Islam Untuk Semua Umat

Thursday, January 19, 2012

Revolusi Abbasiyah


Revolusi Abbasiyah adalah pergolakan politik-militer besar pertama di dunia Muslim, yang mengakibatkan kehancuran satu dinasti dan menggantinya dengan yang lain. Pelajaran dari revolusi itu masih bisa diambil saat ini walaupun peristiwa tersebut terjadi di tahun 750.

Peradaban mengalami pembusukan dari dalam. Faktor eksternal merupakan kesempatan belaka yang memberikan coup de grace (tindakan yang mengakhiri penderitaan - pen) untuk sebuah peradaban. Sejarah Islam tidak terkecuali. Penyebab utama atas marjinalisasi umat Islam dalam sejarah dunia adalah internal. Jika seseorang masih hidup pada tahun 740, ia akan melihat sebuah kesultanan Islam membentang dari Paris ke Lahore. Namun, di dalam bangunan yang sangat besar ini, kekuatan raksasa mendapatkan momentum yang akan mengguncang kekaisaran sampai ke dasarnya. Pertanyaan seorang mahasiswa sejarah adalah: apakah yang menghancurkan kekompakan internal umat Islam?

Dalam konteks sejarah, iman mencakup semua aktivitas manusia, termasuk keyakinan agama, ekonomi, sosiologi, politik, tata negara, administrasi, ilmu pengetahuan, seni dan budaya. Ini semua adalah aspek yang mencakup iman Islam yang disebut Tauhid dan peradaban yang didasarkan atasnya adalah peradaban Tauhid. Sebagian besar Muslim saat ini telah mengurangi Tauhid sebagai sebuah dimensi tunggal - yaitu, keyakinan kepada Allah - dan mengabaikan sebagian besar dimensi yang mencakupinya.

Para penguasa Umayyah telah jatuh dari karunia karena mereka telah meninggalkan peradaban Tauhid seperti yang ditegakkan oleh Nabi dan dipraktekkan oleh empat khalifah pertama. Para penguasa Umayyah adalah tentara yang cakap, sebagian adalah politisi yang sempurna (Muawiya, Walid I), seorang yang saleh dan mulia (Umar bin Abdul Aziz) tetapi sebagian besar adalah keji, fasik dan kejam. Kami akan mengkategorikan kekurangan yang paling jelas dalam pemerintahan mereka.

1. Para penguasa Umayyah tidak berhasil dalam membangun legitimasi kekuasaan mereka. Isu suksesi dan legitimasi pemerintahan muncul segera setelah wafatnya Nabi. Di sisi lain dalam urutan ini, kami telah menunjukkan bagaimana Abu Bakar RA terpilih sebagai khalifah setelah Nabi, dan juga keadaan bergolak seputar pemilihan Abu Ali bin Thalib RA untuk kekhalifahan setelah pembunuhan Utsman RA. Pada tahun 740, ada muncul beberapa posisi pada isu suksesi setelah Nabi. Hal ini diperlukan untuk memahami yang lebih penting dari ini karena pemahaman tersebut telah menyebabkan munculnya Abbasiyah dalam perspektif. Lebih penting lagi, hal ini membantu kita memahami konteks historis atas beberapa perpecahan yang telah mengguncang dunia Islam selama berabad-abad dan terus berguncang sampai saat ini. Isu-isunya kompleks dan apa yang kami hadirkan ini adalah sebuah ringkasan singkat.

2. Pemilihan Abu Bakar RA untuk kekhalifahan adalah tidak bulat. Ibnu Khaldun mencatat percakapan antara Ibnu Abbas dan Abu Bakar RA, yang dengan jelas menunjukkan bahwa mantan kalifah percaya bahwa Ali bin Abu Thalib RA adalah pewaris sah dari Nabi. Perbedaan muncul dalam kejelasan yang lebih nyata setelah pembunuhan Umar bin Al Khattab RA dan pada pertemuan komite Syura yang dibentuk oleh Umar RA untuk memilih penggantinya. Pendapat mayoritas menerima tidak hanya Al-Qur'an dan Sunnah, tetapi juga ijma (konsensus) para sahabat. Ini adalah pendapat yang diambil oleh para pendukung Utsman RA. Para pendukung Ali Kwh berpendapat bahwa rantai otoritas mengalir dari Al Qur'an, Sunnah Nabi dan melalui delegasi dari Nabi kepada Ali bin Abu Thalib Kwh. Mereka yang menerima posisi yang terakhir disebut sebagai Syi'i-at-Ali atau Shi 'Aan e Ali (pendukung atau partai Ali Kwh).

Dari sudut pandang internal Arab, perbedaan muncul dari klaim yang bertentangan antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah atas kepemimpinan masyarakat. Ali Kwh, sepupu Nabi, adalah milik Bani Hasyim. Muawiyah serta keturunannya adalah milik Bani Umayyah. Setelah Pertempuran Siffin dan tragedi Karbala, tidak ada cinta yang hilang di antara kedua suku. Bani Umayyah terus mencermati kepemimpinan Bani Hasyim dan berkali-kali memperlakukan mereka dengan kekerasan, bahkan sungguh kejam.

Pendapat mayoritas yang menerima rantai otoritas politik dari Al-Qur'an, Sunnah Nabi dan ijma (konsensus) para sahabat, kemudian mengkristal ke dalam posisi Sunni ortodoks. Secara politis, ini berarti penerimaan atas kekhalifahan Abu Bakar RA, Umar RA, Utsman RA dan Ali Kwh sebagai ekspresi yang sah dari kehendak kolektif para sahabat. Pandangan ini diperjuangkan selama berabad-abad oleh Turki, Moghul  dan oleh dinasti penerus mereka di Utara, Spanyol, Malaysia dan Indonesia. Posisi ini diterima saat ini oleh sekitar sembilan puluh persen Muslim di dunia. Pendapat minoritas, yang menerima rantai otoritas dari Al-Qur'an, Sunnah Nabi dan oleh delegasi dari Nabi kepada Ali bin Abu Thalib Kwh dan para imam-imam penggantinya diperjuangkan oleh Dinasti Safawi di Persia (1500-1720 ) dan merupakan posisi Syiah. Sekitar sepuluh persen dari umat Islam saat ini memegang posisi ini.

Pada tahun 750, posisi Syiah telah mengalami perpecahan lebih lanjut. Setelah kemartiran Hussain di Karbala, jubah kepemimpinan jatuh ke anaknya Zainul Abidin, juga dikenal sebagai Ali bin Husain. Tekanan dari  Umayyah sangat berat. Oleh karena itu, Zainul Abidin mengalihkan perhatiannya kepada hal-hal spiritual dan untuk membangun masyarakat dari dalam. Tidak adanya aktivisme politik ini tidak dapat diterima oleh beberapa pengikutnya yang mencari seorang pemimpin yang lebih aktif. Putra Zainul Abidin, Zaid, mengambil tantangan ini. Didorong oleh sebuah janji bantuan dari orang-orang Kufah, ia menghadapi Umayyah dalam pertempuran. Seperti dengan pengkhianatan sejarah mereka sebelumnya, orang-orah Kufah meninggalkan Zaid dan ia kalah dalam pertempuran. Kemartirannya memunculkan cabang Zaidiyah di kalangan Muslim Syiah. Zaidiyah percaya dengan kekhalifahan Abu Bakar RA, Umar RA dan Ali Kwh dan dengan Imamah Hassan, Hussain, Zainul Abidin dan Zaid. Mereka menolak kekhalifahan Utsman RA. Dalam sejarah, kontribusi utama mereka adalah penyebaran Islam dari Oman ke Afrika Timur dan perlawanan mereka terhadap serangan Portugis pada abad ke-16.

Sebuah perselisihan kedua terjadi di antara Shi 'Aan e Ali setelah Imam kelima, Ja'afar as Saadiq. Ismail putra sulungnya wafat mendahuluinya. Oleh karena itu, Imam Ja'afar menunjuk putra keduanya Musa Kazhim sebagai Imam. Tetapi sebagian diantara Syiah menolak untuk menerima Imamah Musa Kazhim dan bersikeras pada Imamah Ismail. Kelompok ini disebut Ismailiyah. Mereka juga disebut sebagai Fatimiyah karena garis keturunan mereka dari Fatimah RA, putri tercinta Nabi. Fatimiyah memainkan bagian penting dalam sejarah Islam pada abad ke-9 dan ke-10 ketika mereka menduduki Mesir, Afrika Utara, Hijaz dan Palestina. Adalah Fatimiyah yang melakukan upaya serius untuk menaklukkan Italia di abad ke-10 dan merekalah yang menghadapi serangan Tentara Salib pertama di Yerusalem pada abad ke-11. Adalah ekspansi militer mereka yang memperkuat pemerintahan Umayyah di Spanyol pada abad ke-10 dan membawa Turki Seljuk untuk mempertahankan kekhalifahan ortodoks di Baghdad (abad ke-10, 11 dan 12). Mereka akhirnya digantikan oleh Salahuddin Ayyubi menjelang akhir abad ke 12.

Untuk jelasnya, kami meringkas di sini spektrum kepercayaan-kepercayaan di kalangan umat Islam. Kaum Sunni percaya kepada Al Qur'an, Sunnah Nabi dan menerima ijma para sahabat. Ini berarti penerimaan atas empat khalifah pertama yaitu Abu Bakar RA, Umar RA, Usman RA dan Ali Kwh sebagai khalifah yang mendapat petunjuk (Khulafa-ur-Rashidun). Itsna-Asyariyah percaya kepada Al Qur'an, Sunnah Nabi dan menerima imamah dua belas imam, yakni, Ali Kwh, Hassan, Hussain, Zainul Abidin, Muhammad Baqir, Ja'afar as Sadiq, Musa Kazhim, Ali Rada, Jawwad Razi, Ali Naqi Hadi, Hasan Askari dan Muhammad Mahdi. Para Sabayis (orang-orang tujuh) percaya kepada tujuh Imam yang disebutkan pertama. Fatimiyah percaya kepada Imamah dari enam Imam yang pertama dan Ismail. Itsna-Asyariyah, Fatimiyah dan Sabayis bersama-sama disebut sebagai Syiah. Beberapa sejarawan juga merujuk kepada mereka sebagai Alawiyah. Zaidiyah adalah pertengahan dalam keyakinan mereka antara Sunni dan Syiah. Mereka percaya kepada Imamah dari empat Imam pertama dan Zaid bin Ali dan juga dengan kekhalifahan Abu Bakar RA dan Umar RA tetapi tidak untuk Utsman RA. Kami harus menekankan bahwa semua Muslim percaya kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, tetapi tidak sepakat hanya dalam proses perkembangan sejarah Islam dalam matriks urusan manusia. Seperti cabang-cabang pohon besar, berbagai mazhab  Fiqh menaungi umat Islam dan sejarah Islam tidak akan sama  tanpa mereka.

Pada masa Imam Ja'afar, perpecahan lain terjadi, yang memiliki dampak yang mendalam dan abadi pada sejarah Islam. Tidak puas dengan sikap kediaman politik dari Imam Ja'afar, beberapa pendukung Bani Hasyim mencari ke tempat lain untuk kepemimpinan. Mereka menemukan seorang pemimpin pada Muhammad bin  Hanafia , putra Ali bin Abu Thalib Kwh dari salah satu pernikahan setelah kematian Fatimah RA. Ini adalah awal dari cabang non-Fatimiyah dari Alawiyah. Setelah Muhammad bin Hanafia, putranya Abu Sulaiman Abdullah menjadi Imam tetapi ia diracuni oleh Khalifah Umayyah Sulaiman. Saat ia terbaring sekarat, Abdullah melihat sekeliling untuk mendapatkan seseorang dari keluarganya untuk menerima Imamah. Karena tidak ada satu pun dari keluarga dekat yang tersedia, ia menemukan seorang Bani Hasyim, Muhammad bin Ali Abbas, di sebuah kota terdekat. Muhammad bin Ali Abbas adalah cucu dari Abbas, paman Nabi. Dengan demikian, melalui pemelintiran dari keadaan sejarah, salah satu cabang dari Imamah diteruskan dari anak-anak Ali bin Abu Thalib Kwh kepada anak-anak Abbas. Cabang ini disebut sebagai Abbasiyah. Adalah Abbasiyah yang mendirikan kekhalifahan mereka pada tahun 750 dan memerintah dari Baghdad Kekaisaran Islam yang luas selama lebih dari lima ratus tahun sampai akhirnya Mongol menghancurkan  Baghdad pada tahun 1258.

