masanya, dan berfokus pada mengajar dan mendidik masyarakat. Pilihan ini merupakan keuntungan besar bagi peradaban Islam. Ada kebijaksanaan dalam strategi ini. Sejarah berhutang budi kepada Imam Ja'afar as Sadiq atas dedikasi beliau bagi pengetahuan dan pengajaran yang menghasilkan tokoh-tokoh besar di bidang fikih, tasawuf, sains dan matematika.

Di bawah penguasa Umayyah, Ja'far as Sadiq dianggap oleh banyak pengikut Syiah sebagai imam Syi'ah keenam, dan bagaimanapun, Syiah dianggap bidah dan pemberontak oleh para khalifah Umayyah. Banyak kerabat Ja'far as Shadiq telah tewas di tangan Umayyah. Tak lama setelah kematian ayahnya, paman Ja'far as Sadiq, Zaid bin Ali memimpin pemberontakan melawan Bani Umayyah. Ja'far as Sadiq tidak berpartisipasi, tetapi banyak dari sanak saudaranya, termasuk pamannya tewas, dan lainnya dihukum oleh Khalifah Umayyah. Ada pemberontakan lain selama tahun-tahun terakhir dari Bani Umayyah, sebelum Bani Abbasiyah berhasil merebut kekhalifahan dan mendirikan dinasti Abbasiyah pada tahun 750 Masehi, ketika Ja'far as Shadiq berusia 48 tahun. 

Muhammad al-Baqir dan putranya, Ja'far as Sadiq, secara eksplisit menolak gagasan pemberontakan bersenjata. Banyak faksi pemberontak berusaha meyakinkan Ja'afar as Sadiq untuk mendukung klaim mereka. Ja'afar as Sadiq menghindari permintaan mereka tanpa secara eksplisit mengajukan klaimnya sendiri. As Sadiq menyatakan bahwa meskipun ia, sebagai imam yang ditunjuk, adalah pemimpin sejati umat, ia tidak akan mengajukan klaimnya untuk kekhalifahan. Kediaman politik Ja'far as Sadiq pada pandangan ini dikatakan telah melahirkan taqiyyah sebagai doktrin Syiah. Taqiyyah adalah doktrin Syiah yang mengatakan bahwa dibolehkan untuk menyembunyikan pendapat benar seseorang jika dengan mengungkapkannya, ia menempatkan diri sendiri atau orang lain dalam bahaya.

Para penguasa baru Abbasiyah, yang telah naik ke tampuk kekuasaan atas dasar klaim mereka atas keturunan mereka dari paman Nabi,  Abbas bin Abdul Muthalib, sangat curiga terhadap Ja'far as Sadiq, yang dianggap oleh banyak orang memiliki klaim yang lebih baik untuk kursi kekhalifahan. Banyak pengikut Zaid bin Ali yang siap untuk mengikuti Ja'afar as Sadiq dieksekusi secara kejam oleh Abbasiyah. 

Ja'far as Sadiq diawasi secara ketat dan sesekali dipenjarakan untuk memutuskan hubungan beliau dengan pengikutnya. Ja'afar as Sadiq menjalani penganiayaan dengan sabar dan melanjutkan studi dan menulis di mana pun beliau menemukan dirinya. Beliau meninggal pada tanggal 14 Desember 765 akibat diracuni oleh khalifah Al-Mansur. Beliau dimakamkan di Madinah, di kuburan terkenal Jannatul Baqi.

*****

Imam Ja'afar dikenal di dalam sejarah sebagai salah satu yang terbesar di antara para ulama dan guru. Metode mengajar pada masa itu adalah di dalam sebuah halaqah (lingkaran) atau setengah lingkaran di mana seorang Syaikh memberikan pengetahuan dan kebijaksanaan kepada mereka yang menghadiri halaqahnya. Imam Ja'far awalnya mengajarkan di halaqah yang dimulai oleh ayahnya Imam Baqir. Ketika pengunjung halaqah berkembang, halaqah diadakan di Masjid Nabawi di Madinah. Begitu besar pancarannya bahwa beliau segera menarik sejumlah besar murid. Di antara mereka yang sering mengunjungi halaqah di tahun-tahun awal adalah Imam Abu Hanifah yang mengatakan hubungannya dengan Imam Ja'afar as Shadiq: "Kalau bukan karena dua tahun bersama Ja'far as Shadiq, aku akan binasa". Beliau menyebut Imam Ja'far sebagai "ulama paling terpelajar yang pernah aku lihat". Referensi di sini adalah untuk transmisi pengetahuan rohani. Syariah memiliki dua aspek eksternal dan aspek internal. Aspek internal Syariah adalah sauh di mana aspek eksternal ditambatkan. Imam Abu Hanifah dikenal sebagai Imam al-Azam (Imam Besar) di bidang fiqh. Seperti diakui oleh Imam Abu Hanifah, dasar-dasar spiritual dari mazhab fiqh Hanafi berhutang banyak kepada pengetahuan spiritual yang ditransmisikan oleh Imam Ja'far as Sa'adiq dan melalui rantai transmisi yang tak terputus dari para keturunan sampai kepada Ali bin Abi Thalib kwh dan Abu Bakar as Siddiq RA (bagi mereka yang ingin membenamkan diri ke dalam laut yang dalam ini) sampai kepada Nur Muhammad, Cahaya Muhammad SAW.

Ulama terkenal lain yang menghadiri halaqah Imam Ja'far adalah Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab fiqh Maliki. Sebagian besar mahasiswa hukum Islam tidak menyadari bahwa banyak dari Fiqh Maliki didasarkan pada putusan yang diberikan oleh Ali bin Abi Thalib kwh selama Kekhalifahan Umar bin Al Khattab RA. Imam Malik (711-795) dari Madinah lebih muda dari Imam Ja'far as Shadiq (700-765 M) dan Imam Abu Hanifah (699-767CE). Imam Malik berkata tentang Imam Ja'afar: "Aku adalah pengunjung tetap beliau selama beberapa waktu, dan aku tidak pernah melihat beliau sekali pun tanpa shalat, puasa atau membaca Al Qur'an." Pada generasi berikutnya setelah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, Imam Syafi'i (d 820) dari Damaskus mempelajari ajaran Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dan mengembangkan mazhab fiqh Syafi'i. Fiqih Hambali yang tumbuh dari gerakan protes terhadap Muta'zilah menggunakan mazhab-mazhab fiqh  sebelumnya sebagai dasarnya. Jadi semua mazhab utama Fiqh, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali dan Ja'fariya berhutang budi pada pengetahuan yang ditransmisikan oleh Imam Ja'afar as Sadiq.

Imam Ja'far bukan hanya seorang ulama Kalam, Sunnah dan Hadis. Ia juga seorang sejarawan dan master kimia, astronomi, matematika dan ilmu alam. Salah seorang muridnya, Jabir bin Hayyan, melanjutkan ajaran beliau untuk membedakan dirinya sebagai ahli kimia dan ahli matematika terkemuka pada masanya. Wasil bin Ata (w. 748 M) yang merupakan pendiri mazhab filsafat (rasional) Mutazilah juga murid yang menghadiri halaqah Imam Ja'afar.  Kelengkapan dan nafas keilmuan yang ditampilkan oleh Imam Ja'far konsisten dengan perintah Al-Quran untuk belajar tidak hanya ilmu-ilmu jiwa tetapi juga ilmu-ilmu alam dan sejarah karena di ketiga ilmu tersebut ada Tanda-tanda pola Ilahi. Quran menyatakan: "Kami akan menunjukkan kepada mereka ayat-ayat Kami di cakrawala dan di dalam diri mereka, sampai jelas bagi mereka bahwa itu memang kebenaran." (41, 53). Di cakrawala berarti dunia eksternal (zahir) manusia seperti sejarah, sosiologi dan dunia alam (ilmu-ilmu alam). Baru setelah abad ketujuh belas studi tentang Quran dan Sunnah dipisahkan dari studi sejarah dan ilmu alam di sekolah-sekolah Islam yang mendatangkan konsekuensi bencana bagi peradaban Islam.

Pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana mungkin bagi seseorang untuk memiliki pengetahuan tentang ilmu alam dan matematika dimana ia tidak belajar dari guru lainnya? Imam Ja'far as Sadiq dan ayahnya Imam Baqir mengetahui ilmu-ilmu ini jauh sebelum kitab-kitab Yunani, India, Cina, Persia dan lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pertanyaan ini mendalam dan membutuhkan jawaban yang serius. Kesulitan dalam menjawab pertanyaan ini muncul dari klaim oleh ilmu pengetahuan modern dan oleh manusia modern yang hanya mengakui bahwa metode empiris dan rasional hanyalah dua metode yang dapat diterima untuk memperoleh pengetahuan. Mereka tidak mengakui perolehan pengetahuan dengan cara supra-rasional atau transenden.

Hal ini telah menjadi kesulitan yang dihadapi oleh orang bijak sepanjang zaman. Orang-orang menertawakan orang-orang bijak karena mereka tidak bisa memahami kebijaksanaan dari orang-orang bijak. Bahkan lebih sulit lagi untuk memahami para nabi. Kaum Nuh menertawakannya saat ia membangun bahtera. Firaun memerintahkan bawahannya untuk membangun bangunan tinggi sehingga ia bisa "melihat" Tuhannya Musa!

Sebagian besar bahasa intuisi adalah Ilmu Isyarah. Ia dapat dirasakan, disinggung tetapi tidak dapat diajarkan. Beberapa dapat diakses rasio, beberapa tidak. Imam Ja'far as Sadiq adalah seorang wali. Melalui pelatihan, garis keturunannya, kesalehan, karakter dan hatinya yang telah disucikan mencerminkan kasih karunia Ilahi, intuisinya lebih besar dibandingkan kebanyakan orang. Jika dia mengatakan bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi, itu bukan karena ia belajar dari orang Mesir atau Yunani tetapi karena pengetahuan yang diberikan oleh Allah (ilmu Laduni). Itu merupakan karunia Ilahi, diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.

Imam Muhammad al-Baqir dan Imam Ja'far as Sadiq tahu bahwa dunia Muslim akan dibanjiri dengan buku-buku dari para filsuf Yunani dan Alexandria dan bahwa umat Islam secara membabi buta akan menerima segala sesuatu yang mereka tulis sebagai kebenaran Injil. Dengan demikian, banyak teori yang salah dan keliru akan mengacaukan imajinasi mereka, merusak pikiran mereka, dan menempatkan mereka di bawah kegelapan total selama berabad-abad, seperti apa yang terjadi pada peradaban Yunani di masa lalu. Kedua Imam menjelaskan kepada murid-murid mereka teori-teori para filsuf, menunjukkan kesalahan mereka dan menyajikan teori-teori mereka sendiri yang benar. Demikian pula beliau mengajarkan mereka fisika, kimia, geografi dll sebelum mata pelajaran tersebut diterjemahkan dari bahasa India, Cina, Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab.

Kebangkitan intelektual penting umat Islam pada abad kedua Hijrah bukan karena pengaruh kebudayaan Hellenic atau pengaruh asing lainnya, seperti dikatakan oleh beberapa sejarawan Barat. Jika tidak ada kedua Imam tersebut yang meluruskan kesalahan-kesalahan dalam filsafat-filsafat Yunani, filsafat-filsafat Yunani tersebut hanya akan menjadi tumpukan buku-buku tua seperti yang terjadi di Yunani pada masa pra Islam. Buku-buku filsafat diabaikan oleh sebagian besar dari masyarakat Yunani, tetapi cerita tentang dewa-dewi diyakini dan menjadi bagian utama dari peradaban Yunani pra Islam. Melalui peradaban Islam, cerita tentang dewa-dewi ditinggalkan dan filsafat dikembangkan menjadi sains dan teknologi.

*****

Tulisan berikut ini diekstrak dari buku "The Great Muslim Scientist and Philosopher". Buku ini adalah sebuah terjemahan dari buku "Maghze Mutafakkir Jehan Shia", buku berbahasa Persia yang terkenal. Buku berbahasa Persia itu sendiri adalah sebuah terjemahan dari sebuah thesis berbahasa Perancis yang dipublikasikan oleh The Research Committee of Strasbourg, France, tentang kontribusi yang dibuat oleh Ja'far as Sadiq bagi sains, filosofi, literatur dan irfan (gnosticism). 'Kaukab Ali Mirza' mengerjakan terjemahan dari bahasa Persia ke bahasa Inggris.


Rotasi Bumi mengelilingi Matahari:

Pada usia 11 tahun, Imam Ja'far membantah teori bahwa matahari, bulan dan planet-planet berputar mengelilingi bumi. Beliau mengatakan bahwa matahari, selama perjalanannya memutari bumi, melewati 12 rasi bintang dalam satu tahun dan tetap di setiap konstelasi selama 30 hari, jadi mengapa ia kemudian menghilang dari pandangan pada malam hari. Ia seharusnya tetap terlihat di konstelasi masing-masing selama 30 hari. Teori Ptolemy mengatakan bahwa matahari memiliki dua gerakan. Salah satu gerakannya adalah bahwa ia melintasi tanda zodiak dan bergerak mengelilingi bumi dalam satu tahun dan gerakan lainnya adalah bahwa ia bergerak mengelilingi bumi dalam satu malam dan satu hari, sebagai akibatnya kita dapat melihatnya terbit di timur dan terbenam di barat.

Ptolemy adalah seorang ahli geografi dan astronom yang lahir di Alexandria pada abad ke-2 SM. Ia memperkaya pengetahuannya dengan membaca buku-buku ilmuwan besar Yunani di perpustakaan Alexandria. Dia meminjam dari Euclid, matematikawan besar, ide bahwa matahari berputar mengelilingi bumi dan kemudian mengembangkan teorinya sendiri yang dikenal sebagai Sistem Ptolomeus. Sejak itu sampai abad ke-8 SM tidak ada yang membantah teori ini.

Aristoteles adalah seorang pemikir dan filsuf  besar. Buku-bukunya, Arganan dan Fisika, adalah harta yang paling berharga bagi umat manusia, tetapi teorinya bahwa bumi diam dan matahari dan bintang-bintang berputar di sekitarnya, menunda kemajuan ilmu Astronomi dan manusia terus berada dalam kegelapan kebodohan selama 1800 tahun.

Imam Ja'far mengatakan bahwa kedua gerakan itu tidak kompatibel. Ketika matahari harus melewati tanda zodiak dalam satu tahun dan tinggal di konstelasi masing-masing selama 30 hari bagaimana ia bisa mengubah arah dan pergi mengelilingi bumi dalam 24 jam?

Ia juga mengatakan bahwa bumi berputar mengelilingi porosnya sendiri. Poincares, ilmuwan besar yang hidup di abad ke-20 menertawakan teori ini. Ketika seorang ilmuwan di abad ke-20 bisa menolak untuk percaya teori ini, bagaimana mungkin orang yang hidup di abad ke-1 dan ke-2 Hijriah bisa percaya kepada teori Imam Ja'far? Rotasi bumi pada porosnya sendiri dapat dibuktikan dengan pengamatan saja. Ketika astronot mendarat di permukaan bulan, dan mengarahkan teleskop mereka terhadap bumi mereka melihat bahwa ia berputar perlahan pada porosnya.

Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa hanya melalui dugaan bahwa Imam Ja'far as-Sadiq mengatakan bahwa bumi berputar pada porosnya sendiri. Kadang-kadang terjadi bahwa dugaan terbukti benar. Tapi muncul pertanyaan mengapa tidak ada orang lain yang telah menduga untuk waktu yang lama. Ini membuktikan bahwa beliau tahu hukum astro-fisika yang memungkinkannya untuk membuat penemuan itu. Jika beliau tidak tahu hukum-hukum tersebut, maka tidak mungkin baginya untuk menemukan rotasi bumi pada porosnya. Penemuan ini tidak mungkin tanpa disengaja. Seseorang harus tahu penyebab untuk mengetahui efeknya.

Tragisnya, karena alasan tersebut di atas, kredit dari penemuan gerakan putaran bumi mengelilingi matahari diberikan kepada Copernicus yang adalah seorang astronom dan ahli matematika di abad ke-15. Teori rotasi bumi mengelilingi porosnya sendiri jatuh kepada Galileo yang menemukan teleskop.


Teori Empat Elemen:

Pada usia 12 tahun, Imam Ja'afar menolak teori Empat Elemen Aristoteles dan membuktikan bahwa itu salah. Ia berkata: "Aku tidak tahu bagaimana orang seperti Aristoteles bisa mengatakan bahwa di dunia hanya ada empat elemen - Tanah, Air, Api, dan Udara. Tanah bukanlah elemen karena berisi banyak unsur (elemen). Setiap logam, yang ada di bumi, adalah sebuah elemen.

Selama 1.000 tahun teori ini tidak pernah terbantahkan, dan tetap menjadi batu sandungan fisika. Imam Ja'far as Sadiq membuktikan bahwa Air, Udara, dan Api juga bukan elemen, tetapi campuran elemen. Hal itu dikatakannya 1.100 tahun sebelum ilmuwan Eropa menemukan bahwa udara bukanlah elemen dan telah memisahkan konstituennya. Untuk memperoleh fakta bahwa Air bukanlah elemen, tetapi campuran elemen, tidaklah mungkin untuk disimpulkan pada masa dan usia Imam Ja'far. Dia mengatakan bahwa ada banyak elemen di udara dan bahwa mereka semua sangat penting untuk pernapasan.

Barulah pada abad ke-18, yang dianggap zaman keemasan ilmu pengetahuan, setelah Lavoisier memisahkan oksigen dari udara dan menunjukkan peran penting yang dimainkannya dalam pernapasan dan pembakaran, maka mereka menerima bahwa udara bukanlah suatu elemen. Namun, kemudian mereka berpendapat bahwa unsur-unsur lain tidak berperan dalam pernapasan. Pada pertengahan abad ke-19, barulah para saintis mengubah pandangan mereka tentang peranan yang dimainkan oleh elemen-elemen lain dari udara dalam pernapasan. Pada saat itu juga dibuktikan bahwa meskipun oksigen memurnikan darah, ia juga membakar bahan-bahan yang mudah terbakar yang bersentuhan dengan oksigen. Jika makhluk hidup bernapas dengan oksigen murni untuk waktu yang lama, organ pernapasan mereka akan teroksidasi. Oksigen tidak merusak organ pernapasan mereka karena bercampur dengan gas lainnya. Oleh karena itu, mereka menyimpulkan bahwa kehadiran gas-gas lainnya walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit di udara juga penting untuk pernapasan.

Selain itu, oksigen yang merupakan gas paling berat dari semua gas lain di udara akan mengendap di bagian bawah dan menutupi permukaan bumi sampai kedalaman tertentu. Akibatnya, organ pernapasan dari semua hewan akan terbakar dan kehidupan hewan akan punah. Selain itu, ia akan memotong suplai karbon dioksida, yang sangat dibutuhkan oleh tanaman, sehingga tidak memungkinkan tanaman untuk tumbuh di permukaan bumi. Adanya gas lain di udara tidak membiarkan oksigen mengendap turun ke bawah dan menghancurkan hewan dan tumbuhan.

Akhirnya, setelah lebih dari 1000 tahun, teori Imam Ja'far as Sadiq bahwa kehadiran dari semua gas di udara sangat penting untuk pernapasan itu terbukti benar. Beliau adalah orang pertama yang menemukan bahwa oksigen menghasilkan keasaman. Waktu tidak memungkinkan beliau untuk membuatnya dikenal oleh dunia, tetapi beliau memang terbukti pelopor dan pemimpin dalam studi ilmiah oksigen.



Asal-usul Alam Semesta:

Teori Imam Ja'far lainnya yang indah adalah tentang 'Asal-usul Alam Semesta'. Ketika para saintis modern membaca teori ini mereka akan mengkonfirmasi bahwa teori tersebut benar-benar sesuai dengan teori modern, yang belum menjadi sebuah hukum fisika. Namun, ia memiliki perbedaan yang unik bahwa teori tersebut telah diucapkan 12 abad yang lalu. Teori ini berbunyi sebagai berikut:

"Alam semesta lahir dari sebuah partikel kecil, yang memiliki dua kutub yang berlawanan. Partikel itu menghasilkan atom. Dengan cara ini materi muncul menjadi ada. Kemudian materi ini menjadi beragam. Keberagaman ini disebabkan oleh kepadatan atau kelangkaan dari atom-atom."

Hal yang paling signifikan dalam teori ini adalah deskripsi dari dua kutub yang berlawanan. Pentingnya point ini disadari ketika keberadaan dua kutub yang berlawanan telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern. Hari ini teori tersebut adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan dalam ilmu atom dan elektronik.

Satu lagi teori yang menarik adalah bahwa alam semesta tidak selalu dalam satu kondisi yang sama. Dalam satu periode mengembang (ekspansi) dan pada periode lain menyusut (kontraksi).

Fenomena ini dianggap selama berabad-abad sebagai 'tak terbayangkan' dan teori tersebut tidak dapat dipahami secara penuh oleh para astronom terkemuka. Setelah abad ke-18 teleskop yang kuat makin banyak dibangun dan para astronom bisa melihat benda langit di luar tata surya kita. Adalah pada tahun 1960 bahwa telah diamati dan dikonfirmasi oleh para astronom bahwa jarak antara galaksi kita dengan galaksi tetangga meningkat. Observasi ini telah menyediakan bukti yang cukup bahwa alam semesta berada dalam keadaan mengembang (ekspansi). Kita tidak tahu kapan ekspansi ini dimulai. Penemuan lubang hitam telah membuktikan pernyataan lain bahwa alam semesta kadang-kadang menyusut (kontraksi) juga terbukti benar. Oleh karena itu teori Imam Ja'far itu terbukti benar.

Imam Ja'afar juga menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta termasuk benda mati, selalu bergerak meskipun kita tidak melihatnya. Tidak ada sesuatu pun yang tanpa gerak.

Teori ini, yang tidak bisa diterima di masanya, adalah merupakan fakta ilmiah pada hari ini. Tidak mungkin membayangkan, menjelaskan dan menggambarkan obyek dalam alam semesta, yang tanpa gerak. Gerakan adalah esensi dari keberadaan. Jika tidak ada gerak maka ia tidak ada. Ia adalah gerakan terus-menerus dari Sang pencipta kehidupan. Dengan kata lain gerakan abadi itu sendiri adalah kehidupan. Jika gerakan berhenti, kehidupan tidak akan ada lagi. Adalah merupakan kehendak Allah bahwa gerakan abadi tidak pernah berhenti dan siklus kehidupan terus berlanjut. Gerakan abadi ini akan terus berlanjut sampai saat yang dikehendaki-Nya.

Jabir, muridnya pernah bertanya kepada Imam "Bagaimana pergerakan bintang-bintang menjaga mereka agar tidak jatuh?"

Imam Ja'far menjawab: "Taruh batu pada sebuah gendongan dan putarkan mengitari kepalamu. Batu akan tetap berada pada gendongan selama engkau memutarnya. Tetapi begitu engkau berhenti memutar, batu itu akan jatuh ke tanah.. Dengan cara yang sama gerakan abadi dari bintang-bintang menjaga mereka agar tidak jatuh ke bawah."


Kontribusi dalam Fisika:

Imam Ja'far as Sadiq membuat banyak penemuan dalam fisika yang tak seorang pun bahkan memimpikannya sebelum atau setelah masa beliau. Salah satu hukum yang dinyatakan olehnya adalah tentang keburaman dan transparansi dari material-material. Beliau mengatakan bahwa material-material yang padat dan penyerap adalah berwarna buram, dan material-material yang padat dan penolak adalah transparan. Ketika beliau ditanya tentang sesuatu yang diserap oleh material buram, beliau menjawab "Panas".

Hari ini teori tersebut adalah merupakan salah satu dari Hukum Fisika. Betapa indahnya bahwa pada abad ke-2 H, ia bisa mengucapkan suatu teori baru dan unik.


Kontribusi dalam Sastra:

Imam Ja'far as Sadiq mendefinisikan 'Sastra' sebagai definisi yang tak ada seorang pun pernah membantahnya selama dua belas abad terakhir. Beliau berkata: "Sastra adalah pakaian yang seseorang kenakan pada apa yang ia katakan atau tulis sehingga ia mungkin tampak lebih menarik." Beliau lebih lanjut mengatakan bahwa adalah mungkin bahwa sastra mungkin tidak memiliki pengetahuan, tetapi tidak ada pengetahuan tanpa sastra. Setiap jenis pengetahuan berisi sastra, tetapi setiap jenis sastra tidak selalu mengandung pengetahuan. Ini memang definisi ringkas dan komprehensif tentang hubungan antara pengetahuan dan sastra.

Imam Ja'far memang pelopor untuk memulai jaman sastra. Jika ia tidak mengambil langkah pertama dan memberikan dorongan kepada para saintis dan para sastrawan, tidak akan ada kebangkitan sastra dan tidak ada Renaissance dari pengetahuan.


Komposisi Tubuh Manusia:

Imam Ja'far mengatakan bahwa sementara semua manusia diciptakan dari tanah (bumi), yang merupakan suatu fakta yang diketahui, ia juga mengatakan bahwa apa yang ada di bumi (tanah) juga ada di dalam tubuh manusia, tetapi semua unsur (elemen) ini tidak dalam proporsi yang sama. Empat unsur adalah dalam jumlah yang sangat besar, delapan unsur berada dalam jumlah kecil dan delapan unsur berada dalam jumlah yang sangat kecil. Teori ini terbukti benar pada akhir abad ke-18 dengan penguraian tubuh manusia. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa rasio unsur-unsur utama dalam tubuh manusia adalah sama di seluruh dunia seperti yang dikatakan oleh Imam Ja'far as Sadiq. Keempat unsur yang berada dalam jumlah besar dalam tubuh manusia adalah: Oksigen, Karbon, Hidrogen dan Nitrogen. Delapan unsur yang berada dalam jumlah kecil adalah: Magnesium, Sodium, Potasium, Kalsium, Fosfor, Sulfur, Besi, dan Klor. Delapan unsur lainnya yang berada dalam jumlah yang sangat kecil adalah: Molibdenum, Cobalt, Mangan, Tembaga, Seng, Fluorin, Silikon dan Iodin.


Penemuan Hidrogen:

Menurut dunia Barat, keajaiban terbesar Imam Ja'far adalah wahyu tentang adanya oksigen di udara. Dunia barat mengakui sekarang bahwa Imam Ja'far telah menemukan teori ini dua belas setengah abad yang lalu. Imam Baqir telah mengatakan tentang adanya hidrogen di dalam air dan bahwa air dapat berubah menjadi api, karena hidrogen adalah gas yang sangat mudah terbakar. Penemuan kedua gas tersebut tergantung pada pemisahan mereka dari udara dan air. Pemisahan hidrogen dari air lebih sulit daripada pemisahan oksigen dari udara. Oksigen murni tersedia di udara, tetapi hidrogen murni tidak tersedia di mana saja. Oleh karena itu hidrogen tidak dapat diperoleh sampai tenaga listrik yang cukup berhasil dikembangkan dan air dihidrolisis. Dunia heran tentang bagaimana para imam bisa mengungkapkan adanya hidrogen di udara yang merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa dan tidak ada secara bebas di alam. Mereka tidak bisa mengidentifikasikan gas-gas ini dan menemukan sifat-sifatnya tanpa memisahkannya dari air melalui proses hidrolisis, yang tidak mungkin dapat dilakukan tanpa arus listrik yang kuat.

Orang pertama yang mampu memisahkan hidrogen dari air di zaman modern adalah ilmuwan Inggris Henry Cavendish, yang meninggal pada tahun 1810. Setelah bertahun-tahun melakukan penelitian dia mampu menghidrolisis air dan mendapatkan gas hidrogen. Ia juga dapat mengkonfirmasi bahwa gas hidrogen adalah sangat mudah terbakar sebagai akibat dari kecelakaan aneh pada saat ia melakukan eksperimen, yang mengakibatkan kebakaran rumahnya. Akhirnya Lavoisier, ahli kimia Perancis, yang memberi nama hidrogen untuk gas ini.


Teori Cahaya:

Kontribusi besar lain bagi ilmu pengetahuan oleh Imam Jafar as Sadiq adalah Teori Cahaya. Beliau mengatakan bahwa cahaya yang dipantulkan oleh obyek-obyek yang berbeda datang kepada kita, tetapi hanya sebagian dari sinar memasuki mata kita. Itulah alasan mengapa kita tidak dapat melihat obyek yang jauh dengan jelas.