Muhammad bin Ali Abbas adalah seorang pekerja yang tak kenal lelah untuk kepentingan Abbasiyah dan mendirikan jaringan pendukung di seluruh Irak, Persia, Khurasan dan di daerah yang saat ini terletak di republik-republik Asia Tengah seperti Turkmenistan, Kyrgyzstan, Tadzig dan Uzbekistan. Setelah Muhammad, anaknya, Ibrahim menjadi Imam. Pada masa gerakan Abbasiyah, berpusat pada klaim bahwa kekhalifahan adalah milik Bani Hasyim di mana Abbasiyah adalah salah satu cabang, memperoleh momentum, begitu juga tekanan dari Bani Umayah. Khalifah Umayyah Marwan menangkap Ibrahim, memasukkannya ke dalam penjara dan akhirnya dibunuh dengan memasukkan kepalanya ke dalam karung kapur yang mendidih. Sebelum kematiannya, Ibrahim berhasil berkomunikasi dengan saudaranya Abul Abbas Abdullah dan mengangkatnya sebagai Imam. Abul Abbas bersumpah untuk membalas dendam kepada Umayyah atas kematian saudaranya yang kejam dan seperti akan kita lihat nanti, ia mencapai ini dengan sepenuh hati.

Dasar ideologis bagi pemerintahan Abbasiyah tidak tersedia sampai satu generasi setelah mereka memperoleh kekuasaan. Adalah Khalifah Mansur, yang memberikan dasar ideologis ini pada tahun 770 dalam menanggapi sebuah pertanyaan dari seorang Khawarij. Menurut posisi ini, karena Nabi tidak meninggalkan anak laki-laki dan bahwa garis keturunan diteruskan dari ayah ke anak laki-laki, maka anak-anak dari Fatimah RA tidak dapat mengklaim suksesi. Dengan demikian, suksesi harus melalui keturunan laki-laki dari paman Nabi, Abbas.

Ada lagi posisi pada kekhalifahan yang secara politik penting pada masa revolusi Abbasiyah tetapi kehilangan kekuatannya di abad kemudian. Yaitu adalah posisi yang dibawa oleh kaum Khawarij yang mengatakan bahwa Khilafah harus terbuka untuk semua Muslim, apakah Arab atau non-Arab dan tidak boleh hanya menjadi hak istimewa Bani Umayyah atau Bani Hasyim. Posisi yang tampaknya demokratis ini selalu tetap berada di pinggiran dari tubuh politik Islam karena cara-cara kekerasan dan kejam dari Khawarij dan tuntutan-tuntutan ekstremis mereka.

Oleh karena itu bahwa pada tahun 740, ketika badai berkumpul di cakrawala untuk sebuah revolusi, tubuh politik umat Islam terpecah-belah oleh klaim yang saling bertentangan terhadap kekhalifahan dan imamah. Bani Umayyah sedang berkuasa tetapi kekuasaan itu semakin ditantang oleh Bani Hasyim melalui Abbasiyah. Abbasiyah mewarisi legitimasi mereka dari Alawiyah (atau Shi 'Aan e Ali) melalui sebuah kecelakaan sejarah. Tetapi Alawiyah sendiri terbagi-bagi antara Zaidiyah, Fatimiyah (orang-orang enam), Sabayiah (orang-orang tujuh) dan Itsna-Asyariah (orang-orang dua belas).

Umayyah telah mendorong diri mereka ke dalam proses politik selama kekhalifahan Ali bin Abu Thalib Kwh dan telah mengkonsolidasikan pemerintahan mereka setelah pembunuhannya. Meskipun mereka secara radikal mengubah kekhalifahan dari konsensus pemilihan kepada pemerintahan dinasti, Umayah memperjuangkan posisi Sunni ortodox karena kebutuhan politik. Tetapi mereka tidak bisa menekan klaim dari Bani Hasyim atau Shi' Aan e Ali. Kecuali Umar bin Abdul Aziz, tidak ada dari Umayyah yang melakukan upaya serius untuk mendamaikan perbedaan di antara umat Islam. Konfrontasi berlanjut, mengarah kepada perang yang berkelanjutan melawan Khawarij dan bentrokan sporadis tetapi keras dengan Shi 'Aan e Ali seperti dimanifestasikan di dalam tragedi besar Karbala. Umayyah selalu rentan terhadap tuduhan bahwa mereka telah merebut kekuasaan dari rumah Nabi. Ini adalah sisi lemah politik mereka dan ini justru menjadi arah ideologis dari mana gerakan Abbasiyah menyerang mereka.

3. Selama 92 tahun pemerintahan Umayyah, ada pergeseran paradigma dari Tauhid ke dinar. Para penguasa lupa bahwa aturan Islam adalah kepercayaan ilahi dan fungsi utamanya adalah untuk mengirimkan pesan tauhid. Transendensi inilah yang telah membawa mujahid (dari akar kata j-h-d, berjuang) dari Hijaz ke pinggiran Paris dan tepian Sungai Indus. Transendensi ini hilang selama periode Umayyah. Umayyah telah menjadi sebuah dinasti seperti dinasti lainnya di Asia atau Eropa dengan fokus mereka pada kekayaan dan kekuasaan. Para penguasa menjadi pemungut pajak sehingga mereka bisa mempertahankan istana-istana mereka di Damaskus. Mereka kehilangan klaim rohani mereka atas kepemimpinan. Dimana iman lemah, sebuah peradaban mengalami penurunan. Ketika spiritualitas hilang, kekuasaan politik mesti dipertahankan dengan ujung pedang. Ini adalah apa yang terjadi dengan Umayyah. Kekuasaan mereka menjadi semakin represif dan harus ditopang dengan kebrutalan yang semakin meningkat. Menjadi tidak adil untuk melimpahkan kesalahan tunggal kepada Umayyah atas perilaku ini. Tubuh politik Islam telah kehilangan landasan setelah empat khalifah pertama yang saleh dan hanya pada beberapa kesempatan melaksanakan tugas amanah Ilahi. Sebagai ilustrasi, sebagian besar penguasa Muslim di anak benua India selama abad ke-13 sampai ke-17 tidak mendorong kepindahan ke agama Islam untuk memastikan bahwa pendapatan pajak mereka tidak akan menurun. Akibatnya, setelah lima abad kekuasaan Islam, hanya seperempat dari penduduk Hindustan yang telah memeluk Islam.

4. Umayyah telah melupakan pesan persaudaraan Islam dan memperlakukan para muallaf secara menjijikkan. Seringkali, para muallaf dipaksa untuk membayar Jizyah bahkan setelah mereka menerima Islam. Ini adalah diskriminasi yang ditentang oleh Imam Abu Hanifah (yang hidup melewati revolusi Abbasiyah). Dalam salah satu fatwanya, Abu Hanifah berkata: "Iman dari seorang Turki yang baru saja bertobat adalah sama dengan iman seorang Arab dari Hijaz". Tetapi Umayyah memusuhi reformasi tersebut dan Imam Abu Hanifah dipenjara karena aktivismenya. Di Khorasan dan Persia, orang-orang Arab menguasai sebagian besar jabatan tinggi dalam angkatan bersenjata dan di eselon atas pemerintah. Hasilnya adalah perpecahan rasial dan fragmentasi sosial. Ketika perpindahan agama meningkat, pusat gravitasi bergeser kepada orang-orang Persia dan Turki yang baru pindah agama, yang dijauhkan dari hak istimewa kekuasaan. Struktur sosial semakin tampak seperti piramida terbalik dengan minoritas Arab di puncak kekuasaan. Bahan untuk revolusi sosial telah mengambil akar dan hanyalah masalah waktu sebelum piramida itu dibalikkan.

5. Korupsi yang dimulai dari atas mengalir ke bawah kepada gubernur-gubernur provinsi dan pejabat-pejabat kecil. Kekejaman dan kebrutalan Hajjaj bin Yusuf menjadi pepatah. Alih-alih mempromosikan pejabat atas dasar kemampuan dan integritas, seperti yang terjadi selama kekhalifahan Umar bin Khattab RA, atau atas dasar pengujian dan jasa seperti yang terjadi pada dinasti Tang Cina kontemporer, Umayyah memilih gubernur dan pejabat atas dasar loyalitas kepada para penguasa. Kebrutalan gubernur dipandang sebagai aset dalam menjaga wilayah yang ditaklukkan berada di bawah kontrol. Damaskus, pada dasarnya, kehilangan kontak dengan provinsi-provinsi yang terletak sangat jauh, sebuah fakta yang diperburuk dengan komunikasi-komunikasi yang tidak sempurna pada saat itu. Jadi, ketika sebuah tantangan serius terhadap pemerintahan Umayyah muncul di Khurasan yang jauh, respon dari istana Damaskus lambat, lemah dan terputus-putus.

6. Umayyah kehilangan kemampuan untuk mendorong kekompakan di dalam masyarakat. Sebaliknya, mereka menjadi partisan dalam percekcokan kesukuan sesama Arab. Pada masa Arab pra-Islam, orang-orang Arab tak berdaya dibagi-dibagi berdasarkan garis suku dan sering terlibat dalam pertempuran melawan suku-suku lainnya. Salah satu pembagian suku utama adalah antara Muzruis (orang-orang Arab utara) dan Yaman (Arab selatan). Nabi sudah menyembuhkan keretakan ini dan menyatukan suku-suku ke dalam sebuah persaudaraan umum. Tetapi selama periode Umayyah, perselisihan ini muncul kembali dengan intensitas baru. Umayyah didukung oleh Muzruis. Berkat blunder Umayyah, orang-orang Yaman menjadi musuh mereka. Para arsitek revolusi Abbasiyah mengeksploitasi kelompok ini.

7. Terakhir, adalah pandangan Ibn Khaldun bahwa Umayyah telah menjadi penduduk kota dan telah kehilangan daya tahan sebagai orang-orang Arab gurun. Korupsi dari kehidupan kota telah menghancurkan asabiyah (ikatan berdasarkan kesetiaan suku), yang menurut Ibnu Khaldun dibutuhkan sebagai bahan bangunan peradaban. Dikelilingi oleh kemewahan Damaskus, para penguasa Umayyah terakhir hampir tidak bisa memahami kendali, energi, antusiasme, dan iman murni dari nenek moyang gurun mereka. Dengan kata lain, sudah saatnya bagi Umayyah untuk meninggalkan panggung sejarah.

Abbasiyah berhasil di setiap wilayah di mana Umayah gagal. Mereka dipimpin oleh seorang pemimpin yang luar biasa, yang memenangkan popularitas, jenderal lapangan yang brilian dan menunjukkan sebuah insting Machiavellian untuk mengeksploitasi kelemahan lawan mereka.

Tokoh kunci dalam revolusi ini adalah Abu Muslim Khorasani. Abu Muslim adalah seorang lelaki yang  diciptakan pada masanya. Dia adalah seorang Persia, lahir di Isfahan dan karenanya mempunyai mandat sempurna atas dasar kelahiran dengan mayoritas orang Persia yang dieksploitasi. Dia dibesarkan di Kufah dan di awal kehidupannya memiliki ketidaksukaan akan kesombongan Arab dan superioritas kompleks mereka. Propaganda Abbasiyah aktif dalam sel-sel kecil di Irak dan Abu Muslim menerima indoktrinasi awalnya dari Da'i (seseorang yang mengajak orang-orang terhadap sebuah doktrin) Abbasiyah, Isa bin Musa Siraj. Kecerdasan dan kemampuannya menarik perhatian Isa dan ia diperkenalkan kepada Imam Muhammad bin Ali. Imam melihat potensi di dalam diri orang muda ini dan pada waktunya, mengangkatnya sebagai Da'i Kepala untuk provinsi Khorasan. Ini adalah tahun 744.

Khorasan bergolak dengan ketidakpuasan. Warisan dari ekses Umayyah telah menciptakan kepahitan yang ekstrim di kalangan penduduk setempat. Perpajakan yang tidak adil telah memupuk ketidaksukaan terhadap orang-orang Arab di antara orang-orang Persia. Orang-orang Arab terbagi-bagi di antara mereka sendiri berdasarkan garis kesukuan. Orang-orang dan ulama-ulama yang cakap dibungkam oleh Umayyah atau mereka menarik diri dari kehidupan publik. Dalam suasana ini, propaganda Abbasiyah akan hak-hak Bani Hasyim dan Ahlul-Bait mendapatkan penerimaan yang sangat positif. Para Alawiyah mendukung Abbasiyah sebagai kesempatan terbaik untuk menggulingkan Umayyah yang dibenci dan mungkin mendirikan pemerintahan dari rumah Ali Kwh dan Fatimah RA. Masyarakat umum sudah berpayah-payah terlalu lama di bawah penganiayaan dan penindasan dari para pejabat Umayyah dan berdoa untuk adanya pembebasan.