Jika semua sinar cahaya yang datang dari mereka memasuki mata kita, obyek akan muncul dekat dengan kita. Jika kita membuat suatu perangkat melalui mana semua sinar cahaya yang datang dari penggembalaan unta pada jarak 3000 zirah (satu zirah adalah 40 inci) memasuki mata kita, maka kita akan melihat mereka merumput pada jarak hanya 60 zirah misalnya. Semua obyek ini akan terlihat 50 kali lebih dekat kepada kita.

Teori ini menyebar luas melalui murid-muridnya dan mencapai Eropa pula.

Adalah teori ini, yang membantu Lippershey dari Flanders untuk membuat teropong pertamanya pada tahun 1608. Galileo memanfaatkan teropong ini dan menemukan teleskop pada tahun 1610. Jika Imam Ja'far tidak merumuskan teori cahaya, teropong dan teleskop tidak akan ditemukan dan dibuat, dan Galileo tidak akan bisa mengkonfirmasi melalui pengamatan visual mengenai teori Copernicus dan Kepler bahwa semua planet termasuk bumi berputar mengelilingi matahari. Ketika Galileo ditanya mengapa teleskop membuat benda-benda langit terlihat begitu dekat sehingga mereka bisa melihat pegunungan bulan, dia mengulangi kata-kata Imam Ja'far as Sadiq dan berkata: "teleskop ini mengumpulkan semua sinar cahaya yang datang dari benda-benda langit Ketika semua sinar cahaya yang datang dari benda-benda langit terkonsentrasi, obyek yang berada pada jarak 3.000 meter muncul di depan kita seolah-olah mereka pada jarak hanya 60 meter. "

Sebelum masa Imam Ja'afar, diyakini bahwa cahaya dari mata kita jatuh pada obyek yang berbeda sehingga mereka bisa dilihat. Beliau adalah orang pertama yang mengatakan bahwa "sinar cahaya dari objek yang berbeda datang ke mata kita dan memungkinkan kita untuk melihat mereka. Sinar cahaya dari mata kita tidak pergi keluar dan jatuh pada objek lain, jika seperti itu kita akan dapat melihat mereka dalam kegelapan juga. "

Imam Ja'afar juga mengajukan sebuah teori yang sangat menarik tentang kecepatan cahaya. Dia mengatakan bahwa cahaya adalah semacam gerakan yang sangat cepat. Hal ini selaras dengan teori modern cahaya.

Imam Ja'afar pernah mengatakan selama halaqah bahwa sinar cahaya yang kuat bisa memindahkan benda yang berat. Cahaya yang Musa lihat di Gunung Sinai adalah semacam itu. Ia dapat memindahkan gunung jika Allah menghendaki. Dapat dikatakan bahwa dengan membuat pernyataan ini, ia meletakkan dasar dari teori laser.


Teori Transfer Penyakit oleh Sinar:

Imam Ja'far as Sadiq mengatakan bahwa pasien yang menderita penyakit tertentu memancarkan sinar jenis khusus. Jika sinar ini jatuh pada orang yang sehat, mereka cenderung untuk membuatnya sakit.

Teori ini tidak diterima oleh dokter dan ahli biologi. Mereka berpendapat bahwa mikroba dan virus adalah penyebab utama dari banyak penyakit yang disebarkan oleh serangga, udara, air, makanan dan kontak langsung dan tidak langsung dengan pasien.

Tidak ada seorang pun sebelum Imam, pernah mengatakan bahwa penyakit juga ditransfer dari satu orang ke orang lain dengan cara sinar, yang dipancarkan dari pasien yang menderita penyakit tertentu. Ide ini diejek oleh orang-orang terpelajar sampai hal itu terbukti benar oleh penelitian ilmiah.


Teori Materi dan Anti-Materi:

Salah satu teori yang unik dari Imam Ja'far as Sadiq adalah bahwa segala sesuatu kecuali Allah memiliki lawan, tetapi ini tidak mengakibatkan konflik, jika tidak seluruh alam semesta akan hancur. Ini adalah teori tentang materi dan anti-materi. Perbedaan antara materi dan anti-materi adalah bahwa di dalam materi elektron bermuatan negatif dan proton bermuatan positif. Namun di dalam anti-materi, elektron bermuatan positif dan proton bermuatan negatif. Para ilmuwan telah menyimpulkan bahwa jika satu kilogram materi bertabrakan dengan satu kilogram anti-materi, begitu banyak energi akan dilepaskan sehingga seluruh dunia akan hancur.

Profesor Alfven berpendapat bahwa tidak ada sumber lain di alam semesta, yang dapat menghasilkan energi begitu besar seperti quasar, kecuali ledakan akibat tumbukan materi dengan anti-materi.

Sama seperti uranium yang digunakan untuk meledakkan bom atom, helium akan digunakan untuk meledakkan materi dengan anti-materi. Ilmuwan Rusia telah berhasil memperoleh anti-materi helium.


Teori Cahaya Bintang:

Imam Ja'far as Sadiq mengatakan bahwa di antara kelompok bintang yang kita lihat di malam hari, ada yang sangat terang dan cukup signifikan bila dibandingkan dengan matahari kita.

Karena keterbatasan pengetahuan manusia, banyak orang pada masa Imam Ja'afar dan abad-abad setelahnya, menganggap teori ini tidak logis, tidak rasional dan tidak bisa diterima. Mereka tidak percaya bahwa bintik kecil cahaya yang disebut bintang-bintang, bisa memiliki lebih banyak cahaya daripada cahaya matahari kita yang besar dan cerah.

Kira-kira dua belas setengah abad kemudian, terbukti bahwa apa yang dia katakan benar. Telah ditemukan bahwa ada bintang di alam semesta, yang miliaran kali lebih terang dari matahari. Mereka disebut quasar. Cahaya quasar adalah sekitar kuadriliun kali (sepuluh ribu milyar kali) cahaya matahari kita. Beberapa dari mereka berada pada jarak sekitar 9.000 juta tahun cahaya dari bumi. Quasar pertama tersebut ditemukan pada tahun 1927.

Teori lain yang penting adalah bahwa ada banyak dunia lain selain dunia kita sendiri, bahwa kita bahkan tidak dapat menghitungnya. Jumlah mereka hanya dalam pengetahuan Allah (swt). Sama seperti kita makhluk hidup di planet ini, ada makhluk hidup di planet lain di alam semesta di mana terdapat kondisi yang cocok.

Teleskop kita hari ini bahkan tidak cukup kuat untuk memungkinkan kita melihat apa yang di luar quasar. Oleh karena itu kita tidak tahu seberapa besar alam semesta ini. Kita hanya dapat menduga bahwa di alam semesta akan ada jutaan dan jutaan dunia, yang telah ada selama miliaran tahun dan akan terus ada selama miliaran tahun yang akan datang.

Karena itu kita harus menerima sebagaimana Imam Ja'far as Sadiq katakan, bahwa, tidak ada seorang pun kecuali Allah (swt) yang tahu jumlah dunia yang besar dan kecil.


Pencemaran Lingkungan:

Imam Ja'far as Sadiq mengatakan bahwa kita tidak boleh mencemari lingkungan kita, jika tidak maka akan menjadi mustahil untuk hidup di planet ini. Jelas dia mempunyai zaman kita dalam pikirannya ketika ia membuat pernyataan tersebut. Polusi bukan masalah di masanya. Tidak ada satu pun pabrik yang ada di masa itu dan logam-logam dilebur dalam tungku kecil dengan membakar kayu. Ini bukan teori tetapi fakta ilmiah yang tidak dapat dibantah. Diperkirakan bahwa jika peningkatan polusi udara pada tingkat sekarang berlanjut selama 50 tahun lebih, 50% dari plankton akan mati dan jumlah oksigen di udara akan berkurang dengan proporsi yang sama.

Negara kaya Jepang mengabaikan saran dari Imam Ja'far as Sadiq dan mencemari lingkungan dan menderita akibatnya. Setelah Perang Dunia II, di mana Jepang dikalahkan, pendapatan tahunan rata-rata pekerja Jepang hanya US $30. Hari ini adalah US $500. Dalam memproduksi kapal, radio, TV, tape-recorder, komputer, kain rayon, dll  telah melahirkan berbagai penyakit yang tidak pernah diketahui telah ada sebelumnya. Sebuah penyakit baru dan berbahaya telah muncul baru-baru ini di Jepang. Penyakit ini disebut Eta Eta karena pasien menangis Eta Eta dalam kesakitan. Gejala pertama penyakit ini adalah sakit parah dan tak tertahankan di dalam tulang. Setelah beberapa waktu, tulang menjadi rapuh sehingga mereka pecah menjadi potongan-potongan seperti kaca. Penyebab penyakit ini adalah akumulasi dalam jumlah besar kadmium di dalam tubuh karena meminum air dan mengkonsumsi produk-produk pertanian yang telah terkontaminasi oleh unsur kadmium. Penyakit baru lain telah muncul di Kyushu di Jepang. Mereka yang menderita penyakit ini kehilangan penglihatan mereka dan jaringan tubuh mereka lenyap. Akibatnya, mereka tidak bisa menggerakkan anggota tubuh mereka. Jika mereka tidak diperlakukan dengan benar mereka secara bertahap akan mati. Penyebab penyakit ini adalah akumulasi merkuri di dalam tubuh melalui air dan makanan  yang tercemar.

Sejak zaman Hippocrates, dokter Yunani terkenal, sampai hari ini sekitar 40.000 jenis penyakit telah didiagnosa, gejala mereka dicatat dan pengobatan telah diresepkan. Tetapi penyakit yang telah muncul di Jepang karena polusi lingkungan mereka adalah tidak diketahui oleh ilmu kedokteran.


Sains dan Filsafat:

Imam Ja'far as Sadiq tidak hanya seorang pemimpin agama, tetapi ilmuwan, filsuf dan seorang sastrawan. Mereka digunakan untuk mengajar teologi, filsuf, ilmu pengetahuan dan sastra. Beliau adalah sarjana pertama di dunia yang membedakan antara sains dan filsafat. Tidak ada orang sebelumnya yang menaruh perhatian pada point yang penting bahwa mereka adalah dua subyek yang berbeda. Beliau mengatakan, sementara menunjukkan perbedaan antara keduanya yang mengejutkan banyak filsuf. Mereka dapat dibagi dalam dua bagian.

Bagian pertama berbunyi sebagai berikut: "Sains dan filsafat adalah dua mata pelajaran yang berbeda Sains memberikan kita hasil yang pasti dan tepat bahkan jika mereka kecil dan tidak berarti. Tetapi filsafat tidak melayani tujuan praktis dan tidak memberikan hasil yang bermanfaat..."

Bagian kedua berbunyi sebagai berikut: "Namun, adalah di luar ruang lingkup sains untuk menemukan kebenaran hakiki; tetapi adalah di dalam domain filsafat untuk melakukan hal itu."

Karena Imam Ja'afar adalah seorang pemimpin agama, beliau sudah mengetahui kebenaran melalui agama dan tidak ingin menemukannya melalui filsafat. Namun, adalah keyakinan kuatnya bahwa filsafat akan memecahkan banyak masalah. Beliau karena itu lebih tertarik pada filsafat daripada sains karena ia membantu untuk mengenali Sang Pencipta.

Imam Ja'far as Sadiq bukanlah seorang dokter sebagai profesi, tetapi dia memperkenalkan dan merumuskan metode diagnosis dan pengobatan di bidang kedokteran. Sarjana Barat merasa sulit untuk percaya bagaimana bahwa beliau bisa merumuskan diagnosis tertentu dalam usia dan masa itu.



Saran Baik untuk Ibu:

Imam Ja'far as Sadiq telah menyarankan para ibu bahwa mereka harus meletakkan bayi mereka yang baru lahir untuk tidur di sisi kiri mereka.

Selama berabad-abad saran ini dianggap oleh banyak orang sebagai tidak berarti dan tidak masuk akal karena tidak ada yang bisa melihat kegunaan dalam menempatkan bayi untuk tidur di sisi kiri ibu. Beberapa orang bahkan berkomentar bahwa berbahaya untuk mengikuti saran beliau. Ibu dapat berputar saat tidur dan menindih bayi sampai mati. Tak seorang pun di Timur atau Barat mengikuti saran yang serius ini. Bahkan selama periode Renaisans, ketika para sarjana di Eropa mempelajari setiap teori secara kritis, tidak ada yang berusaha untuk mencoba mencari tahu apakah saran itu memiliki dasar ilmiah.

Pada tahun 1865, Ezra Cornell mendirikan Universitas Cornell di NYK. Di universitas ini ia membentuk di bawah jurusan kedokteran, sebuah lembaga untuk Penelitian Bayi Baru Lahir dan Menyusui. Seorang sarjana penelitian lembaga ini yang melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia, mengamati bahwa ibu-ibu di setiap negara membawa bayi mereka di lengan kiri. Para dokter di lembaga ini mengamati bahwa bayi yang ditidurkan di sisi kiri dari ibu mereka tidur lebih nyenyak dan damai tetapi mereka yang diletakkan di sisi kanan, bangun sesekali dan menangis. Dilaporkan bahwa selama beberapa hari pertama setelah kelahiran mereka, bayi tidak akan dapat beristirahat sama sekali, jika mereka tidak berada di sisi kiri ibu mereka.

Setelah penemuan holografi, gambar holografik dari bayi yang belum lahir diambil yang mengungkapkan bahwa detak jantung ibu sampai ke telinga bayi di dalam kandungan. Percobaan dilakukan pada mamalia yang berbeda untuk mengetahui reaksi janin. Semua percobaan menunjukkan bahwa setiap kali jantung ibu berhenti berdetak, janin menjadi tidak dapat beristirahat dan gelisah, karena ia makan darah, yang datang kepadanya pada setiap detak jantung.

Percobaan ini membuktikan bahwa bayi-bayi yang belum lahir tidak hanya terbiasa untuk mendengar detak jantung ibu mereka, tetapi keberadaan mereka tergantung pada detak jantung. Arti detak jantung bagi mereka adalah pasokan konstan makanan. Berhentinya detak jantung merupakan sinyal kelaparan dan kematian. Mereka sangat tergantung pada detak jantung yang bahkan setelah mereka lahir, mereka menjadi gelisah jika mereka tidak mendengarnya. Bayi yang baru lahir mengetahui detak jantung ibunya cukup baik dan itulah sebabnya mereka dapat tidur dengan nyaman dan damai, bila diletakkan di sisi kiri ibu mereka karena bisa mendengar detak jantung dengan jelas.

Jika Universitas Cornell belum didirikan dan penelitian tentang bayi tidak dilakukan, tidak seorang pun akan menyadari pentingnya saran Ilmiah dari Imam Ja'far Sadiq bahwa ibu seharusnya meletakkan bayi mereka untuk tidur di sisi kiri mereka.

Imam Ja'far as-Sadiq mendahului waktunya 1.100 tahun ke depan.





Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com

Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com
Lintas Islam fiqh, sejarah, tokoh
Wednesday, February 1, 2012

Perkembangan Mazhab Fiqh

Kemajuan kemenangan tentara Muslim di daratan yang menghubungkan antar-Asia, Eropa dan Afrika membawa massa yang besar ke dalam Imperium Islam orang-orang yang sebelumnya Kristen, Zoroaster, Budha atau Hindu. Konversi ke Islam berjalan lambat. Para penakluk Muslim membiarkan  sendiri orang-orang dari teritori selama mereka membayar pajak pelindung, jizyah, dan tidak memaksakan kebebasan dalam memilih agama. Konversi besar-besaran ke dalam Islam terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (717-719) yang menghapuskan pajak yang tidak adil, mentoleransi perbedaan pendapat dan memperlakukan orang-orang Muslim dan non-Muslim dengan martabat yang sama. Terkesan dengan inisiatifnya, orang-orang di bekas wilayah Sassanid dan Bizantium memeluk Islam secara berbondong-bondong. 

Para Muslim baru membawa dengan mereka tidak hanya warisan dan budaya  kuno mereka, tetapi juga metode melihat pada pertanyaan-pertanyaan luhur dari kehidupan dengan cara-cara yang secara fundamental berbeda dari orang-orang Arab. Sejarah Islam harus menghadapi rasionalisme Yunani, stratifikasi Zoroastrianisme, gnostisisme Hindu, pengasingan diri Budha dan kode etik yang tinggi tetapi sekuler dari Cina, Tao dan Konfusianisme. Menambahkan ke dalamnya ketegangan internal di dalam dunia Islam yang timbul akibat klaim yang bertentangan antara Bani Umayyah, Bani Hasyim, Ahlul Bait dan partisannya dan fraksi-fraksi dari banyak pihak atas masalah hukum, dan ini merupakan sebuah tantangan ide pemikiran yang baik yang dihadapi oleh ahli-ahli hukum Islam yang paling awal. Fiqh adalah respon doktrinal dari peradaban Islam terhadap tantangan ini. 

Kodifikasi Fiqh menguatkan dasar peradaban Islam dan merupakan semen bagi stabilitasnya dalam melewati gejolak selama berabad-abad. Selama proses Fiqh dinamis, kreativitas dan ide-ide mengalir dari Islam ke peradaban lainnya. Ketika proses ini menjadi statis dan stagnan, sejarah Islam semakin berbalik ke dalam dan menjadi terpinggirkan dalam perjuangan global umat manusia. 

Syariah adalah dimensi dasar Islam yang konstan, tidak berubah. Ia memiliki dasarnya dalam Al-Qur'an dan ia mendapatkan legitimasinya dari kedaulatan Ilahi. Syariah mendefinisikan tidak hanya hubungan antar manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan alam semesta. Dengan demikian, ia merangkul semuanya dan dimensinya tidak terbatas. Hukum sekuler, di sisi lain, berurusan hanya dengan hubungan manusia dengan sesamanya dan tidak peduli dengan hubungan manusia dengan Ilahi. Ia terbatas, dapat berubah dan tunduk pada lika-liku sejarah dan geografi. Ia mendapatkan legitimasinya dari kedaulatan yang diproklamasikan oleh para raja, para penguasa dan bangsa-bangsa. 

Fiqh adalah dimensi historis dari Syariah dan mewakili perjuangan Islam terus menerus dan tak henti-hentinya untuk menghidupkan perintah-perintah ilahi dalam ruang dan waktu. Ia adalah aplikasi ketat dan rinci dari Syariah terhadap isu-isu yang dihadapi umat manusia ketika ia berpartisipasi dalam drama sejarah. Karena itu ia mencakup pendekatan, proses, metodologi serta aplikasi praktis dari Syariah. Ia mendefinisikan antar muka seorang individu dengan dirinya sendiri, keluarganya, masyarakatnya, dan komunitasnya, serta antar muka peradaban antara Islam dengan agama dan ideologi lainnya. 

Kami akan mencoba untuk meringkas dalam bab ini asal-usul sejarah dan perkembangan praktis dari lima mazhab utama Fiqh yang saat ini diikuti oleh mayoritas umat Islam. Mereka adalah: Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali dan Ja'afariya. Ada mazhab Fiqh lain seperti Zaidi dan Ismaili, yang dipraktekkan oleh sejumlah relatif kecil dari umat Islam saat ini dan kami akan merujuk kepada mereka hanya dalam konteks sejarah mereka. Kami juga akan meringkas mazhab pemikiran Mu'tazilah dan As'ariyah yang telah jarang dibahas saat ini, tetapi telah meninggalkan jejak yang mendalam, mungkin jejak yang menentukan pada budaya pemikiran dan peradaban. 

Al Qur'an diturunkan sebagai Firman Tuhan yang dinamis. Banyak di antara para sahabat yang hafal seluruh isi Al-Qur'an (hafizun atau hufaz). Beberapa orang tahu, mengerti dan membacakan Al Qur'an, tetapi juga melatih dan mengajar orang lain. Mereka disebut sebagai qura'a (jamak dari qari, yang berarti, orang yang membacakan Al Qur'an). Karena banyak dari para sahabat bermigrasi dari Hijaz ke Irak, Persia, Suriah dan Mesir, jubah kepemimpinan lokal jatuh ke qura'a tersebut. Kebanyakan orang Arab buta huruf di era pra-Islam dan siapa pun memiliki kemampuan untuk membaca dan mengajarkan bahasa mendapatkan kehormatan yang tinggi. Peradaban saat itu diperintah oleh Firman Tuhan dan qura'a, kebanyakan dari mereka adalah sahabat Nabi, diterima di negeri-negeri yang jauh dengan penghormatan dan penghargaan yang baik. Mereka adalah orang-orang yang sering dimintai untuk memberikan pendapat hukum (fatwa). 

Kebutuhan untuk memproduksi salinan tertulis dari Al Qur'an terasa dibutuhkan setelah Pertempuran Yamama, di mana sejumlah besar hufaz dan qura'a tewas. Mengikuti saran dari Umar ibn Khattab RA dan sahabat lainnya, Khalifah Abu Bakar RA memerintahkan Al-Qur'an untuk ditulis. Salinan ini dikenal sebagai Mushaf as Siddiqi. Untuk melestarikan Alquran sebagaimana Nabi membacakannya, Khalifah ketiga Utsman RA memerintahkan penyusunan salinan standar Al-Quran dengan vokal disertakan dalam teks. 

Satu abad setelah Nabi, semua sahabat yang belajar tangan pertama dari Nabi, atau Tabi'in yang belajar dari para sahabat, telah meninggal dunia. Para sahabat telah mengenal Alquran, serta konteks di mana ia diungkapkan, dari contoh kehidupan Nabi. Para sahabat begitu dekat dengan sumber wahyu, sehingga diliputi dengan cahaya Firman Ilahi dan dampak universalnya terhadap sejarah bahwa mereka menanggapi aturan-aturannya dengan semangat yang tak terbatas. Mereka adalah sebuah dunia aksi, bukan kata-kata. Mereka menciptakan sejarah dengan perbuatan mereka, meninggalkan orang lain untuk mengikuti jejaknya. Ia kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya untuk dipelajari, dipahami dan berdebat tentang apa yang mereka lakukan. Ketika jarak dari Nabi meningkat, menjadi penting untuk mengumpulkan, memilah dan meneruskan tradisi Nabi. Ini adalah awal dari ilmu Hadis. Meskipun, koleksi Hadis yang dikenal saat ini (Bukhari, Sahih Muslim, dll) muncul beberapa abad kemudian, tradisi mengumpulkan dan menyampaikan Hadis terus menerus dilakukan dan aktif selama periode sementara ini. Di samping ilmu-ilmu Al-Qur'an (Ulum Al Qur'an), tradisi-tradisi Nabi yang dikonfirmasi (Ulum ul Sunnah) menyediakan sumber yang paling penting bagi perkembangan prinsip-prinsip Fiqh (Ushul al Fiqh). 

Perkembangan Fiqh merupakan proses sejarah. Selama Nabi masih hidup, contohnya adalah perlu dan cukup untuk sebagai bimbingan masyarakat. Al-Qur'an menyajikan prinsip-prinsip doktrinal dan dasar-dasar etis syariah. Nabi mengklarifikasi, membuktikan dan menerapkan prinsip-prinsip Al Qur'an. Kematiannya menghadirkan sebuah tantangan historis bagi para sahabatnya untuk melanjutkan proses mewujudkan kehendak Tuhan dalam matriks urusan manusia. Generasi pertama dari umat Islam bangkit untuk tantangan ini. Dimana wahyu eksplisit atau di mana Nabi telah memberikan arah yang jelas, mereka mengikuti arah itu. Dimana Al-Qur'an dan Sunnah memberikan prinsip-prinsip umum tetapi tidak ada arahan untuk implementasi eksplisit, mereka menggunakan proses konsultasi dan penalaran untuk menemukan solusi bagi masalah-masalah mendesak pada saat itu. Sesuai berjalannya waktu, metodologi ini dikembangkan menjadi tradisi yang luas yang dipraktekkan oleh empat khalifah pertama. Tradisi ini disebut sebagai Sunnah para sahabat, atau ijma (konsensus) para sahabat. Konsensus tersebut kadang-kadang universal. Di lain waktu, ia adalah konsensus dari hanya beberapa sahabat. Perbedaan pendapat adalah lazim. Perbedaan tersebut tidak hanya ditoleransi, tetapi dihormati. Nuansa halus bahasa Arab dan kekuatan kosmik dari bahasa Alquran, membuat perbedaan dalam penekanan tidak terelakkan. Perbedaan-perbedaan ini memiliki dampaknya pada perkembangan mazhab Fiqh yang berbeda-beda.

Meskipun prinsip-prinsip hukum Islam tidak didokumentasikan sampai abad kemudian, kita melihat implementasi sepenuhnya dan lengkap dari Syariah dalam masyarakat majemuk pertama kali di bawah Umar bin Khattab RA. Adalah Umar RA yang menunjukkan melalui contohnya bahwa keadilan di depan hukum merupakan kewajiban Islam. Beliau mendirikan sebuah departemen peradilan, hakim diangkat dan memberi mereka instruksi spesifik, yang mencakup prinsip-prinsip berikut:
  • Semua manusia sama di depan hukum. 
  • Keadilan adalah tugas Islam yang diperintahkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
  • Manusia bertanggung jawab atas tindakan mereka. 
  • Semua Muslim dewasa adalah orang-orang hukum dan dapat menjawab sesuai dengan syariah. 
  • Beban pembuktian jatuh pada penggugat.
  • Semua pihak harus diizinkan untuk mengajukan bukti untuk posisi mereka.
  • Jika bukti bertentangan dengan putusan, maka putusan harus dicabut.
  • Ketika Al-Qur'an dan Sunnah Nabi diam mengenai suatu hal, maka dapat digunakan ekstrapolasi dari kasus serupa.
  • Keinginan kolektif dari komunitas Muslim menyediakan dasar yang sah bagi hukum. 
Prinsip-prinsip ini dimasukkan pada abad-abad kemudian oleh dinasti muslim penerus dalam kitab-kitab yurisprudensi mereka. Khalifah tidak berada di atas hukum. Ada banyak contoh dari kehidupan Khalifah Ali bin Abu Thalib Kwh, yang menggambarkan bagaimana kepala negara diperlakukan dengan cara yang sama seperti warga negara lainnya. Memang, adalah salah satu putusan yang Umar RA berikan dalam kasus yang dibawa oleh seorang Persia non-Muslim yang menyebabkan pembunuhannya. 

Tantangan selanjutnya muncul seiring berjalannya waktu. Ketika para sahabat meninggal, kepemimpinan intelektual masyarakat diteruskan kepada Tabi'in (mereka yang telah mengikuti atau belajar dari para sahabat). Mereka adalah generasi kedua umat Islam. Seiring berjalannya waktu, generasi ini juga meninggal. Masuknya darah non-Arab ke dalam lingkungan Islam di abad ke-8 menyajikan tantangan tambahan bagi para ahli hukum Islam. Muncullah Mujtahidin dan Fuqahah yang berhasil mengambil tantangan ini. Dalam proses ini, pilihan harus dibuat dan pilihan-pilihan ini memodulasi dan mengubah sejarah Islam. 

Jika seseorang hidup pada tahun 740, ia akan menyaksikan dengan kagum luasnya Kekaisaran Islam. Tentara Muslim telah menyeberang ke Prancis dan mengetuk pintu Swiss. Konstantinopel (Istanbul  modern), kursi dari Kekaisaran Bizantium, telah mengalami beberapa serangan. Pedagang Muslim telah bertemu dengan orang-orang Cina di Sinkiang sepanjang Jalan Sutra kuno dan secara aktif melakukan perdagangan di pulau-pulau Indonesia dan Cina timur. Pusat budaya Veda di Sindh (Pakistan sekarang) berada di bawah kekuasaan Islam. 

Masyarakat Islam yang luas dan beragam termasuk orang-orang Arab, Persia, Mesir, Afrika, Spanyol, Afghanistan, Turki dan India. Dengan masuknya orang baru datang pula ide-ide baru. Umat Islam berada dalam suatu keadaan perubahan terus-menerus dan ketegangan terpendam yang dibawa oleh orang-orang baru dan ide-ide baru segera meledak seperti gunung berapi dalam revolusi Abbasiyah (750). Adalah dalam periuk gagasan ini bahwa orang-orang menginginkan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi dunia Islam yang luas dan beragam. 