Khorasan diperintah pada saat itu oleh Nasr bin Sayyar, seorang Arab Mazrui (utara) dan seorang pendukung Umayyah yang cakap dan setia, tetapi adalah seorang tua berusia delapan puluhan yang memiliki  pendekatan picik yang sama terhadap politik seperti sponsornya di Damaskus. Dia mengambil sisi dalam pertengkaran lokal antara orang-orang Arab Yaman dan Mazrui dan membunuh kepala suku dari salah satu suku, Ali Kirman. Hal ini mengasingkan para pengikut Kirmani dan mereka menjadi musuh bebuyutan dari Umayyah. Upaya-upaya telah dilakukan untuk menambal perbedaan-perbedaan antar-Arab ini, tetapi Abu Muslim berhasil dalam mencegah sebuah rujuk antara dua suku Arab melalui manuver politik yang cerdas.

Dengan orang-orang Arab berselisih satu sama lain, Abu Muslim melakukan gerakannya. Kata-kata disampaikan melalui sel-sel bawah tanah yang sangat efektif bahwa tanggal 25 Ramadan menjadi hari berkabung untuk menghormati para imam yang telah dibunuh oleh Umayyah. Pada hari yang telah ditentukan, orang-orang Khorasan mengangkat bendera-bendera hitam dan pemberontakan dimulai. Warna hitam kemudian menjadi warna lambang Abbasiyah. Kota Merv segera diserbu. Nasr meminta bantuan Marwan. Tetapi, seperti yang terjadi pada saat-saat menentukan dalam sejarah, beberapa peristiwa penting terjadi bersamaan dan Umayyah terjebak. Ada pemberontakan serius kaum Khawarij di Mekkah dan Madinah. Karena ia sedang sibuk menekan pemberontakan ini, Marwan memerintahkan gubernur Irak untuk memberikan bantuan kepada Nasr. Pada saat orang-orang Irak tiba di perbatasan Khorasan, sudah terlalu terlambat. Abu Muslim telah menyerbu seluruh propinsi Khorasan dan sumber daya manusia dan materialnya meningkat tajam. Orang-orang Irak tidak memiliki peluang. Mereka dikalahkan.

Ini adalah saat ketika Imam Ibrahim dibunuh secara kejam oleh Marwan, dengan memasukkan kepalanya ke dalam kantong kulit yang diisi dengan kapur mendidih. Pembunuhan serta kekejaman ini menambahkan bahan bakar ke dalam api. Abul Abbas Abdallah menjadi Imam baru dan bersumpah untuk membalas dendam atas pembunuhan saudaranya Ibrahim. Kejadian demi kejadian bergerak dengan cepat. Abu Muslim telah dibantu oleh beberapa jenderal yang paling cakap dari era ini, di antaranya Kahtaba bin Shabib, seorang Arab dari Madinah dan Khalid bin Barmek, seorang Persia. Kahtaba memburu Nasr ke selatan menuju Isfahan. Nashr meninggal saat melarikan diri. Hassan, seorang putra Kahtaba, melakukan pengepungan terhadap Nahawand, sementara Kahtaba sendiri mengalahkan pasukan penyelamat yang dipimpin oleh putra Marwan, Abdullah di dataran Karbala (749). Kufah, ibukota Irak, jatuh tanpa perlawanan lebih lanjut.

Orang-orang Kufah dipanggil ke Mesjid Jamia Kufah. Abu Muslim, yang telah menempa kesatuan dengan cekatan di antara orang-orang Persia yang tidak puas, orang-orang Arab Yaman, Abbasiyah dan Alawiyah dan secara hati-hati berdiri di tepi untuk klaim persaingan atas Imamah dan Khilafah, memberikan pidato berapi-api di mana dia menyatakan bahwa Umayyah si perampas telah digulingkan oleh kekuatan rakyat. Apapun klaim yang Umayyah miliki atas kepemimpinan masyarakat telah ditinggalkan akibat ketiadaan rasa hormat dan penindasan mereka. Sekarang saatnya untuk memilih seorang Imam dan Khalifah yang baru dan tidak ada yang lebih baik daripada Abul Abbas Abdullah yang memenuhi semua kriteria Imamah dan Khilafah. Abu Muslim maka menominasikan Abul Abbas sebagai khalifah Abbasiyah pertama di Kufah pada tanggal 13 Rajab, 132 AH atau tanggal 25 November, 749 dan era Abbasiyah dimulai.

Marwan akhirnya khawatir akan perkembangan ini dan maju menuju Irak dengan kekuatan 120.000 tentara. Marwan adalah seorang prajurit yang cakap, tetapi ia juga impulsif dan keras kepala. Lawannya adalah tentara Abbasiyah sebanyak 100.000 orang  dipimpin oleh Abdullah bin Ali dan Jenderal yang cakap Abu  Ayun. Kedua tentara bertemu di tepi Sungai Zab di Irak dekat desa Kushaf pada tanggal 25 Januari 750. Marwan yang impulsif membangun sebuah jembatan menyeberangi sungai dan maju untuk bertemu dengan musuh, kesalahan taktis yang menyebabkan dia tidak ada kesempatan untuk mundur. Abbasiyah, terdorong oleh rasa kesedihan dan balas dendam, menyerang. Takdir menentukan. Ketika Marwan turun, kudanya lari tanpa dirinya. Ketika mereka melihat kuda tanpa penunggangnya, pasukan Marwan mengasumsikan bahwa ia telah terbunuh. Ini adalah kemenangan yang lengkap. Marwan lari ke Mosul tetapi kota itu tidak akan membukakan pintunya untuknya. Dia melanjutkan pelarian ke arah barat ke arah Damaskus, mencoba untuk mendapatkan tentara lain. Tetapi Abbasiyah sedang dalam perburuan yang panas. Abdullah bin Ali mengikutinya dari kota ke kota. Damaskus diserbu dan direbut pada bulan April 750. Marwan menyeberang ke Mesir dan mencapai Fustat (Kairo modern). Abdullah bin Ali mengutus saudaranya Saleh dan Jenderal Abu Ayun untuknya. Marwan berpikir untuk memohon bantuan Bizantium Kristen tetapi dicegah dari upaya ini oleh letnan-letnannya yang tidak akan menerima campur tangan eksternal dalam perang sipil ini. Akhirnya ia terpojok di sebuah biara yang ditinggalkan di tepi barat Sungai Nil. Tanpa gentar, ia melawan, pedang di tangan, siap untuk memberikan perlawanan dan terbunuh oleh sebuah tombak yang dilemparkan oleh seorang tentara Abbasiyah. Maka tewaslah keturunan terakhir dari Umayyah yang perkasa. Marwan adalah seorang prajurit yang cakap. Bila takdir lebih ramah kepadanya, ia mungkin akan unggul sebagai penguasa. Tetapi ia datang di atas panggung sejarah pada saat ia memiliki kesempatan nol untuk menunjukkan kemampuannya.

Abbasiyah menghidupkan sumpah mereka untuk membalas dendam pada Umayyah. Sebuah regim teror telah hilang. Para pria Umayyah diburu seperti kelinci dan dibantai. Hanya laki-laki tua, wanita dan anak-anak yang terhindar. Tulang-tulang para penguasa Umayyah (kecuali Umar bin Abdul Aziz) digali dan dibakar. Di Damaskus, Abdullah bin Ali, membujuk delapan puluh pangeran Umayyah untuk makan malam dengan dalih amnesti. Ketika para pangeran duduk, mereka diikat dengan tali, dibungkus di dalam karpet dan dipukuli sampai mati.

Tetapi seperti pohon-pohon tua yang mati dan dalam kebangkitan mereka pohon-pohon baru tumbuh dari benih-benih mereka, dinasti lama mati dan di tempat mereka dinasti baru muncul. Ketika para pangeran Umayyah diburu dari tempat ke tempat, tiga dari mereka mencapai sungai Efrat. Setelah mendengar berita tentang amnesti, dua dari mereka berbalik kembali dan ditangkap dan dibunuh. Tetapi satu pangeran gagah berani, Abdur Rahman I, menceburkan dirinya ke sungai. Tak gentar oleh arus deras, ia berenang menyeberang dan setelah bertahun-tahun berjalan dalam penyamaran, ia tiba di Spanyol. Di sana, ia diterima dengan senang hati oleh sisa-sisa dari Umayyah dan mendirikan dinasti Umayyah di Andalusia. Inilah dinasti yang tumbuh pada abad kemudian menjadi mercusuar dari budaya dan ilmu di Eropa. Di bawah garis keturunan Abdur Rahman, Andalus menjadi sebuah mahkota perhiasan dari peradaban Islam.




Sumbangan dari Prof. Dr. Nazeer Ahmed, Phd.

Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com

Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com
Lintas Islam politik, sejarah
Tuesday, January 17, 2012

Umar bin Abdul Azis


Islam, berarti menyerah kepada kehendak Tuhan, adalah ide yang kekal. Muslim menyatakan bahwa itu adalah iman murni manusia, dianut oleh manusia yang pertama diciptakan, Adam dan Hawa dan dikonfirmasi oleh Rasul Allah, termasuk di antaranya, Nuh, Ibrahim, Musa, Yesus dan Muhammad. Islam memberikan tantangan bagi komunitas orang beriman untuk menciptakan masyarakat yang "memerintahkan apa yang benar, melarang apa yang salah dan beriman kepada Tuhan". Sejarah Islam adalah perjuangan abadi untuk memenuhi tantangan ini dalam matriks urusan manusia. Perjuangan ini terus menerus dan tanpa henti. Muslim selama berabad-abad telah berjuang untuk menemukan kembali sumber air dari mana Nabi minum. Korupsi yang muncul ke permukaan sejalan dengan waktu ditantang lagi dan lagi dan usaha badaniah telah dilakukan dalam memperbaharui iman. Oleh karena itu, gerakan pembaharuan dalam Islam menyediakan tolok ukur dari mana peristiwa sejarah berikutnya dapat diukur dan dipahami.

Umar bin Abdul Aziz, juga dikenal dalam sejarah sebagai Umar II, adalah Emir pembaharu pertama dalam sejarah Islam. Setelah Muawiyah, karakter Khilafah berubah dan pemerintahan dinasti didirikan. Korupsi dari Bani Umayyah mencapai puncaknya pada peristiwa Karbala. Para Bani Umayyah membangun istana yang mewah, mengelilingi diri mereka dengan pelayan dan pembantu, mengakumulasi perkebunan besar, memperlakukan perbendaharaan publik sebagai gudang harta rahasia mereka dan hidup bagai pangeran dan raja. Tidak ada akuntabilitas atas kekayaan mereka atau atas tindakan-tindakan mereka. Rakyat tidak diperbolehkan mengatakan sesuatu dalam urusan negara. Khalifah tidak dicalonkan tidak juga bisa dipertanyakan. Orang-orang ada di sana hanya untuk mematuhi orang kuat, membayar pajak dan mengabdi dalam angkatan bersenjata.

Umar bin Abdul Aziz menjadi Emir oleh suatu kebetulan dalam sejarah. Ketika Emir Umayyah Sulaiman (714-717) terbaring di ranjang kematiannya, ia disarankan bahwa ia bisa mencari keridhaan Allah dengan mengikuti contoh dari khalifah-kalifah awal dan mencalonkan seseorang selain dari salah satu anaknya sendiri sebagai Emir berikutnya. Karena itu ia mendiktekan dalam surat wasiatnya bahwa Umar bin Abdul Aziz, seorang sepupu jauh, untuk menggantikannya dan Umar bin Abdul Aziz akan diikuti oleh Yazid bin Abdul Malik. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang lelaki yang telah terpoles dan berpengalaman, setelah menjabat sebagai gubernur Mesir dan Madinah selama lebih dari dua puluh dua tahun. Dia telah dididik dan dilatih oleh seorang ulama terkenal pada masanya, Saleh bin Kaisan. Sebelum keterikatannya kepada kekhalifahan, Umar bin Abdul Aziz adalah seorang pemuda yang gagah, menyukai fashion dan wewangian. Tetapi ketika ia menerima tanggung jawab kekhalifahan, beliau terbukti menjadi khalifah yang paling saleh, paling mampu, berpandangan jauh dan paling bertanggung jawab dari semua Emir Umayyah.

Memang, Umar bin Abdul Aziz bekerja untuk mereformasi bangunan politik, keseluruhan sosial dan budaya masyarakat dan untuk membawa kembali nilai-nilai transendental yang telah memerintah negara Islam pada masa awal pertumbuhannya. Beliau memulai dengan menetapkan contoh yang baik pada dirinya sendiri. Ketika berita sampai kepadanya mengenai nominasi untuk kekhalifahan, beliau berbicara kepada orang-orang, "Wahai manusia! Tanggung jawab kekhalifahan telah dipercayakan kepadaku tanpa kehendakku atau persetujuan kalian. Jika kalian memilih untuk memilih orang lain sebagai khalifah, aku akan segera menyingkir dan akan mendukung keputusan kalian". Perkataan seperti itu memberikan nafas yang segar kepada publik. Mereka dengan suara bulat memilihnya.