Adalah suatu kebenaran bahwa pria dan wanita besar membuat sejarah. Juga benar bahwa peristiwa bersejarah menghasilkan pria dan wanita  besar. Gelombang peristiwa di abad kedua Hijrah melahirkan ulama-ulama yang mensistematisasi ilmu Fiqh. Madinah dan Kufah adalah dua pusat utama dari pembelajaran di tahun-tahun awal Islam. Madinah adalah kota Nabi dan orang-orang Madinah memiliki akses yang dekat ke tradisi-tradisi Nabi. Namun, Madinah sebagai jantung dari Kekaisaran Islam terisolasi dari tantangan ide-ide dari peradaban-peradaban tetangga. Kufah, di sisi lain, terletak di pertemuan Arab dan Persia, merupakan melting pot dan lebih rentan terhadap ide-ide asing. Dari Kufah, Bani Umayyah memerintah Irak-al-Arab (Irak saat ini), Irak-al-Ajam (Persia Barat), Parsi (Persia pusat dan selatan), Khorasan dan India barat (Pakistan saat ini). Orang-orang Kufah kurang memiliki akses ke tradisi Nabi, tetapi mereka berada di ujung depan tantangan ide dari peradaban tetangga Yunani, Persia, India dan Cina. Itulah sebabnya secara alamiah Madinah dan Kufah akan menjadi pusat awal dari mazhab Fiqh (yurisprudensi). Dengan demikian, perkembangan Fiqh paling awal, berpusat di sekitar Madinah dan Kufah, yang terekspos oleh tantangan geografis dan historis yang berbeda. Kedua mazhab tersebut disebut sebagai Mazhab Madinah dan Mazhab Kufah. 

Ulama pertama dan terutama dari Mazhab Kufah adalah Imam Abu Hanifah. Ulama pertama dari Mazhab Madinah adalah Imam Malik dan setelahnya Imam Syafi'i. Ada perkembangan yang paralel dan simultan dari Mazhab Ja'afariya, diambil dari nama Imam Ja'afar as Sadiq. Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal muncul pada periode kemudian yang merupakan hasil dari kekacauan politik dan intelektual pada abad ke-9. 

Imam Abu Hanifah (w. 768) adalah seorang ulama peringkat pertama dan seorang pria aksi. Sangat sedikit orang bijak telah meninggalkan suatu jejak yang dapat terlihat pada sejarah Islam seperti yang dihasilkan oleh orang bijak ini. Dilahirkan dalam keturunan Afghan, ia mengetahui pertama sekali masalah-masalah yang dihadapi oleh para ahli hukum di wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan di timur Irak. Dia juga menyadari tantangan intelektual dari peradaban kontemporer Yunani, Persia, India dan Cina. Sebagai seorang pemuda, ia menetap di Kufah dan belajar di bawah bimbingan para ulama besar pada zamannya. Sebagai seorang pemuda, ia menentang penindasan Bani Umayyah dan keangkuhan para bangsawan Arab. Atas penolakannya terhadap pemerintah, ia dipenjara oleh Bani Umayyah maupun Abbasiyah. Sebuah kutipan terkenal yang dikaitkan dengannya adalah, "Iman dari seorang Turki yang baru bertobat adalah sama dengan seorang Muslim dari Hijaz", berbicara banyak tentang temperamen egaliter dari sang Imam. Sebagai seorang ulama yang mencari pengetahuan lebih lanjut, dia sering mengunjungi halaqah (lingkaran studi) Imam Ja'afar as Saadiq. Ibnu Abidin mengutip Imam Abu Hanifah mengatakan: "Jika tidak selama dua tahun (yang dihabiskan dengan Imam Ja'afar as Sadiq), aku akan binasa" 

Kejeniusan Imam Abu Hanifah terletak pada visinya tentang Fiqih sebagai kendaraan dinamis yang tersedia untuk semua Muslim di segala jaman. Beliau melihat Islam sebagai ide universal yang dapat diakses oleh semua orang dalam ruang dan waktu. Fiqh tidak menjadi aturan statis yang berlaku untuk satu situasi di satu lokasi, tetapi merupakan mekanisme yang akan memberikan dasar-dasar  yang stabil kepada peradaban Islam dan juga akan berfungsi sebagai ujung tombak dalam perdebatannya dengan peradaban lain. Beliau melihat bahwa metodologi yang ketat dan menuntut dari Mazhab Madinah mungkin akan mencekik kemampuan para ahli hukum untuk mengatasi tantangan yang tak terduga yang dimunculkan oleh situasi-situasi baru. Oleh karena itu, ia memperluas basis di mana pendapat hukum yang kuat dapat ditegakkan. Menurut Imam Abu Hanifah, sumber Fiqh adalah:
  • Al-Qur'an, 
  • Sunnah Nabi, 
  • Ijma (konsensus) dari beberapa, belum tentu semua sahabat, 
  • Qiyas (deduksi dengan analogi kasus-kasus serupa yang telah diputuskan atas dasar tiga prinsip pertama) dan, 
  • istihsan (pendapat yuridis kreatif berdasarkan prinsip-prinsip). Dengan penerimaan istihsan sebagai metodologi yang sah, Imam Abu Hanifah menyediakan sebuah proses kreatif untuk evolusi terus-menerus dari Fiqh. Tidak ada ahli hukum Muslim yang akan dibiarkan tanpa alat untuk mengatasi situasi yang baru dan tantangan segar dari peradaban yang belum diketahui di masa depan. 
Satu istilah lainnya memerlukan klarifikasi di sini, yaitu ijtihad (akar kata j-h-d, yang berarti perjuangan). Ijtihad adalah kegiatan intelektual yang disiplin dan fokus yang hasil akhirnya adalah ijma atau qiyas atau istihsan. Ijtihad adalah sebuah proses. Mazhab Hanafi dan Ja'afariya memberikan porsi terbesar bagi ijtihad. Namun, ada perbedaan dalam penekanan. Di Mazhab Ja'afariya, penekanan adalah pada ijtihad para Imam. Dalam Mazhab Hanafi, penekanan adalah pada ijtihad para sahabat Nabi, tetapi ijtihad para fukaha yang belajar juga diterima. Ada juga perbedaan antara Mazhab Fiqh Kufah (seperti Imam Abu Hanifah) dan Mazhab Fiqh Madinah (seperti Imam Malik) dalam wilayah yang diperbolehkan untuk ijtihad. Ijma atau konsensus dari Mazhab Madinah terutama melalui bukti-bukti (dari Al Qur'an) atau korelasinya dengan Sunnah Nabi. Persyaratan untuk ijma atau konsensus di Mazhab Kufah agak lebih liberal dan meliputi tidak hanya bukti dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, tetapi juga ijtihad para sahabat atau ahli hukum yang belajar. 

Imam Abu Hanifah tidak mendirikan mazhab Fiqh yang dinamai sesuai namanya, tidak juga ia secara pribadi mendokumentasi metodologinya. Menulis tidak umum pada waktu itu dan kata-kata yang diucapkan masih merupakan ratu dari wacana. Orasi merupakan kendaraan utama untuk instruksi dan pengajaran. Sintaks dan tata bahasa Arab dipelajari dengan hati. Seperti qari-qari dari tahun-tahun sebelumnya, ulama-ulama besar mengajarkan melalui kuliah-kuliah mereka. Dokumentasi ditinggalkan kepada mahasiswa dan murid-murid dari generasi-generasi berikutnya. Secara khusus, Mazhab hanafi tidak dijelaskan sepenuhnya dan didokumentasikan sampai abad ke-11. Yang terbesar di antara para ulama-ulama Hanafi adalah Abdullah Umar al Dabbusi (w. 1038), Ahmad Hussain al Baihaqi (w. 1065), Ali Muhammad al Bazdawi (w. 1089) dan Abu Bakar al Sarakhsi (w. 1096). 

Sejak abad ke-10 dan selanjutnya, Mazhab Hanafi menerima dukungan dari Abbasiyah di Baghdad. Orang-orang Turki menyukai disposisi egalitarian dari Imam Abu Hanifah, serta aspek-aspek kreatif dari Fiqh Hanafi. Ketika mereka memeluk Islam, mereka menjadi Hanafi dan menjadi pembelanya. Dinasti Turki Seljuk pada abad ke-11 dan 12 serta Khilafah Utsmani mendukung Fiqh Hanafi. Timurid, Turkoman serta Moghul Raya India menjadi pembelanya juga. Karena alasan historis ini, Mazhab Hanafi adalah merupakan mazhab yang paling luas diterima di antara berbagai mazhab fiqh di dunia Muslim saat ini. Sebagian besar Muslim Pakistan, India, Afghanistan, Republik-republik Asia Tengah, Persia (sampai abad 16), Turki, Irak utara, Bosnia, Albania, Skopje, Rusia dan Chechnya mengikuti Fiqh Hanafi. Sejumlah besar orang Mesir, Sudan, Eritrea dan Suriah juga orang-orang Hanafi, meskipun seperti yang akan kita elaborasi kemudian, karena alasan-alasan yang berakar pada geografi, Mazhab Maliki dan Syafi'i juga mapan di sana. 

Mazhab Madinah jauh lebih ortodoks dalam pendekatannya terhadap Fiqh. Hidup di kota Nabi dan tumbuh dalam buaian Islam, orang-orang Madinah terpaut sangat erat dengan Sunnah Nabi. Ulama pertama dan terutama dari Mazhab Madinah adalah Imam Malik bin Anas (w. 795). Beliau menghabiskan sebagian besar hidupnya di Madinah dan seperti Imam Abu Hanifah pada generasi sebelumnya, ia mendapat masalah dengan Abbasiyah yang berkuasa pada hal-hal yuridis, yang menyebabkan beliau  dipenjarakan dan dicambuk di depan umum. Kuatir bahwa istihsan dari Imam Abu Hanifah akan membuka pintu gerbang untuk inovasi yang tidak diinginkan, Imam Malik memperketat aturan ijma. Sementara menerima keutamaan Al-Qur'an, beliau bersikeras pada konsensus dari semua sahabat sebagai dasar sunnah yang telah diverifikasi (dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah yang mempertahankan bahwa konsensus dari beberapa sahabat adalah dasar yang cukup untuk yurisprudensi) . 

Mazhab Maliki menyebar melalui Mesir, Libya, Aljazair dan Maroko melalui haji. Orang-orang Afrika Utara mengunjungi Mekah dan Madinah dan mempelajari Fiqih dari orang-orang Madinah. Mereka memiliki sedikit alasan untuk mengunjungi Kufah dan Irak dan karena itu mereka hanya sesekali kontak dengan Mazhab Hanafi. Menurut Ibnu Khaldun, kedekatan budaya antara orang-orang Berber nomaden Afrika Utara dan suku Badui Arab juga memberikan kontribusi terhadap penerimaan dari Mazhab Maliki di Libya dan Maghrib. Dari Afrika Utara, Mazhab Maliki menyebar ke Spanyol dan merupakan hanya Mazhab resmi yang disetujui oleh dinasti Umayyah di Cordoba. Ketika Islam menyebar dari Maghrib ke dalam sub-Sahara Afrika melalui rute perdagangan, Mazhab Maliki juga menyebar ke Mauritania, Chad, Nigeria dan negara-negara lain di Afrika Barat. Kebanyakan orang-orang Afrika saat ini mengikuti Mazhab Maliki. Jeda singkat pemerintahan Fatimiyah di Mesir pada abad ke-9 dan ke-10 secara material tidak  mengubah kontak antara orang-orang Berber Maghrib dan Badui Arab, dan Mazhab Maliki kembali ke Afrika Utara ketika Salahuddin merebut Mesir dari Dinasti Fatimiyah (1170). 

Orang pertama yang memantapkan suatu mazhab formal Fiqh adalah Imam Muhammad bin Idris al Syafi'i (w. 820). Melalui "Risalah"-nya (jurnal), beliau merupakan ulama pertama yang mensistematisasi dokumentasi dasar-dasar Fiqih dan secara kritis menguji metodologinya. Seorang Suriah berdasarkan kelahiran, Imam Syafi'i pergi ke Madinah dan Kufah dan belajar dari murid-murid Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Dia mengambil isu pada posisi-posisi tertentu yang diambil oleh Mazhab Hanafi dan Maliki dan mengambil posisi yang independen pada beberapa metodologi. Menurut Imam Syafi'i, sumber Fiqh adalah:
  •  Al-Qur'an, 
  • Sunnah Nabi (pada isu Sunnah, Imam asy-Syafi'i melonggarkan aturan-aturan dari Mazhab Maliki dan menyarankan bahwa Sunnah adalah sumber yang valid dari yurisprudensi bahkan jika ia didukung oleh sumber tunggal yang dapat diandalkan. Dengan kata lain, Sunnah Nabi tidak perlu didukung oleh semua ijma sahabat), 
  • Qiyas, asalkan didukung secara ketat oleh kasus-kasus sebelumnya yang diputuskan berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. Imam Syafi'i tidak menerima istihsan sebagai sumber yang valid dari Fiqh. 
Dengan demikian posisi Imam Syafi'i itu kurang ortodoks daripada Imam Malik, tetapi tidak seliberal Imam Abu Hanifah. Mazhab Syafi'i menyebar ke Mesir, Sudan, Eritrea, Afrika Timur, Malaya dan Kepulauan Indonesia. Seperti Mazhab Hanafi, Mazhab Syafi'i menghasilkan banyak ulama brillian. Salah satunya, Abu Hamid al Gazzali (w. 1111), yang tidak hanya mempengaruhi perkembangan Fiqh, tetapi juga mengubah wacana sejarah Islam melalui dialektika brillian-nya. 