Umar bin Abdul Aziz meninggalkan gaya hidup mewahnya dan mengambil kehidupan yang sangat asketis mengikuti contoh dari Abu Dzar Al Ghifari, seorang sahabat Nabi yang terkenal. Abu Dzar dikenal dalam sejarah sebagai salah satu dari para mistikus awal dan para Sufi dalam Islam yang pensiun dari kehidupan publik di Madinah selama periode Utsman RA dan tinggal di sebuah pertapaan agak jauh dari ibukota. Umar bin Abdul Aziz membuang semua perlengkapan kesombongan dari kehidupan seorang pangeran - pembantu-pembantu, budak-budak, pelayan-pelayan, kuda-kuda, istana-istana, jubah emas dan tanah-tanah perkebunan - dan mengembalikannya ke perbendaharaan negara. Keluarga dan kerabat diberikan perintah yang sama. Kebun Fidak merupakan contoh yang baik. Ini adalah rumpun pohon palem yang dimiliki oleh Nabi. Putri Nabi Fatimah telah meminta kebun ini sebagai pusakanya, tetapi Nabi menolak dan mengatakan bahwa apa yang dimiliki oleh Nabi adalah milik seluruh masyarakat. Fatimah telah mengajukan klaimya sebelumnya kepada Abu Bakar RA, tetapi Abu Bakar RA telah menolak permintaannya dan mengatakan bahwa ia tidak dapat menyetujui sesuatu yang Nabi tidak menyetujuinya. Setelah kekhalifahan Ali RA, Fidak telah dijadikan sebagai perkebunan pribadi Bani Umayyah. Umar mengembalikan Fidak ke perbendaharaan umum, sebagai kepercayaan bagi seluruh masyarakat.

Para Bani Umayyah tidak memiliki akuntabilitas ke perbendaharaan negara. Untuk mendukung gaya hidup mewah mereka, mereka menarik pajak yang besar dari Persia dan Mesir. Mereka memaksa para pedagang untuk menjual barang dagangan mereka pada harga diskon. Emir yang ditunjuk menerima hadiah emas dan perak sebagai imbalan atas bantuannya. Umar membalikkan proses itu. Umar menghapuskan praktek-praktek seperti itu, menghukum pejabat-pejabat yang korup dan menegakkan akuntabilitas yang ketat.

Beberapa pejabat Umayyah, yang mabuk dengan kekuasaan, menganiaya masyarakat yang ditaklukkan. Seringkali, harta mereka disita tanpa proses hukum. Bertentangan dengan perintah-perintah syariah, meskipun orang-orang di wilayah-wilayah baru telah memeluk agama Islam, mereka diharuskan untuk terus membayar Jizyah. Mereka yang menolak untuk membayar pajak dikenakan hukuman berat. Umar menghapuskan praktek-praktek tersebut dan menegakkan keadilan dalam pengumpulan pajak. Hilang sudah penindasan Hajjaj di Irak dan Qurrah bin Syarik di Mesir. Rakyat tanggap dengan dukungan antusias dari Khalifah baru. Produksi meningkat. Ibn Katsir mencatat bahwa berkat reformasi yang dilakukan oleh Umar, pendapatan tahunan dari Persia saja meningkat dari 28 juta dirham menjadi 124 juta dirham.

Mengikuti contoh Nabi, Umar bin Abdul Aziz mengirim utusan ke Cina dan Tibet, mengajak para penguasa mereka untuk memeluk Islam. Adalah selama masa Umar bin Abdul Aziz bahwa Islam mengakar dan diterima oleh segmen besar dari penduduk Persia dan Mesir. Ketika para pejabat mengeluhkan bahwa karena kepindahan ke agama Islam, pendapatan negara dari jizyah mengalami penurunan tajam, Umar mengirim surat jawaban mengatakan bahwa ia telah menerima kekhalifahan untuk mengajak orang ke dalam Islam dan bukan untuk menjadi seorang pemungut pajak. Masuknya orang-orang non-Arab dalam jumlah besar ke dalam agama Islam telah menggeser pusat gravitasi kerajaan dari Madinah dan Damaskus ke Persia dan Mesir. Seperti yang akan kita bahas di bab berikutnya, perkembangan ini memiliki konsekuensi jauh kemudian pada saat revolusi Abbasiyah (750) dan evolusi dari mazhab Fiqh (760-860).

Umar bin Abdul Aziz adalah seorang ulama kelas tinggi dan mengelilingi dirinya dengan ulama besar seperti Muhammad bin Ka'b dan Maimun bin Mehran. Dia memberikan tunjangan untuk guru dan mendorong pendidikan. Melalui contoh dirinya sendiri, ia menanamkan kesalehan, ketabahan, etika bisnis dan kejujuran moral pada masyarakat umum. Reformasinya termasuk penghapusan secara ketat minuman keras, melarang ketelanjangan di depan publik, penghapusan kamar mandi campur untuk pria dan wanita dan dispensasi yang adil atas Zakat. Beliau melakukan pekerjaan umum yang luas di Persia, Khurasan dan Afrika Utara, termasuk pembangunan kanal, jalan, rumah-rumah istirahat bagi wisatawan dan apotik medis.

Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah pertama yang membentuk komisi penerjemahan Al Quran dari bahasa Arab ke bahasa lain. Atas permintaan Raja Sindh (Pakistan modern), Umar bin Abdul Aziz menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam bahasa Sindhi kuno dan telah dikirimkan ke Raja (718 CE). Untuk menempatkan peristiwa ini dalam konteks sejarah, hal ini terjadi selama waktu sepuluh tahun penaklukan Sindh dan Multan oleh Muhammad bin Qasim dan penaklukan Spanyol oleh Tariq dan Musa.

Umar bin Abdul Aziz juga merupakan Emir pertama yang mencoba untuk melakukan rujuk atas perbedaan antara politik dan agama di kalangan umat Islam. Sejak saat Muawiyah, sudah menjadi adat bagi para khatib untuk menghina nama Abu Ali bin Thalib Kwh di dalam khotbah-khotbah Jumat. Umar bin Abdul Aziz menghapuskan praktek menjengkelkan ini dan menggantikannya dengan ayat berikut dari Qur'an yang harus dibaca sebagai gantinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (Al Qur'an, 16:90). Bagian ini masih dibacakan dalam khotbah Jumat di seluruh dunia. Beliau memperlakukan Bani Hasyim dan Syiah dengan keadilan dan martabat. Beliau bahkan mengulurkan tangan untuk kaum Khawarij. Menurut Ibnu Katsir, beliau menulis kepada pemimpin Khawarij Bostam, mengajaknya untuk berdiskusi terbuka tentang kekhalifahan Utsman RA dan Ali RA. Dia bertindak lebih jauh dengan menetapkan bahwa bila Bostam dapat meyakinkannya, Umar bersedia untuk bertobat dan mengubah cara hidupnya. Bostam mengirim dua utusan nya ke khalifah. Selama diskusi, salah satu utusan menerima bahwa Umar benar dan meninggalkan ekstremisme Khawarij. Yang lainnya tidak dapat diyakinkan. Meskipun demikian, Khalifah tidak menganiaya orang itu.

Umar bin Abdul Aziz adalah penguasa Muslim pertama yang mengganti wacananya dari penaklukan eksternal kepada kebangkitan internal. Dia memanggil pasukannya dari perbatasan-perbatasan Perancis, India dan pinggiran Konstantinopel. Ada sedikit pemberontakan internal dan gangguan selama kekhalifahannya. Islam sejenak memiliki cakrawala berpaling kepada jiwa sendiri, untuk merenungkan kondisi historisnya dan mengisi kekosongan moralnya. Iman berkembang, seperti pada periode Umar ibn al Khattab RA. Berdasarkan alasan-alasan ini, sejarawan merujuk Umar bin Abdul Aziz sebagai Umar II dan mengklasifikasikan beliau sebagai khalifah kelima yang mendapat petunjuk (Khulafa ur Rashidin - pen), setelah Abu Bakar RA, Umar RA, Utsman RA dan Ali RA.

Tetapi keserakahan tidak menyerah kepada iman tanpa pertempuran. Reformasi Umar II sudah terlalu banyak bagi para Bani Umayah yang tidak puas dan para pedagang kaya. Umar II diracuni dan ia meninggal pada tahun 719, setelah pemerintahan yang berlangsung hanya dua setengah tahun. Ia berusia tiga puluh sembilan tahun pada saat kematiannya. Dan bersamanya matilah kesempatan terakhir bagi kekuasaan Umayyah.





Disumbangkan oleh Prof. Dr. Nazeer Ahmed, PhD

Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com 

Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com
Lintas Islam politik, sejarah
Friday, January 13, 2012

Karbala: Isu Modern


Syeikh Abdul Aziz al Syeikh, mufti Saudi (Salafy-Wahaby), mengeluarkan pernyataan kontroversial seputar peristiwa Karbala seperti dalam video berikut ini:


Syekh Abdul Azis mengatakan, bahwa pemerintahan Yazid bin Muawiyah adalah sah (legitimate). Bai'at kepadanya adalah suatu kewajiban. Oleh karena itu sikap Hussain bin Ali yang tidak mau ber-bai'at kepada Yazid menurutnya adalah suatu kesalahan.

Pernyataan syeikh ini mendapat reaksi keras, terutama dari Syiah. Ayatollah Modaressi mempertanyakan: "Pemerintahan Fir'aun adalah sah, bai'at kepada Namrud adalah sah. Menentang pemerintahan Fir'aun adalah kekeliruan? Lalu apa dasar syeikh Abdul Azis menentukan sesuatu itu sesuai dengan hukum atau tidak?".

Berbagai pembelaan dan penentangan muncul terhadap pernyataan Syeikh Abdul Azis tersebut. Para pendukungnya berpendapat, bahwa Syeikh telah mengungkapkan fakta sebenarnya tentang Karbala. Sejarah Karbala versi Syiah adalah mitos. Para pendukungnya berpendapat bahwa walaupun keturunan Rasulullah, tidak berarti bahwa mereka semua bebas dari kesalahan (dosa). Mereka sama seperti manusia lainnya.

Sementara para penentangnya mengatakan bahwa ini adalah usaha lain dari berbagai usaha yang telah dilakukan oleh Wahaby untuk menjauhkan umat dari Rasulullah dan warisannya, seperti fatwa bahwa "Siapa yang tidak percaya bahwa orang tua Rasulullah kafir adalah kafir", "Hussain adalah manusia biasa, bila kalian baik, kalian akan sama dengan Hussain", dll. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dilakukan oleh Wahaby adalah justifikasi seperti yang dilakukan oleh Yazid mengenai haknya akan kekhalifahan. Seperti telah diketahui banyak orang, tugas menjaga Mekah dan melayani orang yang berziarah telah diambil alih oleh Wahaby. Padahal sejak jaman sebelum kedatangan Nabi SAW pun, penjagaan Mekah sudah menjadi hak dari keturunan Bani Hasyim. Dengan dalih untuk membersihkan Mekah dari syirik, Wahaby mengambil posisi tersebut dari Bani Hasyim.

Agama dan Politik, suatu hubungan yang sangat kompleks dalam sejarah Islam.... 

Di bawah ini adalah serial video mengenai kejadian Karbala yang dibawakan oleh Habib Ali Al Jufri. Terlepas dari polemik mengenai Karbala, ada nasihat (pada video kelima) yang sebaiknya lebih diperhatikan daripada isu politik. Habib Ali mengatakan, jika memang anda pecinta ahlulbait, ada yang ditinggalkan oleh mereka yaitu adab, akhlak, petunjuk, ilmu, shirah, dan muamalah. "Kalau mereka bermuamalah dengan jeleknya, perlihatkanlah kepada mereka cara para pecinta ahlulbait bermuamalat dengan penuh keihsanan. Kalaulah seseorang dari mereka menyakiti kalian, perlihatkanlah kalian melakukan ihsan terhadap sesiapa yang menyakiti kalian. Kalaulah mereka mencela kalian, tunjukkan bagaimana kalian memuji sesiapa yang mencela kalian. Kalau kalian melihat orang ramai mengingkari, tunjukkanlah kepada mereka belas kasihan dan kasih sayang".

Bila kalian mencintai ahlulbait, rindukanlah akan akhlak dan perjalanan hidupnya. Ali Zainal Abidin (Ali bin Hussain), ketika wafat, orang-orang melihat dua garis hitam di pipi dan di punggungnya. Orang-orang bertanya kepada khadamnya, mereka mengetahui dua garis hitam di kedua pipinya disebabkan oleh banyaknya Ali bin Hussain menangis kepada Allah ketika orang-orang telah terlelap dengan tidurnya. Tetapi apakah kedua garis hitam yang ada di punggungnya? Khadamnya menceritakan bahwa setiap malam, ketika orang-orang telah terlelap, Ali bin Hussain mengangkat karung makanan di punggungnya untuk dibagikan kepada 100 orang. Orang-orang bertanya mengapa khadamnya tidak membantu beliau mengangkat makanan tersebut? Khadamnya mengatakan, bahwa Ali bin Hussain melarangnya karena ia tidak akan sanggup menanggung dosa beliau di hari kiamat.

Akibat tekanan berat yang diterima oleh keluarganya dari penguasa Umayyah, Ali bin Hussain telah menjauhkan diri dari politik dan hanya melayani umat dalam masalah spiritiual. Tetapi tanpa kekuasaan, tanpa kekhalifahan, Ali bin Hussain masih memiliki kewajiban untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat. Beliau melakukannya dengan diam, bersembunyi dari popularitas. Dan merasa kewajiban yang tidak dapat ditunaikan oleh penguasa adalah menjadi kewajibannya pribadi.

Tetapi pilihan sikap non partisan dari Ali Zainal Abidin ini tidak menjadi satu-satunya pilihan sikap yang diteruskan oleh Bani Hasyim kemudian. Dinamika politik ahlulbait dalam sejarah Islam ini akan kita lihat kemudian di artikel-artikel berikutnya.









Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com

Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com
Lintas Islam politik, sejarah
Wednesday, January 11, 2012

Karbala


Karbala adalah nafas terakhir dari era keimanan. Sangat sedikit peristiwa sejarah telah membentuk bahasa, budaya, musik, politik dan sosiologi masyarakat Muslim, seperti Karbala. Bahasa seperti bahasa Swahili dan Urdu yang lahir seribu tahun setelah peristiwa itu menghubungkannya seolah-olah ia baru terjadi kemarin. Seorang pekerja di Kuala Lumpur bereaksi atasnya dengan kedekatan yang sama dengan orang awam di Lahore atau profesor di Chicago. Karbala adalah kata benda, kata sifat dan kata kerja sekaligus. Memang, Karbala menandai patokan dalam sejarah Islam dan pusat perputaran di sekitar mana dialektika internal di antara umat Islam berputar.

Sampai pembunuhan Ali bin Abu Thalib Kwh, isu suksesi Nabi telah diputuskan melalui musyawarah. Abu Bakar RA, Umar RA, Utsman RA dan Ali Kwh (Muslim merujuk mereka sebagai Khulafa ur Rashidun) mendapatkan legitimasi mereka dari persetujuan rakyat. Proses ini pada dasarnya demokratik. Abu Bakar as Siddiq RA secara khusus melarang pencalonan anaknya sendiri sebagai Khalifah setelahnya, sehingga menghindari pemerintahan dinasti. Umar bin Khattab RA, dalam keinginan terakhirnya, menominasikan suatu dewan enam sahabat yang paling dihormati untuk memilih penggantinya. Para sahabat menyadari perangkap suksesi dinasti dan keunggulan pemerintahan berdasarkan konsultasi dan persetujuan. Merekalah era keimanan. Misi dari empat khalifah pertama adalah terciptanya masyarakat yang adil, memerintahkan apa yang mulia, melarang apa yang jahat dan beriman kepada Tuhan. Dalam perjuangan ini, mereka menerima penderitaan yang luar biasa untuk memastikan bahwa keluarga mereka tidak mendapat keuntungan dari posisi istimewa mereka.

Muawiyah bin Abu Sufyan mengubah proses ini. Mengikuti saran dari Mughira bin Syoba, ia menominasikan putra tertuanya Yazid sebagai penggantinya. Ini merupakan tolok ukur sejarah. Pemerintahan dengan persetujuan membutuhkan akuntabilitas. Pemerintahan oleh orang kuat membutuhkan kekuasaan tanpa akuntabilitas. Pencalonan Yazid menghancurkan persyaratan untuk akuntabilitas. Setelah Muawiyah, sejarah Islam menghasilkan sultan dan kaisar, beberapa dari mereka murah hati, sebagian yang lain lalim. Beberapa orang menyatakan diri khalifah, yang lain akan minum bersama-sama dengan khalifah, menikahi putri mereka dan menawarkan mereka harta selangit sebagai hadiah, tetapi aturan mereka selalu aturan tentara. Transendensi aturan Tauhid dan akuntabilitas yang mengiringinya telah berakhir dengan pembunuhan Ali Kwh.

Muawiyah telah menyia-nyiakan waktu dalam memperluas cengkeramannya pada wilayah-wilayah yang sebelumnya dipegang oleh Ali bin Abu Thalib Kwh dan Hassan bin Ali. Irak dalam kekuasaan kepolisian Muawiyah, sehingga rakyat Irak tidak punya pilihan selain menerima penunjukan Yazid. Provinsi Hijaz (yang merupakan bagian dari Arab Saudi saat ini dan termasuk kota-kota Mekah dan Madinah) adalah masalah lain. Tokoh terhormat seperti Hussain bin Ali, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan Abdur Rahman bin Abu Bakar menentang ide dinasti sebagai bertentangan dengan Sunnah Nabi dan tradisi khalifah pertama. Untuk meyakinkan mereka, Muawiyah sendiri melakukan perjalanan ke Madinah. Pertemuan itu diadakan tetapi tidak ada pertemuan pemikiran. Tidak tergoyahkan oleh penolakan penentangnya ini, Muawiyah keluar dari pertemuan dan menyatakan bahwa lima orang tersebut telah setuju untuk mengambil sumpah kesetiaan (bai'at) kepada Yazid. Menurut Tabari dan Ibnu Asir, Muawiyah secara terbuka mengancam akan menggunakan kekuatan jika proposisi itu tidak disepakati. Para ammah (populasi umum) menyerah. Hanya kemudian ditemukan bahwa rumor bai'at dari "lima orang saleh" itu adalah sebuah tipuan.

Muawiyah meninggal segera sesudahnya (692) pada usia tujuh puluh delapan tahun dan Yazid mewarisi takhta Umayyah. Salah satu tindakan pertamanya adalah memerintahkan gubernur Madinah, Walid bin Uthba, untuk memaksa sumpah setia dari Abdullah bin Zubair dan Hussain bin Ali. Merasakan bahaya yang mengancam hidupnya, Abdullah bin Zubair meninggalkan Madinah ke Mekah dalam kegelapan malam dan berlindung di Ka'bah, di mana ia mungkin akan aman dari pasukan Yazid. Husain bin Ali berkonsultasi dengan saudaranya, Muhammad bin Hanafia dan berpindah pula ke Mekah.

Mereka para sahabat Nabi dan kaum muslimin lainnya, yang percaya bahwa Ali Kwh adalah khalifah yang sah setelah Nabi disebut Shi 'Aan e Ali (partai Ali Kwh, yang merupakan asal-usul dari Syiah. Istilah Sunni memiliki asal sejarah di kemudian hari). Seperti dicatat oleh Ibn Katsir dan Ibnu Khaldun, sahabat-sahabat ini tidak sepenuhnya puas ketika Abu Bakr RA terpilih sebagai khalifah. Namun, untuk mempertahankan kesatuan komunitas mereka mendukung dan melayani Abu Bakar RA, Umar RA dan Utsman RA. Ketika Hassan turun tahta mendukung Muawiyah, banyak di antara Shi 'Aan e Ali mundur dari politik. Sementara mempertahankan untuk tidak ada permusuhan melawan struktur kekuasaan - yang hampir selalu bermusuhan dengan mereka - mereka menerima kepemimpinan spiritual dari garis keturunan (zuriyah) Ali Kwh.

Kufah telah menjadi ibukota selama kekhalifahan Ali bin Abu Thalib Kwh dan anggota Shi 'Aan e Ali banyak di Irak. Husain bin Ali menerima surat terus-menerus dari tokoh Kufah yang mengundangnya ke Irak dan menerima kesetiaan (bai'at) mereka kepadanya sebagai khalifah. Sebagai langkah pertama, Hussain mengirim sepupunya Muslim bin Aqil  pada suatu misi pencarian fakta. Muslim bin Aqil tiba di Kufah dan tinggal di rumah seorang simpatisan, Hani. Para pendukung Hussain memadati tempat tinggal ini, sehingga Muslim mengirimkan surat ke Hussain mendorongnya untuk bermigrasi ke Kufah.

Sementara itu, Yazid mengirim Ubaidillah bin Ziyad, lebih dikenal sebagai Ibnu Ziyad, tukang jagal Karbala, untuk menangkap Muslim bin Aqil dan menghentikan pemberontakan yang baru muncul. Ibnu Ziyad tiba di Irak dan segera menyatakan bahwa mereka yang mendukung Yazid akan diberi hadiah dan mereka yang menentangnya akan mendapatkan kepala mereka dipotong. Keserakahan dan ketakutan akan pembalasan melakukan tipuan mereka. Orang-orang Kufah berbalik dan meninggalkan Muslim. Dia diserang dan dieksekusi oleh pasukan Ibnu Ziyad. Sebelum kematiannya, Muslim mengirim kabar kepada Hussain bahwa situasi di Kufah telah berubah dan bahwa ia harus meninggalkan ide bermigrasi ke sana. Pada saat itu, pasukan Ibnu Ziyad telah memotong komunikasi pendukung Husain, sehingga pesan kedua dari Muslim tidak pernah mencapai Hussain.

Tidak menyadari situasi lapangan di Kufah, Hussain mulai pindah dari Mekah ke Kufah pada tahun 680 dengan pendukungnya dan simpatisannya. Dalam perjalanan, berita tiba bahwa Muslim telah terbunuh. Menurut Ibnu Katsir, Hussain ingin kembali tetapi permintaan untuk qisas dari saudara-saudara Muslim mencegahnya. Dia menginformasikan perkembangan kepada rombongannya dan mendorong mereka yang ingin kembali untuk melakukannya. Semua kecuali yang sangat setia - sebagian besar adalah anggota keluarga Nabi - meninggalkannya.

Tanpa gentar, Hussain bin Ali bergerak maju dan dihentikan oleh sebuah resimen pasukan di bawah Amr bin Sa'ad di Karbala di tepi Sungai Efrat. Sebuah kebuntuan terjadi, negosiasi berlangsung dan Amr bin Sa'ad mengkomunikasikan ini ke Ibnu Ziyad di Kufah. Namun, Ibn Ziyad tidak akan memberikan penyerahan apa pun dan meminta bai'at (sumpah setia) secara eksplisit oleh Hussain kepada Yazid. Merasa bahwa Amr bin Sa'ad enggan untuk memulai permusuhan terhadap keluarga Nabi, Ibnu Ziyad memanggilnya dan menggantinya dengan Shimr Zil Jowhan. Shimr, seorang pria tanpa penyesalan moral, mengepung perkemahan Hussain dan memotong suplai air. Konfrontasi terakhir terjadi pada tanggal 10 Muharram. (Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Islam dan tanggal disebutkan di sini karena tanggal 10 Muharram telah menempati tempat khusus dalam sejarah Islam). Hussain, tentara Allah, yang telah minum dari bibir Nabi dan yang tidak tunduk kepada tirani Yazid, mengatur tujuh puluh dua orang dalam formasi perang, maju dan bertempur dengan pasukan kegelapan. Setiap pria ditebas dan pada akhirnya, cucu Nabi itu juga jatuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Kufah di mana Ibnu Ziyad memperlakukannya dengan cara yang paling keji dan mengaraknya melalui jalan-jalan. Para wanita dan anak-anak yang bertahan hidup dalam rombongan Husain diantar dengan selamat kembali ke Madinah oleh beberapa simpatisan mereka. Ini adalah tahun 680.

Air mata Muslim lebih banyak ditumpahkan bagi darah Husain bin Ali daripada martir lainnya dalam sejarah Islam. Kesyahidan Husain menyediakan Islam dengan suatu paradigma akan perjuangan dan pengorbanan tanpa pamrih. Selama ratusan tahun, generasi-generasi akan membangkitkan, menyerukan nama Husain bin Ali, untuk menegakkan keadilan dan melawan tirani. Bagi beberapa Muslim, ini adalah saat yang menentukan dalam sejarah Islam.

Husain berdiri di atas iman dan prinsip dalam menghadapi tirani dan penindasan. Dalam diri Hussain, iman dijunjung tinggi melawan ketajaman pedang sang tiran. Hussain adalah perwujudan dari ajaran Alquran bahwa manusia dilahirkan dalam kebebasan dan tunduk hanya kepada keagungan Ilahi. Kebebasan adalah kepercayaan yang diberikan kepada semua pria dan wanita oleh Sang Pencipta; ia tidak akan diserahkan kepada penindasan manusia semata.

Karbala memberikan arti baru terhadap istilah perjuangan. Manusia harus berusaha dengan kesabaran dan keteguhan dalam menghadapi kesulitan ekstrim. Kenyamanan dan keselamatan tidak menjadi halangan dalam perjuangan yang lebih tinggi untuk mendapatkan balasan akhirat. Hussain tidak menyerah dalam perjuangan meskipun ia ditinggalkan oleh banyak orang yang telah menawarkannya dukungan. Dia tidak menyerah saat menghadapi rintangan yang tidak dapat diatasi.