Sesuai pada tahap ini untuk merujuk ke Mazhab pemikiran Mu'tazilah dan lawannya, Mazhab Asy'ariah. Ketika Muslim merebut Suriah, Mesir dan Afrika Utara, mereka tidak hanya menjadi wali dari orang-orang dari negara-negara tersebut, tetapi juga ide-ide mereka. Kebanyakan tanah-tanah itu telah berada di bawah kontrol Romawi Timur atau Byzantium di mana pemikiran Yunani adalah dominan. Secara historis, istilah "pemikiran Yunani" diterapkan pada kebijaksanaan kolektif dan pemikiran klasik dari orang-orang  Mediterania timur, yang meliputi busur geografis yang luas membentang dari Athena di Yunani melalui Anatolia, Suriah, Mesir dan Libya. Peradaban Yunani memuja kemuliaan manusia dan menempatkan akal manusia pada puncak penciptaan. Plato, Aristoteles, Ptolemy, Euclid dan Archimedes adalah beberapa nama-nama rumah tangga dari galaksi para pemikir yang dihasilkan oleh peradaban ini. Pencapaian abadi dari pemikiran Yunani adalah bahwa ia menyempurnakan proses rasional dan meninggalkan warisan abadinya untuk umat manusia. 

Umat Muslim adalah pewaris pertama dari pemikiran Yunani. Adalah melalui Muslim - khususnya Muslim Spanyol - bahwa pemikiran rasional mencapai  Barat. Dan hanya setelah abad ke-12 bahwa Barat terbangun dari tidurnya dan mengadopsi peradaban Yunani sebagai miliknya sendiri, sementara pada saat yang sama, umat Muslim berpaling dari pemikiran rasional ke arah pemikiran yang lebih esoteris dan intuitif. 

Umat Muslim awal tidak hanya mengadopsi pendekatan rasional, tetapi berangkat dengan semangat untuk menjelaskan keyakinan mereka sendiri dalam istilah rasional. Pertanyaan yang berkaitan dengan sifat manusia, hubungannya dengan penciptaan, kewajiban dan tanggung jawabnya, juga sifat atribut-atribut Ilahi dibahas. Tidak ada ulama Muslim yang memulai suatu upaya intelektual kecuali pendekatannya memiliki dasar di dalam Al Qur'an. Para rasionalis melihat justifikasi untuk pendekatan mereka dalam ayat-ayat Al-Qur'an ("Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi... Ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal", Al Qur'an, 2:164) dan dalam Sunnah Nabi. Memang, Al-Qur'an mengajak akal manusia untuk menyaksikan keagungan penciptaan dan merenungkan artinya dan memahami transendensi yang meliputinya. Ilmu-ilmu filosofis yang berkembang sebagai hasil dari upaya ini disebut sebagai Kalam (wacana, biasanya sebuah wacana keagamaan). Kadang-kadang, Kalam samar-samar diterjemahkan sebagai Teologi, namun Teologi sebagai ilmu tidak pernah terjebak dalam pembelajaran Islam seperti yang terjadi dalam agama Kristen, karena umat Islam berjuang dan berhasil dalam melestarikan transendensi Allah. Kristen mengadopsi posisi bahwa Tuhan dapat diketahui secara pribadi dan karenanya dapat diakses oleh persepsi manusia. Kaum Muslim, meskipun menghadapi tantangan filosofis dari Yunani, berhasil mempertahankan posisi bahwa Tuhan hanya dapat diketahui melalui nama dan atribut-Nya, dan melalui  keagungan penciptaan-Nya, sedangkan transendensi-Nya tersembunyikan oleh cahaya-Nya. 

Ulama Islam pertama yang membahas pertanyaan-pertanyaan keimanan Islam dari perspektif yang rasional adalah Al Juhani (w. 699). Perhatikan bahwa pendekatan rasional menempatkan akal manusia pada puncak penciptaan dan membuat dunia dapat diketahui. Al Juhani menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan tidak hanya memiliki kapasitas untuk mengetahui ciptaan melalui akal mereka, tetapi juga memiliki kapasitas untuk bertindak sebagai agen bebas. Keimanan adalah hasil dari pengetahuan dan pemahaman. Sesungguhnya, manusia memiliki kewajiban moral untuk memahami ciptaan Tuhan. Manusia, sebagai makhluk rasional, diberi mandat tidak hanya untuk memahami dunia, tetapi juga untuk bertindak terhadapnya menggunakan kehendak bebasnya. Dengan demikian pandangan Al Juhani dianugerahkan kepada akal umat manusia dan tanggung jawabnya. Surga dan neraka adalah konsekuensi dari perbuatan manusia. Mazhab filosofi ini dikenal sebagai Mazhab Qadariyah (akar kata Q-D-R, yang berarti kekuasaan atau kehendak bebas. Mazhab filosofi Qadariyah jangan dibingungkan dengan persaudaraan sufi Qadariyah, yang dinamai mengikuti Syaikh Abdul Qadir Jaelani, Baghdad, pada abad ke-12). 

Pendekatan Qadariyah, ketika didorong sampai batasnya, mengeluarkan Tuhan dari gambaran urusan manusia sebanyak membuat surga dan neraka  menjadi mekanistik dan diperuntukkan khusus untuk membalas perbuatan manusia. Ini tidak bisa diterima oleh pemikiran Muslim. Reaksi muncul ke permukaan dari kelompok yang lebih ortodoks dan ini terjadi dengan munculnya Mazhab Qida (pra-takdir). Pendiri Mazhab ini adalah Ibn Safwan (w. 745). Menurut Ibn Safwan, semua kekuasaan milik Allah, dan manusia sudah ditentukan sebelumnya dalam perbuatannya, baik dan jahat, serta tujuannya menuju surga atau neraka. Seperti Mazhab Qadariyah, Mazhab Qida mencari justifikasi di dalam Al-Qur'an ("Katakanlah aku tidak memiliki kekuasaan atas apapun yang baik atau merugikan diriku sendiri kecuali sesuai kehendak Tuhan!", Al Qur'an, 7:188) dan Sunnah Nabi. 

Medan pertempuran sekarang muncul. Seperti peradaban Kristen pada jaman dulu, peradaban Islam baru saja datang untuk mengatasi rasionalisme Yunani. Apa yang akan menjadi hasilnya? Jawabannya tidak jelas dan tersembunyi di rahim masa depan yang tidak diketahui. Imam Ja'afar as Saadiq dan Imam Abu Hanifah sangat menyadari argumen qida dan qadar, namun berusaha untuk tidak tertarik ke dalam kontroversi tersebut. 

Washil bin Ata (w. 749) menggabungkan, mengembangkan dan mengartikulasikan Mazhab Qadariyah menjadi filsafat yang koheren, yang kemudian dikenal sebagai Mazhab Mu'tazilah. Kita juga mungkin melihat pada Mazhab Mu'tazilah sebagai respon pertama dari peradaban Islam terhadap tantangan pemikiran Yunani. Mazhab ini berkembang selama hampir dua ratus tahun dan pada waktu itu adalah mazhab pemikiran yang dominan di kalangan umat Islam. Pengaruhnya adalah sebanding dengan Mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Ja'afar as Saadiq atau Imam Malik. Mazhab Mu'tazilah ditantang oleh Imam Hanbal (w. 855) dan Hasan al Asy'ari (w. 935) dan akhirnya dikalahkan oleh Al Gazzali (w. 1111). Pertempuran gagasan ini memiliki dampak besar pada sejarah Islam. Ia mempengaruhi pemikiran Muslim bahkan sampai hari ini. 

Mazhab Mu'tazilah menempatkan sauhnya pada akal manusia dan kemampuannya untuk memahami hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Tentu, mereka mendasarkan argumen mereka pada Al Quran dan Sunnah. Prinsip-prinsip Mazhab Mu'tazilah adalah:
  • Keunikan Allah atau Tauhid ("Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa; Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu; Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan; dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia", Al-Qur'an, 112:1 -5),
  • Kehendak bebas manusia ("Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?", Al Qur'an, 10:99 ), 
  • Prinsip tanggung jawab manusia dan penghargaan dan hukuman sebagai akibat dari perbuatan manusia ("Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.", Al Qur'an, 2:286), 
  • Keharusan moral untuk memerintahkan apa yang benar dan melarang apa yang salah ("Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.", Al Qur'an, 3:110 ). 
Mu'tazilah menerapkan prinsip-prinsip ini kepada isu-isu hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan dunia yang diciptakan dan manusia dengan Tuhan. Dengan menempatkan manusia pada pusat penciptaan, mereka berusaha untuk membuatnya sebagai arsitek dari nasibnya sendiri dan menekankan keharusan moralnya untuk mendandani dunia sesuai perintah Allah. 

Khalifah Mamun mengadopsi Mazhab Mu'tazilah sebagai dogma resmi Kekaisaran. Dari Khalifah Mansur sampai Khalifah Al Mutawakkil (847-861), kaum Mu'tazilah menikmati patronase resmi. Selama periode ini sebuah Darul Hikmah didirikan di Baghdad dan buku-buku filsafat Yunani, astronomi Hindu dan teknologi Cina diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pembelajaran berkembang dan Baghdad menjadi pusat intelektual dunia. 

Kemunduran dari Mu'tazilah disebabkan oleh semangat mereka yang berlebihan dan ketidakmampuan mereka untuk memahami keterbatasan metodologi yang mereka perjuangkan. Dengan sanksi resmi, mereka menghukum ulama-ulama yang tidak setuju dengan mereka dan mencoba untuk membungkam semua oposisi. Mereka juga mengulur metodologi deduktif mereka kepada atribut Tuhan dan Alquran. Dalam Islam, Allah adalah unik dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Oleh karena itu, Mu'tazilah berpendapat, Al Qur'an tidak dapat menjadi keduanya, yaitu menjadi bagian dari-Nya dan sekaligus terpisah dari-Nya (dualisme, seperti ide trinitas dalam Kristen - pen). Untuk melestarikan keunikan Allah (Tauhid), mereka menempatkan Al-Qur'an dalam ruang yang diciptakan (Al Quran adalah makhluk - pen). Dengan kata lain, mereka mengatakan bahwa Allah menciptakan Al Qur'an pada suatu titik tertentu dalam suatu masa. Isu diciptakan menyebabkan banyak perpecahan dan kebingungan di kalangan umat Islam. Selanjutnya, dengan menyatakan bahwa penghargaan dan hukuman mengalir secara mekanistik atas perbuatan manusia, mereka meninggalkan sisi mereka terbuka untuk serangan intelektual. Jika manusia secara otomatis diberi penghargaan atas perbuatan baik mereka dan secara otomatis dihukum atas kejahatan mereka, lalu di mana kebutuhan akan Kemurahan Ilahi? Pendekatan deterministik ini menyerang pemikiran bagi Muslim dan suatu pemberontakan tak terhindarkan. 

Tantangan terhadap Mu'tazilah datang dari ulama-ulama usuli (artinya, didasarkan pada prinsip-prinsip), yang paling terkenal di antaranya adalah Imam Hanbal (w. 855). Seorang ulama besar, ia belajar prinsip-prinsip Fiqh dari semua Mazhab-mashab yang lazim pada generasinya, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Ja'afariya, serta Kalam (filsafat) pada masanya. Ide-ide Mu'tazilah menyebabkan banyak kebingungan di kalangan massa. Stabilitas diperlukan dan inovasi harus diperangi. Imam Hanbal berpendapat untuk ketaatan yang ketat pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang telah diverifikasi. Setiap prinsip, hukum atau filsafat, yang tidak didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah adalah dianggap Bid'ah (inovasi). Imam Hanbal mengambil isu dengan prinsip ijma (kecuali hal itu disetujui oleh Sunnah) dan secara total menolak istihsan dan qiyas sebagai metodologi untuk fiqih. Posisinya merupakan tantangan langsung terhadap Mu'tazilah yang menikmati patronase resmi dari khalifah. Akibatnya, Imam Hanbal dihukum dan dipenjara selama sebagian besar hidupnya. Oposisinya yang penuh tekad dan berkelanjutan memberi semangat kepada mereka yang melawan Mu'tazilah. 

Imam Hanbal dalam perjuangannya melawan kaum Mu'tazilah bergabung dengan para filsuf induktif (sebagai lawan deduktif). Para filsuf induktif memperoleh inspirasi mereka dari ayat-ayat dalam Al Qur'an yang memanggil manusia untuk menggunakan indranya dan penalarannya untuk menyaksikan tanda-tanda dari Allah. Dengan kata lain, pendekatan Al-Qur'an adalah empiris dan rasional yang bertentangan dengan penalaran murni spekulatif yang diperjuangkan oleh kaum Mu'tazilah. Pengabaian Mu'tazilah atas empiris dan ketergantungan mereka semata-mata pada rasional terbukti menjadi sebab kehancuran mereka. Perjuangan Imam Hanbal membuahkan hasil dan Khalifah Al Mutawakkil mengabaikan Mazhab Mu'tazilah pada tahun 847. Pada gilirannya, ketika Asy'ariah berada di atas, Mu'tazilah dihukum, dipenjarakan dan dibungkam. Itulah nasib bahwa berbeda ide telah mengalami penderitaan pada suatu masa dalam sejarah Islam! 

Mazhab Hambali berkembang di Saudi dan Irak barat sampai gerakan Wahhabi pada abad ke-18 dan 19 menggantikannya. Karena dianggap sebagai gangguan terhadap praktek-praktek yang telah diterima, Wahhabi masuk ke dalam konflik dengan Kekaisaran Ottoman (Utsmani) di abad ke-18. Dinasti Utsmani menerima tasawuf sebagai sebuah modus untuk mengetahui yang sah dan karena mereka Hanafi, mereka jauh lebih liberal dalam penafsiran mereka. Setelah Wahhabi merebut Hijaz dari Ottoman pada tahun 1917, Fiqh Hanbali menjadi yurisprudensi resmi di Saudi (kemudian dikenal sebagai Arab Saudi). Seperti yang dipraktikkan di Arab, Fiqh Hanbali dikenal karena kebenciannya, sesungguhnya penghukuman, dari segala sesuatu yang bersifat Bid'ah (inovasi, sebuah praktik yang tidak sesuai secara ketat dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang telah diverifikasi). 

Keempat mazhab Fiqh Sunnah - Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali - saling diakui dan ada langkah-langkah dalam beberapa tahun terakhir untuk membawa Fiqh Itsna Asy'ari dan Zaidi juga di bawah payung "pengakuan bersama". Namun secara historis, ada peristiwa-peristiwa pada saat kritis ketika gesekan-gesekan di antara mereka memainkan peran penting dalam menghasilkan peristiwa-peristiwa sejarah. Khususnya, tepat sebelum invasi Genghiz Khan (1219), seseorang melihat permusuhan terbuka di antara pengikut-pengikut Fiqih Hanafi, Syafi'i dan Ja'afariya di Khorasan dan Persia, situasi yang memberikan keuntungan kepada Genghiz dalam perangnya terhadap Syah Khorasm. 