Sejarah adalah seorang pencemburu dan menuntut pengikut. Lagi dan lagi, ia menuntut pengorbanan terakhir dari orang yang beriman, sehingga iman dapat memperbaharui dirinya. Karbala adalah pembaharuan atas iman. Islam mendapatkan dorongan abadi dari pengorbanan Husain bin Ali. Iman telah menang bahkan pada saat ditaklukkan oleh pedang.

Sebelum Karbala, Shi 'Aan e Ali adalah suatu gerakan keagamaan. Setelah Karbala, ia telah menjadi gerakan keagamaan maupun politik. Sebagaimana akan kita lihat di bab berikutnya, gema Karbala terdengar lagi dan lagi sepanjang sejarah Islam dan menanamkannya suatu momentum arah yang tetap ada bahkan dalam urusan kontemporer.

Begitu besar kejutan dari kemartiran Husain, bahwa Yazid bahkan berusaha untuk menjauhkan diri dari tragedi tersebut. Ibnu Katsir melaporkan bahwa ketika ia mendengar tentang peristiwa Karbala, Yazid menangis dengan sedihnya dan mengutuk tindakan Ibnu Ziyad. Tetapi ketika kita melihat jumlah total dari tindakan-tindakan Yazid dan karakter pribadinya, itu tidak lain adalah air mata buaya dari seorang tiran.





Disumbangkan oleh Prof. Dr. Nazeer Ahmed, PhD

Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com

Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com
Lintas Islam politik, sejarah
Monday, January 9, 2012

Muawiyah


Ringkasan: Perang saudara menandai perpecahan dalam sejarah Islam. Tirai Khulafaur Rashidun (khalifah yang diberi petunjuk)  telah tertutup Sektarianisme Syiah-Sunni, yang berjalan seperti garis patahan raksasa di seluruh sejarah Islam, muncul. Perbatasan antara Persia dan Suriah  mengeras di Sungai Efrat. Ketegangan melahirkan kaum Khawarij dan cap mereka adalah ekstremisme. Untuk alasan ini, sejarawan Muslim merujuk pada perang saudara sebagai "fitnatul kabir" (fitnah besar).

Dengan pembunuhan Ali bin Abu Thalib Kwh, tirai era keimanan dalam sejarah Islam telah tertutup. Nabi mendirikan sebuah peradaban dimana keimanan berada pada posisi tertinggi. Abu Bakar RA, Umar RA, Utsman RA dan Ali Kwh berusaha untuk membangun peradaban di atas dasar yang telah diletakkan oleh Nabi. Belum pernah ada suatu waktu dalam sejarah berikutnya seperti apa yang pernah ada dalam empat puluh tahun pertama setelah Hijriah. Untuk sejenak, iman dalam transendensi Allah memerintah lebih tinggi daripada pisau prajurit dan kekayaan pedagang. Madinah telah dikenal sebagai ibukota kekaisaran terbesar dunia, tetapi para penguasa berjalan di atas bumi seperti seorang pengemis, dengan rasa takut akan Allah di dalam hati mereka dan visi akhirat dalam jiwa mereka.

Bahkan ketika iman Islam telah menyebar ke seluruh benua besar Asia dan Afrika, ia ditantang oleh kekuatan kekayaan. Harta melimpah Persia, terakumulasi selama berabad-abad dari kekuasaan kekaisaran, menawarkan godaan yang beberapa orang Arab tidak kuat menahannya. Perjuangan antara iman dan kekayaan muncul selama periode Utsman RA dan memakan kekhalifahan itu. Ali Kwh mengobarkan pertempuran yang berani untuk memadamkan api dari keserakahan dan kekuasaan, tetapi api itu memakan beliau juga. Dan dari abu api, muncul pemerintahan dinasti Bani Umayyah.

Emir Muawiyah adalah raja-tentara yang pertama  dalam sejarah Islam. Dengannya, tubuh politik Islam mulai memasuki kekuasaan pemerintahan dinasti. Pola yang didirikan olehmya bertahan sampai abad ke-18 ketika saudagar Eropa menggantikan raja-raja tentara Muslim di Asia dan Afrika. Seorang prajurit yang luar biasa, seorang politisi yang cerdas dan administrator yang cakap, Muawiyah melawan Ali Kwh dan menyatakan dirinya sebagai Khalifah di tahun 658. Begitu Ali Kwh dibunuh (661) Muawiyah membuat persiapan untuk menyerang Mekah, Madinah dan Irak. Hassan bin Ali telah terpilih sebagai Khalifah di Kufah dan ia berbaris maju dengan kekuatan 12.000 orang Irak untuk menghadapi Muawiyah. Tetapi  orang-orang Irak terbukti sebagai sekutu yang tidak dapat diandalkan dan desersi sebelum pertempuran dimulai. Pada Perjanjian Madayen (661), Hassan menyerahkan kekhalifahan mendukung Muawiyah sebagai imbalan atas amnesti umum dan gaji tahunan 200.000 dirham. Dia pensiun ke Madinah untuk tinggal di sana sebagai guru besar dan imam. Pelepasan ini mengakhiri fase pertama dari perang sipil yang dimulai dengan pembunuhan Utsman RA. Hal ini juga mengkonsolidasikan kekuatan Muawiyah atas semua wilayah muslim.

Dengan Perjanjian Madayen, kekuasaan jatuh dari Bani Hasyim Quraish ke Bani Umayyah, cabang lain dari Quraisy. Dalam masa pra-Islam, Bani Hasyim adalah penjaga Ka'bah sedangkan Bani Umayyah adalah saudagar kaya dan bertanggung jawab atas pertahanan Mekkah. Dalam bahasa modern, Bani Hasyim menjadi imam, sedangkan Bani Umayyah adalah pedagang dan tentara. Anggota terkemuka dari Bani Umayyah (seperti Abu Sufyan) sangat menentang misi Nabi pada masa-masa awal Islam tetapi memeluk Islam setelah penaklukan Mekkah (628). Nabi telah berusaha untuk mengikat bersama kedua suku di bawah transendensi Islam. Kesatuan yang baru berhasil selamat melalui kekhalifahan Abu Bakar RA dan Umar RA. Tetapi dengan kekhalifahan Utsman RA, yang merupakan seorang Bani Umayyah, persaingan lama muncul kembali. Seperti yang telah kita tunjukkan, anggota-anggota tertentu dari Bani Umayyah telah mengambil keuntungan dari sifat saleh dan ketidaktegasan Utsman RA dan tumbuh sangat kaya. Perkembangan ini membuka peluang Utsman RA untuk menerima tuduhan favoritisme dan akhirnya menyebabkan pembunuhannya. Dalam kekacauan berikutnya, Ali Kwh telah dinominasikan khalifah, tetapi Muawiyah yang merupakan seorang Umayyah, menuntut qisas untuk darah Utsman sebelum ia menerima kekhalifahan Ali Kwh. Ali Kwh secara politis terlalu lemah untuk melakukan ini dan Muawiyah dengan tangkas mengeksploitasi kelemahan ini untuk menghasut Suriah melawan Ali Kwh dan berperang melawan beliau (Perang Siffin).

Sejarah mengulang dirinya sendirinya. Perpecahan di antara umat manusia berdasarkan suku, bangsa dan ras muncul lagi dan lagi. Bani Umayyah, yang merupakan pedagang dan tentara di era pra-Islam, menerima manfaat yang sangat besar dari emas yang ditaklukkan dari Persia. Bani Hasyim, di sisi lain, berusaha untuk menjaga komunitas Islam yang berfokus pada kesederhanaan Islam. Khalifah ketiga Utsman RA adalah seorang Umayyah yang saleh, pemalu, pria berusia lanjut yang lamban. Kekuatan kekayaan menunjukkan dirinya pada masanya dan mereka yang berada dalam posisi untuk mengeksploitasi kekayaan, yaitu kelas tentara-pedagang Bani Umayyah, melakukannya. Ketika Ali Kwh, Bani Hasyim yang mencoba untuk mengarahkan aliran sejarah kepada kemurnian Islam, iman bertabrakan dengan keserakahan; terjadi perang saudara antara Bani Umayyah dengan Bani Hasyim. Tahap pertama dari perang saudara berakhir dengan kemenangan tentara-pedagang dan pengingkaran atas aturan iman. Sebuah era berakhir dan era baru dimulai.

Perang saudara juga melahirkan kaum Khawarij. Seperti yang telah kita tunjukkan, mereka adalah orang-orang tidak puas yang berjalan keluar dari kamp Ali Kwh ketika beliau menerima arbitrase dengan Muawiyah. Posisi mereka, meskipun ia ditulis dalam istilah demokrasi, adalah ekstremis. Mereka berusaha untuk membenarkan posisi sesat mereka bahwa Ali Kwh telah membahayakan imannya. Mereka juga berpendapat bahwa kekhalifahan harus terbuka untuk setiap muslim yang mampu, bukan hanya Quraish. Metode mereka berdarah dan mereka membiarkan secara longgar pemerintahan teror tanpa ampun, tanpa pandang bulu membunuh pria, wanita dan anak-anak. Ali Kwh dan Muawiyah berperang melawan mereka. Meskipun dikalahkan pada waktu itu, kaum Khawarij muncul kembali dalam sejarah Islam sebagai kelompok bandel selama lima ratus tahun. Pada abad ke-14, mereka menghentikan cara-cara kekerasan mereka dan menetap di Afrika Utara. Beberapa sejarawan  besar, di antaranya Ibnu Batuta yang bepergian melintasi Afrika Utara pada tahun 1330-1334, menghubungkan mereka dengan Ibadis yang dikenal atas puisi taat mereka dalam memuji Nabi.

Perang saudara telah menunda ledakan kemajuan dari tentara Muslim. Dengan berhentinya perang saudara, kemajuan dimulai kembali. Muhlab bin Abi Safra merebut daerah perbatasan Pakistan modern. Utsman bin Said merebut Samarqand dan Bukhara di Asia Tengah. Uqba bin Nafi melintas menyeberangi Afrika Utara ke Samudera Atlantik. Inilah jenderal yang terkenal, yang setelah mencapai laut mendesak kudanya ke depan sampai tidak bisa maju lebih jauh lagi dan kemudian berbalik ke arah langit menyatakan: "Ya Allah! Bila samudera ini tidak menggangguku, aku akan mencapai sudut terjauh dari bumi untuk memuji Nama-Mu ". Seruan ini tertanam di dalam inti motivasi dari penaklukan-penaklukan Muslim awal. Iman adalah kekuatan pendorong yang memberikan momentum ini. Islam telah mengajarkan umat Islam bahwa manusia dilahirkan dalam kebebasan dan bahwa manusia harus tunduk di hadapan Allah dan tidak ada yang lain. Perjuangan kaum Muslim awal adalah mendirikan tatanan dunia di mana hanya nama Allah yang dipuji dan laki-laki dan perempuan dibebaskan dari perbudakan kepada dewa-dewa palsu atau tiran yang bertindak seolah-olah mereka adalah dewa-dewa.

Pencapaian yang paling mengesankan dari Amir Muawiyah adalah membangun angkatan laut yang kuat untuk membebaskan cengkeraman Kekaisaran Bizantium di Mediterania timur. Sebuah angkatan laut dibangun dan Jandab bin Abi Umayyah diangkat sebagai Amirul Bahr, sumber dari kata Inggris Admiral. Rhodes dan pulau-pulau lainnya di Mediterania timur direbut dan pada tahun 671, Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Bizantium, dikepung. Pengepungan berlangsung selama beberapa bulan. Pertahanan Bizantium kuat dan orang-orang Yunani berpengalaman dalam penggunaan nafta ("api Yunani"), asal dari napalm modern. Ketika pengepungan berkepanjangan, ada wabah kolera di kapal dan Muslim harus menghentikan pertempuran. Selama pengepungan ini seorang sahabat Nabi, Abu Ayyub Anshari wafat dan dikuburkan di bawah benteng Fort Konstantinopel. Terletak di Istanbul modern, makam Abu Ayyub adalah salah satu atraksi utama dari kota yang indah itu.

Emir Muawiya adalah seorang prajurit dan dia memberikan perhatian khusus untuk angkatan bersenjata. Dia mendorong inovasi dalam teknologi militer. Pada masa pemerintahan Muawiyah, insinyur muslim menemukan "Minjenique" (mesin) untuk mendorong batu besar ke benteng musuh. Dia memodernisasikan angkatan bersenjata, memperkenalkan unit khusus untuk peperangan di gurun dan medan bersalju. Benteng baru dibangun. Muawiyah adalah penguasa pertama yang mencetak koin dengan tulisan Arab, menggantikan koin Bizantium dan Persia, sehingga dengan demikian menegaskan kembali kemerdekaan fiskal dari negara Muslim. Kota Kairouan didirikan di Maghrib. Pencatatan administratif disistematisasi. Kanal tua digali kembali dan yang baru dibuat. Angkatan kepolisian diperkuat dan sistem pos, yang dibuat oleh Umar ibn al Khattab RA untuk kebutuhan militer, sekarang dibuka untuk umum.

Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang sahabat Nabi dan pada beberapa kesempatan Nabi menggunakan jasanya sebagai juru tulis Al-Qur'an. Dalam kapasitas ini ia dihormati oleh semua umat Islam. Adalah perannya sebagai tokoh sejarah di mana perbedaan muncul. Sementara prestasinya patut dicatat, ia juga dikenal sebagai Emir yang merestui kutukan terhadap Ali bin Abi Thalib Kwh di depan umum, praktek yang ditinggalkan lima puluh tahun kemudian oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (719). Sangat disesalkan, Muawiyah memaksakan anak tirannya Yazid kepada sejarah Islam.



Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com

Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com
Lintas Islam politik, sejarah
Thursday, January 5, 2012

Ali bin Abi Thalib Kwh


Di antara sekian banyak sahabat Nabi, hanya Ali bin Abi Thalib-lah yang diberikan sebutan karamallahu wajhah; sebuah sebutan yang juga berarti doa “Semoga Allah memuliakan wajahnya” atau “Allah telah memuliakan wajahnya.” Semua ulama sepakat bahwa doa itu hanya dikhususkan untuk Imam Ali saja seperti halnya sebutan shalallahu ‘alaihi wa alihi wassalam untuk Nabi Muhammad.

Ada beberapa riwayat yang menjelaskan hal ini. Salah satu riwayat di antaranya menjelaskan alasan tentang doa itu. Pertama, di antara semua sahabat Nabi saw, hanya Ali bin Abi Thalib yang tidak pernah menyembah berhala. Dia masuk Islam dalam usia yang masih kecil sehingga tak sempat beribadat kepada berhala. Artinya, wajahnya tak pernah disujudkan kepada berhala. Ali kecil langsung sujud kepada Allah swt.

Alasan kedua, Imam Ali adalah orang yang dikenal tak pernah melihat aurat, baik aurat dirinya sendiri maupun aurat orang lain. Konon, dalam sebuah pertemuan di Shiffin, pasukan Imam Ali bertemu dengan pasukan Muawiyah. Sebelum perang berkecamuk, biasanya diadakan mubarazah atau duel antara dua orang yang mewakili pasukan yang akan bertempur. Imam Ali menantang Muawiyah ber-mubarazah namun Muawiyah tak berani dan Amr bin Ash menggantikannya. Dalam duel itu, Amr terdesak dan mengalami kekalahan. Ketika Imam Ali hendak memukulkan pedangnya ke kepala Amr, Amr lalu membuka auratnya sehingga Imam Ali segera berbalik memalingkan wajahnya dan meninggalkan Amr. Karena Imam Ali tak mau melihat aurat, selamatlah Amr.

Semasa hidupnya, Imam Ali dikenal sebagai seorang pria yang gagah dan tampan. Banyak hadis yang meriwayatkan Imam Ali memiliki kepala yang agak botak sehingga orang yang tak senang pada Imam Ali memberikan julukan ashla yang berarti “Si Botak”. Umar bin Khattab pernah berkata, “Sekiranya tak ada si ashla, celakalah Umar!”

Ketika banyak sahabat lain mengecam Imam Ali dengan memberikan julukan ashla, Rasulullah saw berkata, “Janganlah kalian mengecam Ali karena ia sudah tenggelam dalam kecintaan kepada Allah.”

Imam Ali sering menjadi fana atau larut dalam kecintaannya kepada Allah. Pernah suatu hari, Abu Darda menemukan Ali terbujur kaku di atas tanah seperti sebongkah kayu di sebuah kebun kurma milik seorang penduduk Mekkah. Dengan tergopoh-gopoh, Abu Darda mendatangi Fathimah untuk berbelasungkawa, karena ia mengira Ali telah meninggal dunia. Fathimah hanya berkata, “Sepupuku, Ali, tidak mati melainkan ia pingsan karena fana dalam ketakutannya kepada Allah. Ketahuilah, kejadian itu sering menimpanya.”

Bagi Imam Ali, shalat juga tidak merupakan peristiwa biasa. Baginya, shalat adalah pertemuan agung dengan Allah swt. Imam Al-Ghazali mengisahkan hal ini dalam kitab Ihya Ulumuddin: Suatu hari, menjelang waktu shalat, seorang sahabat menemukan Imam Ali dalam keadaan tubuh yang berguncang dan wajah yang pucat pasi. Ia bertanya, “Apa yang telah terjadi, wahai Amirul Mukminin?” Imam Ali menjawab, “Telah datang waktu shalat. Inilah amanat yang pernah diberikan Allah kepada langit, bumi, dan gunung tetapi mereka menolak untuk memikulnya dan berguncang dahsyat karenanya. Sekarang, aku harus memikulnya.” Dengan sikapnya itu, Imam Ali ingin mengajarkan sahabatnya bahwa shalat bukanlah kejadian biasa. Shalat adalah amanat yang di dalamnya mengandung perjanjian mulia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Alangkah anehnya bila kita masih belum merasakan kekhusyukan itu di dalam shalat kita. Tuhan berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang mukmin itu; yaitu mereka yang khusyuk di dalam shalatnya.” (QS. Al-Mukminun; 1)

Imam Ali juga dikenal karena shalatnya yang khusyuk. Banyak sahabat yang memuji shalat Ali sebagai salat yang mirip dengan shalat Rasulullah saw. Puluhan tahun sejak kematian Rasulullah, seorang sahabat bernama ‘Umran bin Husain, salat di belakang Imam Ali di Basrah. ‘Umran berkata, “Lelaki itu mengingatkan aku pada shalat yang dilakukan Rasulullah saw.” ‘Umran terkesan akan shalat Ali bukan karena gerakan-gerakan lahiriahnya melainkan karena kekhusyukannya.

Ibn Abi Al-Hadid, seorang tokoh Muktazilah, bercerita tentang ibadat Imam Ali. Ia menyebutkan Ali sebagai orang yang paling taat beribadat dan yang paling banyak shalat dan puasanya sehingga dari Ali-lah orang banyak belajar tentang shalat malam. Selain itu, Ali senantiasa melazimkan wirid dan menunaikan ibadat-ibadat nafilah. “Dalam Perang Shiffin,” Al-Hadid bercerita, “di tengah-tengah perang yang berkecamuk, Ali masih mendirikan shalat. Sesudah shalat, ia membaca wirid. Dalam kesibukan perangnya, ia tak meninggalkan wiridnya padahal anak panah melintas di antara kedua belah tangan dan di antara kedua daun telinganya.”

Banyak hadis meriwayatkan kehidupan Imam Ali yang teramat sederhana. Ali bekerja keras membanting tulang untuk nafkah keluarganya. Istrinya, Fathimah, setiap hari menggiling gandum sampai melepuh tangannya. Suatu saat, setelah memenangkan sebuah peperangan, kaum muslimin memiliki banyak tawanan perang. Fathimah berkata kepada Ali, “Bagaimana jika kita meminta salah seorang tawanan kepada Rasulullah untuk menjadi pembantu kita?” Imam Ali enggan menyampaikan permohonan ini kepada Rasulullah karena merasa sangat malu. Ia meminta Fathimahlah yang memintakan hal itu.

Pergilah Fathimah menemui Rasulullah saw. Begitu ia berada di hadapan Nabi yang mulia, Fathimah tak kuasa menyampaikan maksudnya. Ia pulang lagi ke rumahnya. Imam Ali lalu pergi untuk menyampaikan hal itu dan ia pun tak kuasa mengutarakan keinginan itu dan kembali lagi. Akhirnya keduanya memutuskan untuk pergi bersama-sama ke tempat Rasulullah. Disampaikanlah hajat itu, tetapi Rasulullah tak menjawab permintaan mereka. Keduanya pulang dengan perasaan malu dan takut akan kemurkaan Rasulullah.

Malam harinya Nabi datang ke rumah Ali. Nabi menyaksikan Ali hanya berselimutkan sarung yang amat pendek padahal malam teramat dingin. Jika selimut itu ditarik ke atas, terbukalah bagian bawah dan jika selimut itu ditarik ke bawah, terbukalah bagian atas. Rasulullah terharu melihat kesederhanaan Ali. Ia berkata kepada keluarga mulia itu, “Maukah kalian aku berikan pembantu yang lebih baik dari seluruh isi langit dan bumi?”

Rasulullah SAW kemudian memberikan wirid untuk dibacakan oleh keluarganya itu seusai shalat. Wirid itu berisi 33 kali tasbih, tahmid, dan takbir. Begitu setianya Imam Ali dengan wiridnya itu, ia tak pernah meninggalkannya bahkan saat perang sekali pun. Ia melazimkannya dalam setiap keadaan.

Di masa kekuasaan Muawiyah, karena kebencian Muawiyah pada Imam Ali, para khatib Jumat diperintahkan untuk mengakhiri setiap khutbahnya dengan kecaman kepada Ali. Cacian dan makian ini berlangsung selama hampir puluhan tahun. Ketika Umar bin abdul Aziz berkuasa, perintah ini dihapuskan. Namun meskipun Muawiyah begitu membenci Ali, ia harus mengakui keutamaan sifat-sifat Ali.

Suatu saat, Darar bin Dhamrah Al-Khazani diminta Muawiyah untuk bercerita tentang Imam Ali kwh. Ia tak mau memenuhi permintaan itu. Ia takut, bila ia menceritakan keadaan Ali apa adanya, ia akan dianggap sebagai orang yang mengutamakan Ali, dan ia akan dihukum. Oleh sebab itu Darar hanya berkata, “Ampunilah aku, wahai Amirul Mukminin! Jangan perintahkan aku untuk mengungkapkan hal itu. Perintahkan aku untuk melakukan hal lain saja.” “Tidak,” ujar Muawiyah, “aku takkan mengampunimu.”

Akhirnya Darar bercerita tentang Ali dalam bahasa Arab yang teramat indah. Terjemahannya sebagai berikut:

“Ali adalah seorang yang cerdik cendekia dan gagah perkasa. Ia berbicara dengan jernih dan menghukum dengan adil. Ilmu memancar dari kedalaman dirinya dan hikmah keluar dari sela-sela ucapannya. Ia mengasingkan diri dari dunia dengan segala keindahannya untuk kemudian bertemankan malam dengan seluruh kegelapannya, di sisi Allah. Air matanya senantiasa mengalir dan hatinya selalu tenggelam dalam pikiran. Ia sering membolak-balikkan tangannya dan berdialog dengan dirinya. Ia senang dengan pakaian yang sederhana dan makanan yang keras.”

“Demi Allah, ia dekat kepada kami dan kami senang berdekatan dengannya. Ia menjawab bila kami bertanya. Namun betapa pun ia dekat dengan kami, kami tak sanggup menegurnya karena kewibawaannya. Jika tersenyum, giginya tampak bagai untaian mutiara. Ia memuliakan para ahli agama dan mencintai orang miskin. Orang kuat tak berdaya di hadapannya karena keadilannya sementara orang yang lemah tak putus asa di sisinya.”

“Aku bersaksi demi Allah, aku sering melihatnya berada di mihrab pada sebagian tempat ibadatnya. Malam telah menurunkan tirainya dan gemintang tak tenggelam, saat itu ia memegang janggutnya dan merintih dengan rintihan orang yang sakit. Ia menangis dengan tangisan orang yang menderita. Seakan-akan kudengar jeritannya Ya Rabbana, ya Rabbana…..”

“Ia menggigil di hadapan kekasihnya. Kepada dunia, ia berkata: Kepadaku kau datang mencumbu. Kepadaku kau merayu. Enyahlah dan pergi! Tipulah orang selain aku. Aku telah menjatuhkan talak tiga kepadamu. Usiamu pendek, posisimu rendah. Betapa sedikitnya bekal dan betapa jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya perantauan.”

Muawiyah mendengar Darar yang bercerita dengan penuh perasaan. Meskipun ia amat membenci Ali, tetapi ia tak kuasa menahan tangisan begitu mendengar penuturan Darar. Pada kesempatan lain, Darar pernah ditanya, “Bagaimana kerinduanmu kepada Ali?” Darar menjawab, “Aku rindu kepadanya seperti kerinduan seorang perempuan yang kekasihnya disembelih di pangkuannya. Air matanya takkan pernah kering, dukanya panjang dan takkan pernah usai.”

Imam Ali selalu mengisi malamnya dengan tangisan dan orang-orang yang mengenalnya akan mengisi kisah Ali dengan tangisan pula.