Mazhab pemikiran yang mungkin memiliki dampak paling luas pada pemikiran Islam adalah Asy'ariyah. Memang, orang dapat mengatakan bahwa ide-ide Asy'ariyah telah menjadi pendorong utama peradaban Islam sejak abad ketiga setelah Hijriah. Sebagian besar umat Islam selama berabad-abad telah mengikuti salah satu dari lima mazhab Fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali, Ja'afariya) ditambah filosofi Asy'ariyah. Perbedaannya adalah bahwa lima mazhab Fiqh telah terang-terangan dibahas dan telah menjadi sumber kerja sama dan gesekan, sedangkan ide-ide Asy'ariyah telah diserap ke dalam budaya Islam seperti air dalam sebuah oasis. Arah, prestasi dan kegagalan peradaban Islam telah dipengaruhi tidak dalam ukuran kecil oleh pemikiran Asy'ariah. Dari Al Gazzali  di Baghdad  (w. 1111) hingga Muhammad Iqbal di Pakistan (w. 1938), ide-ide Asy'ariah telah muncrat pada dataran Islam seperti sebuah air mancur bersemangat dan telah mempengaruhi arah perjuangan Islam kolektif.

Dinamai sesuai arsiteknya, al Asy'ari (w. 935), adalah Mazhab As'ariyah yang akhirnya mengalahkan Mu'tazilah. Al Asy'ari awalnya adalah seorang Mu'tazilah. Mazhab Mu'tazilah telah menempatkan akal di atas wahyu dan telah sampai pada kesimpulan yang salah bahwa Al Quran diciptakan dalam suatu waktu. Pandangan seperti itu tidak diterima oleh umat Islam. Al Asy'ari membalikkan argumen di seputar itu dan menempatkan wahyu berada di atas akal. Akal adalah terkait waktu. Ia membutuhkan asumsi-asumsi apriori tentang sebelum dan sesudah. Wahyu adalah transenden. Sesuai definisi, tidak tunduk pada pemahaman kita tentang waktu dan asumsi kita tentang sebelum dan sesudah. Adalah wahyu, bukan akal, yang memberitahu kita apa yang benar dan salah, membantu kita membedakan antara moral dan amoral, mencerahkan kita tentang sifat-sifat Tuhan dan memberi kita kepastian tentang surga dan neraka. Akal adalah alat yang diberikan oleh Allah kepada manusia sehingga mereka dapat memilah hubungan dalam dunia yang diciptakan dan menguatkan keyakinan mereka. 

Inti dari argumen Asy'ariah terletak pada definisinya tentang fenomena waktu. Al Asy'ari sangat menyadari pandangan Yunani bahwa materi dapat dibagi-bagi menjadi atom-atom. Ia meluaskan argumen ini terhadap waktu dan mendalilkan bahwa waktu bergerak dalam langkah-langkah diskrit (paket-paket, sangat mirip dengan konsep fisika modern - pen). Pada setiap langkah diskrit dan semua waktu di antaranya, kekuasaan dan Kemurahan Allah mengintervensi untuk menentukan hasil dari peristiwa-peristiwa. Terobosan konseptual ini memungkinkan Asy'ariah untuk melestarikan kemahakuasaan Allah. Sedangkan Mu'tazilah telah gagal pada wilayah ini justru karena mereka mengasumsikan bahwa waktu adalah kontinu  (sangat mirip dengan Mekanika Newton, fisika klasik - pen] sehingga suatu tindakan yang diberikan secara otomatis dan mekanis akan menyebabkan suatu reaksi. Jika hasil dari suatu peristiwa benar-benar ditentukan oleh aksi yang menyebabkannya, maka tidak ada ruang untuk intervensi Allah dan dunia menjadi sekuler. Inilah yang terjadi pada peradaban Barat (dan sekarang global) seribu tahun kemudian. Kita dapat meringkas piramida pengetahuan Asy'ariah sebagai berikut: Atom dan dunia fisik adalah berada pada anak tangga terendah dari suatu tangga. Dunia fisik adalah subjek untuk akal. Tetapi akal itu sendiri tunduk dan dikalahkan oleh wahyu. Sebaliknya, model yang disajikan oleh Mu'tazilah (serta orang-orang Yunani dan peradaban sekuler modern) menempatkan dunia fisik dan wahyu sebagai subjek untuk dipahami dengan akal.

Dua elemen penting lainnya dari filosofi Asy'ariyah perlu disebutkan di sini. Asy'ariyah menegaskan bahwa hanya Allah lah pemilik dari semua perbuatan (Al Qur'an, 10:100). Manusia tidak memiliki kapasitas independen untuk berbuat, tetapi hanyalah merupakan agen yang telah memperoleh kapasitas ini sebagai sebuah hadiah dari Allah. Doktrin ini, yang dikenal sebagai doktrin Kasab, disalahpahami dan disalahartikan oleh generasi selanjutnya dari Muslim sebagai pra-takdir (qida). Memang, beberapa Muslim mengangkat pra-takdir menjadi pilar keenam Islam. Seseorang mungkin mengajukan argumen bahwa inilah faktor yang menyebabkan stagnasi (jumud - pen) yang menyelubungi dunia Muslim pada abad-abad kemudian. 

Kedua, Asy'ariyah berpendapat bahwa terdapat suatu pola ilahi di alam tetapi tidak ada kausalitas. Penyebab dan efek yang kita rasakan hanya bersifat semu dan hanya sebuah refleksi dari atribut yang melekat di alam. Doktrin ini adalah sebuah argumen sentral dalam risalah Al Ghazali yang tekenal, Tahaffuz al Filasafa (Kerancuan Filsafat, sekitar tahun 1100) yang memberikan lonceng kematian bagi filsafat dalam Islam dan secara fundamental mengubah perjalanan sejarah Islam. Ibnu Rusyd (1198), mungkin adalah seorang filsuf terbesar yang telah dihasilkan dunia sejak Aristoteles, memberikan sebuah counter-argumen terhadap doktrin ini dalam risalahnya yang terkenal, Tahaffuz al Tahaffuz (Kerancuan dari Kerancuan, sekitar tahun 1190). Kaum Muslim mengadopsi Al Gazzali, sedangkan Barat mengadopsi Ibn Rusyd dan dua peradaban berjalan dalam arah yang berbeda. Konsekuensi bagi berlangsungnya sejarah global sangat besar. 

Penampilan dan perkembangan doktrin Mu'tazilah dan Asy'ariyah lebih dari seribu tahun yang lalu adalah penting untuk sebuah pemahaman tentang sejarah Islam dan Muslim kontemporer. Mu'tazilah berdiri di atas pundak orang-orang Yunani tetapi membuat kesalahan dalam menerapkan metode mereka terhadap Al Qur'an dan memaksakan pandangan mereka terhadap sesama Muslim. Atas kesalahan ini, ide-ide mereka dibuang dari Islam ke dunia Barat. Asy'ariyah berdiri di atas pundak kaum Mu'tazilah, tetapi menolak metode mereka dan memanggil mereka kafir. Generasi muslim berikutnya salah dalam memahami Asy'ariyah, mengacaukan doktrin mereka dengan pra-takdir dan pergi tidur! Hanya dalam seratus tahun terakhir bahwa pemikir Muslim seperti Muhammad Iqbal dari Lahore telah membuat upaya untuk mendamaikan doktrin pra-takdir dan kehendak bebas manusia. 

Mazhab Ja'afariya dikembangkan secara mandiri dan paralel dengan Mazhab Fiqih Sunnah. Dan seperti Mazhab saudaranya, akarnya adalah pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Meskipun ia mengikuti suatu jalur otonom atas sumber-sumbernya, pada banyak masalah-masalah praktis posisi Mazhab Sunnah dan Mazhab Ja'afariya adalah identik atau mirip. Bahkan, pada banyak isu, perbedaan dalam posisi-posisi yang diambil oleh Fiqh Ja'afariya dan Mazhab-mazhab Sunnah adalah lebih kecil daripada perbedaan di antara Mazhab Sunnah sendiri. 

Seorang mahasiswa sejarah harus menolak posisi polemik yang diambil oleh beberapa Muslim bahwa hanya ada empat mazhab Fiqh yang diakui, yaitu, Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Fiqh Ja'afariya adalah sama sahnya dengan Mazhab Fiqih Sunnah berdasarkan fakta sejarah yang telah berkembang sejak zaman Nabi dan diterima oleh bagian cukup besar dari masyarakat Islam. Demikian pula, Mazhab Fiqh Zaidi juga secara historis sah meskipun kami telah membuat sebuah keputusan sadar untuk tidak membahasnya di sini karena ia diikuti oleh sejumlah kecil umat Islam. 

Al-Qur'an memberikan sebuah tempat kehormatan khusus bagi keluarga Nabi ("Allah menginginkan untuk menghilangkan dari kalian semua dosa, hai Ahlul Bait dan membuat kalian suci dan tidak tercela", Al Qur'an, 33:33). Para anggota keluarga Nabi disebut dalam Al Qur'an sebagai Ahlul Bait. Hadis Sahih menegaskan bahwa Ahlul Bait merujuk pada Ali kwh, Fatimah RA, Hasan dan Husain, serta Aqil, Ja'afar, Abbas dan keturunan mereka [1]. Beberapa hadits lain hanya mengacu kepada Ali kwh, Fatimah RA, Hasan dan Husain sebagai Ahlul Bait. Setelah kembali dari haji terakhir, Nabi berhenti di suatu tempat bernama Gadeer e Qum dan menyatakan: "Wahai manusia! Aku telah meninggalkan hal-hal tertentu, jika kalian akan mencintai mereka, kalian tidak akan pernah tersesat. Mereka adalah Kitab, yang seperti sebuah tali yang membentang dari langit ke bumi dan keluargaku" [2]. Selain itu, hadis dari sumber Sunni dan Syiah juga mengkonfirmasi posisi ditinggikannya Ali kwh sebagai "pintu gerbang menuju pengetahuan" dan "ahli waris" dari Nabi (Hadis: "Ali kepadaku seperti Harun kepada Musa, kecuali bahwa tidak akan ada Nabi setelahku "). 

Pusat bagi Fiqh Ja'afariya adalah doktrin bahwa rantai otoritas untuk Fiqih mengalir dari Al-Qur'an ke Sunnah ke Ahlul Bait dan oleh penarikan kesimpulan, secara eksklusif kepada para imam di antara Ahlul Bait. Sebagai perbandingan, posisi Sunni menerima rantai otoritas dari Al-Quran ke Sunnah ke Ijma para sahabat dan didasarkan pada hadis sahih: "Hai manusia! Aku meninggalkan bagi kalian Kitab Allah dan Sunnahku. Jika Anda mengikuti mereka, Anda tidak akan tersesat" [3].. Dan lagi, "Umatku tidak akan pernah  setuju kepada kesalahan". Dua posisi muncul untuk pertama kalinya dengan kejelasan ekstrim dalam pertanyaan yang diajukan kepada Ali bin Abi Thalib kwh dan Utsman bin Affan RA oleh panitia untuk mencalonkan seorang Khalifah setelah pembunuhan Umar bin Al Khattab RA. Pertanyaannya adalah: "Apakah Engkau akan melakukan urusan-urusan masyarakat sesuai dengan Al Qur'an, Sunnah Nabi dan Sunnah dari dua Syaikh (Abu Bakar RA dan Umar RA)?" Ali kwh menjawab bahwa ia akan mengikuti Qur'an dan Sunnah Nabi. Utsman RA berkata bahwa ia sungguh akan mengikuti Al Qur'an, Sunnah Nabi dan dua orang Syaikh dan dinominasikan sebagai khalifah, menunjukkan bahwa mayoritas di antara para sahabat telah menerima posisi ini. 

Meskipun perbedaan pada masalah suksesi dan bencana perang saudara, tidak ada mazhab-mazhab Fiqh yang terpisah selama seratus tahun pertama setelah Nabi. Perbedaannya adalah politik; bukan pada Fiqh atau Syariah. Ada banyak contoh ketika Muawiyah bin Abu Sufyan meminta bimbingan dari Ali bin Abu Thalib kwh pada isu-isu spesifik Fiqih, meskipun dua orang tersebut terkunci dalam suatu perang saudara yang pahit. Ahlul Bait, khususnya rumah Abu Ali bin Thalib kwh dan Fatimat uz Zahra RA, putri tercinta Nabi, telah mendengar dan meriwayatkan banyak hadits langsung dari Nabi. Ucapan Ali kwh, Nahjul-Balaga, adalah merupakan sumber etika dan pengajaran  Islam yang tak tertandingi. 

Kristalisasi Fiqh sebagai sebuah disiplin yang dibudidayakan terjadi pada saat Imam Ja'afar as Saadiq (w. 765). Imam Ja'afar as Saadiq adalah seorang jenius-seorang ulama, guru, pembimbing dan Imam. Beliau memulai dan menyelenggarakan halaqah-halaqah (lingkaran-lingkaran) dimana ulama-ulama terbesar pada zaman itu akan berkumpul, berkonsultasi dan belajar. Imam Abu Hanifah adalah seorang ulama yang sejaman dengan Imam Ja'afar dan menghadiri banyak halaqah di rumah Imam Ja'afar. 

Seperti Imam Abu Hanifah, Imam Ja'afar as Saadiq tidak menuliskan Fiqh yang dinamai dirinya. Beliau adalah guru yang mengajar dan menguraikan prinsip-prinsip Fiqh menggunakan metodologi qura'a yang umum berlaku pada masa awal Islam. Hal itu diserahkan kepada murid-muridnya untuk mengkatalogkan dan mendokumentasikan ajaran Imam Ja'afar. Yang paling penting dari penulis-penulis Imamiyah adalah Muhammad bin al Hasan al Qummi (w. 903). Dialah yang mendokumentasikan doktrin-doktrin Wilayat dan Imamah, meskipun kedua doktrin tersebut telah ada sejak jaman Khalifah Ali kwh. Wilayat berasal dari kata wali (pembimbing, guru, kerabat) dan merupakan sebuah pusat doktrin Syiah. Ia menegaskan bahwa perwalian komunitas Islam setelah Nabi harus di tangan seorang wali, yang pertama dari mereka adalah Ali bin Abu Thalib kwh. Umat harus memiliki seorang wali dan perwalian tersebut harus berada secara eksklusif dan unik di tangan Ahlul Bait. Sebagaimana Allah telah mensucikan rumah tangga Nabi, para Imam secara konsekuen adalah suci dan tidak berdosa dan secara unik dan eksklusif memiliki kualitas untuk memberikan wilayat bagi umat. Mazhab Ja'afariya menerima imamah dari dua belas Imam: Imam Ali kwh, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Ali Zainul Abidin, Imam Muhammad Baqir, Imam Ja'afar as Saadiq, Imam Musa Kazhim, Imam Ali Ridha, Imam Jawwad Razi, Imam Hadi, Imam Hasan Askari dan Imam Muhammad  Mahdi. Karena penerimaan atas dua belas Imam, Mazhab Ja'afariya disebut sebagai Itsna Asy'ari (mereka yang percaya kepada dua belas imam). Mazhab Ja'afariya juga percaya dengan Isma, yang berarti bahwa Tuhan melindungi para imam yang ditunjuk dari dosa, kesalahan agama dan kelupaan. 

Adalah dalam masalah-masalah hukum pribadi bahwa Fiqh Ja'afariya memiliki perbedaan-perbedaan tertentu dengan Fiqih Sunni. Dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat, Fiqh Ja'afariya adalah ketat, seperti Fiqh Syafi'i. Pada isu-isu yang tidak memiliki contoh sebelumnya, ia memungkinkan untuk ijtihad, sangat mirip dengan Mazhab Hanafi, yang mengakui proses istihsan. 

Perkembangan Fiqh Ja'afariya mencerminkan keberuntungan politik dari gerakan Syiah, sangat mirip dengan Fiqih Hambali yang juga mencerminkan keadaan politik pada jamannya. Setelah tragedi Karbala, gerakan Ja'afariya terutama apolitis, menghindari tabrakan frontal dengan Bani Umayyah. Revolusi Abbasiyah tampaknya hadir untuk memberikan beberapa harapan karena Abbasiyah adalah sesama Bani Hasyim. Harapan-harapan ini hilang ketika Abbasiyah hanya mengambil keuntungan dari Syiah dan kemudian menganiaya mereka bahkan lebih keras dari Bani Umayyah. Kehilangan semua harapan untuk memulihkan Ahlul Bait dari otoritas politik yang mereka berhak atasnya, gerakan Syiah menjadi semakin introspektif  (kecuali untuk jeda Fatimiyah). 

Namun, tidak ada jalan melarikan diri dari kontroversi filosofis yang berkecamuk pada abad ke-8. Sama seperti mazhab Sunnah saudaranya, Fiqh Ja'afariya berkembang menjadi dua aliran besar selama periode ini - rasionalis dan tradisionalis. Mazhab-mazhab rasionalis berkembang menjadi Mazhab Akhbari, yang menekankan keunggulan teks-teks yang relevan sebagai suatu sumber Fiqh. Teks-teks yang dapat diterima termasuk Al Quran, Hadis Nabi dan Hadis para Imam. Mazhab tradisionalis berkoalisi menjadi Mazhab Usuli dan menekankan metodologi dan prinsip atas keaslian tekstual. Dalam pendekatannya, Mazhab Usuli dari Fiqh Ja'afariya sangat mirip dengan Mazhab Usuli Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i. Dan, seperti Mazhab Hanafi, ia menerima ijtihad sebagai sebuah metodologi yang dapat diterima untuk Fiqih di mana tidak ada panduan yang jelas dan eksplisit dari Qur'an dan Sunnah Nabi. 

Jadi Mazhab-mashab Fiqh Ja'afariya dan Sunnah adalah seperti anak-anak sungai yang berbeda yang berangkat dari danau besar yang sama dan menyirami dataran Islam dari arah yang berbeda-beda. Pengambilan kesimpulan mereka seringkali sama karena mereka didasarkan pada Alquran dan Sunnah Nabi, meskipun sumber-sumber antara mereka mungkin berbeda. 

Fiqh membangun sebuah jembatan bagi peradaban Islam ke masa depan. Apa yang mengejutkan seorang mahasiswa sejarah adalah kepercayaan diri dan antusiasme yang dengannya Muslim menghadapi ide-ide yang unggul di dunia pada saat itu. Pada abad ke-11, peradaban Islam telah mengkristalisasi responnya terhadap peradaban saudaranya hari ini. Dan respon ini pada dasarnya berbeda dengan tantangan rasional dari Yunani dan tantangan spiritual dari Timur. Setelah periode singkat godaan dan eksperimentasi, pemikiran Yunani dibuang dan mengirim paket tersebut ke Barat. Tahafuz al Tahafuz-nya Ibnu Rusyd (sekitar tahun 1190) adalah sebuah kata perpisahan sedih dari seorang ulama Muslim yang meninggalkan tanah air Islamnya dan bermigrasi ke Barat. Di sisi lain, Islam merespon tantangan dari Timur dengan menginternalisasi dan meng-Islamisasi banyak dari elemen-elemen spiritualnya. 

Pemikiran Sufi berkembang dan setelah kehancuran Mongol, mengambil akar dan menjadi kendaraan utama untuk ekspansi Islam. Model Islam adalah menjadi menjadi seorang Hafiz, Rumi atau Syah Waliullah, bukan Al Kindi atau Abu Ali Sina atau Al Biruni atau Ibn Rusyd. Dengan pengecualian Ibn Khaldun (w. 1407), kaum empirisis dan rasionalis masa lalu perlahan-lahan menghilang. Ilmu pengetahuan dan peradaban dengan demikian memiliki hubungan yang sama sekali berbeda antara di Barat dan di dunia Islam setelah Abad Pertengahan. Barat mengadopsi Abu Ali Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averoes) dan metode empiris/ rasional mereka dan membuat ilmu pengetahuan (seperti yang kita kenal sekarang) yang merupakan bagian integral dari budaya dan peradaban mereka. Kaum Muslim semakin memalingkan punggung mereka dari pendekatan empiris/rasional dan menjadi tertutup, terperangkap dalam kontemplasi diri. Proses ini dipercepat pada abad ke-19 ketika dunia Muslim dijajah oleh Eropa, dan kesinambungan historis kaum Muslimin dengan masa lalu mereka sendiri terputus. 

Mereka kaum Muslim yang menyatakan bahwa tidak ada konflik antara ilmu pengetahuan dan agama dalam Islam harus merenungkan hal ini. Setelah mengambil ilmu pengetahuan dari langkah pembukaan, Anda tidak dapat menempatkannya kembali dalam permainan tengah atau akhir permainan. Anda harus mengubah langkah pembukaan, yaitu asumsi-asumsi fundamental di mana peradaban Muslim telah membangun pandangan dunianya sejak perdebatan antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah di abad ke-9, untuk datang dengan suatu filsafat yang koheren dan komprehensif dari ilmu pengetahuan dan peradaban. 

Dengan berjalannya waktu, stagnasi berlaku dan apa yang pernah menjadi jembatan ke masa depan menjadi hanya sebuah jembatan ke masa lalu. Mazhab-mazhab Fiqh menjadi mazhab-mazhab dan semakin mengeras. Keturunan, sanksi resmi, peristiwa-peristiwa politik,  kesetiaan kepada suku dan nasional semua memainkan peran historis mereka dalam kejumudan ini. Pada abad ke-11, peradaban Islam telah menjadi sebuah peradaban yang berbasis kota. Mu'tazilah dan Asy'ariyah telah saling menjatuhkan. Para qari, yang telah melintasi padang pasir pada tahun-tahun awal Islam mengajarkan Alquran dari dusun ke dusun, telah memberikan cara bagi guru-guru profesional yang pekerjaannya tergantung pada melestarikan status quo. Orang-orang mendambakan istirahat sebentar dari kontroversi. Sebuah konsensus yang luas dikembangkan bahwa mazhab-mazhab Fiqh yang telah ada sudah cukup untuk memenuhi tantangan hari ini. Islam telah berhasil bertahan dari serangan pemikiran Yunani dan telah berhasil mengakomodasi tantangan spiritual dari agama-agama timur. Tampaknya bahwa antarmuka peradaban antara Islam dan peradaban saudaranya hari ini telah didefinisikan dengan baik. Sekarang saatnya untuk mengistirahatkan kasus ini. Pintu ijtihad oleh karena itu ditutup dan orang-orang ditanamkan taqlid (untuk menyalin atau mengikuti). Mereka menjadi Sunni, Syiah, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Ja'afari, Zaidi dan Fatimiyah. 

Perkembangan politik juga memberikan kontribusi terhadap stagnasi intelektual. Pada abad ke-9, Fatimiyah menaklukkan Mesir dan berkuasa atas mayoritas penduduk Sunni menggunakan Fiqh Fatimiyah. Tantangan Fatimiyah mendapat respon dari Turki sebagai pembela Fiqh Sunni. Otoritas pusat dari kekhalifahan hancur dan di tempatnya muncul kesultanan-kesultanan dan emirat-emirat yang otonom. Abad ke-16 menyaksikan munculnya tiga dinasti besar, mereka adalah Dinasti Utsmani, Dinasti Safawi dan Moghul Raya. Safawi mengadopsi Fiqh Ja'afariya sedangkan Utsmani dan Moghul memperjuangkan Fiqh Hanafi. Perbedaan ideologi tertentu yang tak terelakkan, tetapi mazhab sering digunakan dalam peperangan antar mereka untuk mendapatkan kontrol atas wilayah-wilayah perbatasan. Hanya geografi dan teknologi yang relatif primitif pada saat itu yang mencegah mereka melancarkan perang total terhadap satu sama lain. Meskipun demikian, kebijakan picik masing-masing mereka memastikan bahwa pada abad ke-17, Persia adalah Itsna Asy'ari, sedangkan India, Pakistan, Asia Tengah dan Kekaisaran Ottoman didominasi Hanafi. Upaya besar terakhir oleh penguasa untuk mewujudkan rekonsiliasi antara mazhab Syiah dan Sunni adalah Nadir Syah. Awalnya, seorang penguasa baik hati, ia menjadi kikir setelah ia merebut Delhi dan mendapatkan jarahan yang besar (1739). Kembali ke Persia, ia mengumpulkan Ulama Sunni dan Syiah dalam upaya untuk mendamaikan fragmentasi sejarah mereka. Untuk upaya ini, baik Sunni dan Syiah melecehkannya, yang menjadikannya lebih lalim. Dia meninggal kikir, mencemooh Ulama-ulama Sunni dan Syiah dan pada gilirannya dicemooh oleh sejarah. 

Kematian ijtihad terkadang disalahkan kepada invasi Mongol dan Tatar. Ini tidak benar secara historis. Proses stagnasi telah berjalan sebelum invasi Tentara Salib (abad ke-11, 12 dan 13) dan kehancuran Mongol (abad ke-13) mengakhiri kekhalifahan Baghdad. Kejadian-kejadian eksternal, bagaimanapun, membantu mengkonsolidasikan status quo. Dihadapkan dengan kemungkinan kepunahan, peradaban Islam semakin berpaling ke dalam jiwa batinnya sendiri. Dan jubah kepemimpinan intelektual diteruskan dari qura'a dan fuqaha ke sufi. 

Mazhab-mazhab utama Fiqh secara jelas melayani kebutuhan Muslim awal, memastikan kohesi sosial, melindungi masyarakat dari ide-ide peradaban asing dan menjaganya sepanjang krisis-krisis sejarah. Namun, isu-isu yang dikemukakan mencerminkan kondisi umat Islam pada waktu itu. Pada abad ke-8, Islam secara politis dan militer dominan di Asia Barat dan Mediterania. Tentu saja, ada interaksi dengan peradaban Yunani, China dan India, tetapi karena teknologi primitif saat itu, setiap peradaban lebih atau kurang otonom di wilayah pengaruhnya sendiri. Tantangan bagi umat Islam adalah pertama kali memilah dan menstabilkan hubungan internal mereka sendiri, lalu menentukan hubungan mereka dengan ide-ide dari peradaban-peradaban lain. Dan ini mereka capai dalam konteks zaman, memisahkan "Darul Islam" dari "Darul Harb". Darul Islam adalah di mana Fiqih diterapkan. Darul Harb adalah dunia lain di mana "orang kafir" hidup dan yang harus ditantang. 

Paradigma tersebut membutuhkan pengujian ulang. Hari ini, sepenuhnya sepertiga dari seluruh umat Islam tinggal di negara-negara yang mayoritas non-Muslim. Fiqih bukanlah alat statis. Ia adalah dimensi historis dari Syariah. Dalam dunia yang menyusut, bersama-sama ditarik oleh teknologi, di mana revolusi informasi telah membuat batas-batas nasional berpori, antarmuka peradaban hari ini adalah berbeda dari mereka yang hidup di abad ke-8 dan 9. 

Pada abad ke-21, Islam tidak menghadapi rasionalisme dari Yunani, atau pengasingan diri dari Budha, atau politeisme dari Hindu tetapi hegemoni global dari peradaban materialis yang menentang segala bentuk agama. Fokus dari peradaban ini adalah sentralisasi ekonomi. Dalam kehausannya yang tak terhindarkan untuk sentralisasi, peradaban global materialis saat ini telah mengkooptasi ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, etika, politik dan telah meminggirkan agama itu sendiri. Isu-isu besar hari ini terutama ekonomi, bukan spiritual. Hari ini, semua orang agama, Muslim, Kristen, Yahudi, Budha dan Hindu berada di perahu yang sama, dihadapkan dengan mendefinisikan antar muka mereka satu sama lain dan dengan peradaban global materialis ini. Secara jelas, respon yang koheren belum muncul dari para ulama Muslim.


  1. Ref: Sahih Muslim, Hadith 5920.
  2. Ref: Tradition number 874 from Sahih Tirmidhi as related by Zaid ibn Arkam, among the traditions taken from Kanz ul Ummal.
  3. Ref: Hijjatul Wida, Farewell speech at the Mount of Arafat, on the authority of Rabiah ibn Umayyah, who repeated the sermon after him.






Sumbangan dari Prof. Dr. Nazeer Ahmed, Phd.

Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com

Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com
Lintas Islam fiqh, sejarah