Dalam tasawuf, menangis termasuk salah satu hal yang harus dilatih. Imam Ali berkata, “Salah satu ciri orang yang celaka adalah ia yang memiliki hati yang keras. Dan ciri hati yang keras adalah hati yang sukar menangis.” Nabi saw bersabda, “Jika engkau membaca Al-Quran, menangislah. Jika tidak bisa, berusahalah agar engkau menangis.”

Pada salah satu doanya yang teramat indah, Imam Ali memohon:

“Tuhanku, berilah daku kesempurnaan ikatan kepada-Mu. Sinarilah bashirah hati kami dengan cahaya karena melihat-Mu sehingga kalbu kami menorehkan tirai cahaya dan sampailah ia pada sumber kebesaran; arwah kami terikat pada keagungan kesucian-Mu. Air mata tidak mengering kecuali karena hati yang keras dan hati takkan keras kecuali karena banyaknya doa.”






Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com

Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com
Lintas Islam sejarah
Monday, January 2, 2012

Perang Saudara


Ketika peradaban melanjutkan kemajuannya didukung oleh iman dan pengetahuan, ia terperangkap dan dihancurkan oleh kebodohan dan keserakahan. Bahkan ketika tentara Muslim terus maju menuju perbatasan India, Cina dan Samudera Atlantik, benih dari keserakahan dan nepotisme sedang ditaburkan di jantung Islam. Ghanimah dari Persia sangat besar. Jumlah tak terhitung dari emas, perak dan perhiasan dibawa dari Persia dan diangkut ke Madinah. Diriwayatkan bahwa Umar RA gelisah ketika kekayaan Persia dihadapkan kepadanya. "Ketika Allah memberikan kekayaan untuk suatu bangsa", katanya, "iri dan cemburu tumbuh dalam diri mereka dan akibatnya permusuhan dan ketidakadilan muncul dalam tingkatannya masing-masing". Dengan wawasan ruhani mereka, para sahabat telah meramalkan apa yang akan dilakukan kekayaan ini terhadap karakter orang-orang mereka. Mereka menentang pengumpulan kekayaan yang akan menjauhkan mereka dari misi spiritual Islam. Sebagai contoh, salah satu item ghanimah dari Persia adalah karpet indah yang disebut "farsh-e-bahar" (karpet musim semi). Ia adalah milik penguasa Persia dan begitu besar sehingga bisa menampung seribu tamu di pesta-pesta minum mereka. Beberapa orang di Madinah ingin memilikinya. Ali bin Abu Thalib Kwh bersikeras bahwa karpet itu disobek. Saran Ali Kwh diterima dan karpet disobek.

Umar RA melihat bahwa baitul mal tidak boleh menjadi tempat untuk penimbunan emas dan perak. Permata dan perhiasan dijual dan hasilnya didistribusikan sehingga semua orang diuntungkan. Modal dalam sirkulasi tumbuh dan perdagangan berkembang. Sejarah mencatat bahwa ketika Umar bin Khattab RA dibunuh, ada ransum dalam baitul mal yang hanya cukup untuk memberi makan sepuluh orang. Ketegasan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan untuk mengelola kekayaan dari luar hilang tiba-tiba dengan wafatnya Umar RA. Dalam sepuluh tahun kematiannya, masyarakat Islam berselisih dan berada di tengah-tengah perang sipil skala penuh.

Setelah iman, kekayaan adalah mesin yang paling penting dalam membangun sebuah peradaban. Kekayaan yang diinvestasikan dan dikelola dengan benar, sebagai energi surplus dari usaha manusia, mendorong penemuan dan kemajuan peradaban. Ketika ia ditimbun, ia akan mengarah ke kontraksi ekonomi, melahirkan kecemburuan, mendorong intrik, keserakahan, pertikaian dan akhirnya menghancurkan peradaban.

Kita menemukan bahwa asal-usul dari perang saudara adalah emas dari Persia. Selama tokoh besar Umar RA masih ada, tekanan yang mengiringi kekayaan mendadak masih dapat dikontrol. Umar RA mengelola negara dengan keadilan, ketegasan dan kesetaraan. Indikasi kecil dari nepotisme segera dihukum. Membesarkan diri tidak berani dilakukan di depan publik. Bahkan seorang jenderal populer dan sukses seperti Khalid bin Walid tidak luput dari hukuman ketika ditemukan bahwa ia telah membayar seorang penyair untuk sebuah lirik yang memuji dirinya sendiri (meskipun Khalid kemudian dibebaskan saat dipastikan bahwa dia telah membayar dengan uang dari kantongnya sendiri).

Ketika ia terbaring di ranjang kematiannya, Umar RA menunjuk sebuah komite enam orang untuk memilih penggantinya dengan instruksi eksplisit bahwa mereka tidak boleh memilih putranya sendiri, Abdullah bin Umar RA, atau untuk mencalonkan diri mereka sendiri. Komite terdiri dari Ali bin Abu Thalib Kwh, Utsman bin Affan RA, Zubair bin  al Awwam, Thalhah bin Ubaidallah, Sa'ad bin Waqqas dan Abdur Rahman bin Aus. Abdur Rahman bin Aus diberi tanggung jawab dalam mengumpulkan aspirasi dari masyarakat mengenai masalah suksesi. Ia melakukannya dan menemukan bahwa ada dukungan yang luas untuk Ali Kwh dan Utsman RA. Sebelum pertemuan besar di masjid Nabi, pertanyaan diajukan kepada dua kandidat: "Apakah engkau akan melaksanakan tanggung jawab dari kantor ini sesuai dengan perintah Allah, Rasul-Nya dan contoh dari dua Syaikh (Abu Bakar RA dan Umar RA)?"Ali Kwh diberikan kesempatan pertama. Beliau menjawab bahwa ia akan menjalankan kantor sesuai dengan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya. Jawabannya dapat diartikan bahwa Ali Kwh ambigu mengenai warisan Abu Bakar RA dan Umar RA. Utsman RA kemudian ditanyakan pertanyaan yang sama dan beliau menjawab bahwa sungguh ia akan melayani sesuai dengan perintah-perintah Allah, Rasul-Nya dan contoh dari dua Syaikh. Utsman bin Affan RA memenangkan nominasi dan terpilih sebagai khalifah.

Pertanyaan tersebut, meskipun tampaknya tidak berbahaya, diajukan dalam mendukung Utsman RA (para sahabat lebih menyukai Utsman RA, karena Ali Kwh sama kerasnya dengan Umar RA dalam hal harta - pen). Kecuali untuk membuat suatu alasan yang kuat untuk keberlanjutan sejarah, beberapa ulama berpendapat bahwa tidak diperlukan untuk memasukkan tradisi dari dua Syaikh sebagai prasyarat untuk Kekhalifahan di persimpangan itu. Masalah ini, adalah jauh lebih dalam daripada argumen yang sesederhana ini. Apa yang terjadi adalah  keberlangsungan sejarah dari perbedaan di antara para sahabat tentang isu ijma (konsensus, kesepakatan) dalam penerapan syariah. Perbedaan-perbedaan tersebut dikodifikasikan di kemudian hari dalam berbagai mazhab Fiqh. Yang penting adalah bahwa perbedaan tersebut tidak doktriner, melainkan perbedaan dalam penekanan.

Utsman RA telah berusia lebih dari tujuh puluh tahun ketika terpilih sebagai Khalifah. Beliau adalah seorang yang saleh, seorang ulama, seorang yang berintegritas tinggi dan rendah hati dan salah satu dari sahabat Nabi yang paling awal. Dia adalah seorang pria kaya dan menggunakan kekayaannya dengan murah hati dalam pelayanannya kepada umat Islam. Ia menikah dengan Ruqaiyya, putri Nabi dan setelah kematiannya menikahi Ummu Kultsum, putri lain dari Nabi. Tetapi Utsman RA juga sangat pemalu dan tidak tegas. Sifat ini, yang mungkin berbahaya di dalam diri seorang individu, yang telah terbukti fatal ketika Utsman RA menjabat sebagai penguasa. Lebih signifikan lagi, Utsman RA berasal dari Bani Umayyah. Dalam masa pra-Islam, Bani Umayyah sering bersaing untuk kekuasaan dan prestise dengan Bani Hasyim, suku dari mana Nabi dan Ali bin Abu Thalib Kwh berasal. Faktor-faktor ini menjadi semakin penting ketika kesatuan yang telah dipupuk oleh Islam retak di bawah tekanan yang dihasilkan selama periode Utsman RA.

Kekhalifahan Utsman RA berlangsung selama dua belas tahun dan dapat dibagi menjadi dua tahap yang berbeda. Selama masa enam tahun pertama, momentum yang diciptakan oleh Umar bin Khattab RA membawa tentara Muslim lebih lanjut ke Azerbaijan, Kirman, Afghanistan, Khorasan dan Kazakhstan di timur dan Libya ke barat. Beberapa pemberontakan di Kurdistan dan Persia ditindas.

Dua inisiatif yang dilakukan oleh Usman RA selama periode ini memiliki dampak abadi pada sejarah Islam. Adalah atas inisiatif Utsman RA bahwa pengucapan Al-Qur'an distandardisasi. Al-Qur'an diwahyukan kepada Nabi sebagai Firman Allah dan dihafalkan oleh ratusan hufaz. Setelah Pertempuran Yamama ketika banyak  hufaz yang tewas, Abu Bakar as Shiddiq RA, atas saran Umar bin Khattab RA, telah menuliskan Qur'an persis seperti yang telah diatur oleh Nabi. Kitab ini disebut mushaf as Siddiqi. Bahasa Arab, seperti yang biasanya ditulis, tidak menunjukkan vokal dan pengucapan yang diambil dari konteks. Oleh karena itu, mushaf as Siddiqi tidak menunjukkan vokal. Ketika Islam menyebar ke luar perbatasan Arab ke daerah yang tidak dapat berberbahasa Arab, muncul risiko salah pengucapan dengan konsekuensi salah tafsir. Utsman RA memerintahkan penyusunan salinan tertulis Quran yang menunjukkan vokal dan konsonan, konsisten dengan bacaan Nabi. Dimana gaya bacaan yang digunakan oleh Nabi bervariasi, gaya ini sangat diperhatikan.

Inisiatif kedua adalah membangun angkatan laut. Umar RA telah menolak ide tersebut sebagai prematur bagi tentara Arab yang terbiasa melakukan gerakan cepat di padang pasir. Setelah rekomendasi dari Muawiyah, Utsman RA memerintahkan pembangunan angkatan laut yang kuat untuk melawan kekuasaan Bizantium di Mediterania timur. Angkatan laut dibangun dan Siprus dikalahkan. Ekspansi lanjut dari angkatan laut memberikan kemampuan sepuluh tahun kemudian untuk serangan angkatan laut di ibukota Bizantium, Konstantinopel (Istanbul modern).

Selama paruh kedua kekhalifahan Utsman RA perpecahan serius muncul di dalam komunitas Islam. Sifat pemalu, lamban dalam mengambil keputusan dan tidak tegas dari Utsman membuka peluang untuk terjadinya kerusakan. Beberapa di antara suku Bani Umayyah mengambil keuntungan dari ketidaktegasan ini untuk membangun estate yang besar bagi diri mereka sendiri. Utsman RA telah menggantikan beberapa administrator yang ditunjuk oleh Umar RA dan menggantikan mereka dengan orang-orang dari suku Bani Umayyah. Beberapa orang yang ditunjuk ini tidak qualified (cakap) untuk menjalankan tugas mereka. Ketika ketidakmampuan petugas ini dibawa ke hadapannya, Utsman RA sering tidak tegas dan menunda tindakan korektif. Karena Utsman RA sendiri berasal dari Bani Umayyah, ia rentan terhadap tuduhan nepotisme. Persaingan suku Pra-Islam antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah, yang telah ditundukkan sejak zaman Nabi, kini muncul kembali.

Unsur yang paling penting dalam ketidakstabilan politik berikutnya adalah kekayaan yang sangat besar yang diperoleh dari Persia. Mas'udi mencatat (seperti yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun, Muqaddamah, halaman 478, op. Cit.), "Pada hari Khalifah Utsman RA dibunuh, bendahara baitul mal memiliki dalam koleksi pribadinya, sejumlah 150.000 dinar dan 1.000.000 dirham. Selain itu, ia memiliki properti senilai 200.000 dinar di lembah-lembah Qura dan Hunain di mana ia menyimpan sejumlah besar unta dan kuda. Salah satu properti yang dimiliki oleh Zubair adalah senilai 50.000 dinar di mana dia menyimpan 1.000 kuda. Thalhah memperoleh pendapatan sebesar 1.000 dinar dari properti di Irak. Abdur Rahman bin Auf memiliki 1.000 kuda di kandang selain 1.000 unta dan 10.000 ekor domba. Setelah kematiannya, seperempat dari tanahnya bernilai 84.000 dinar. Zaid bin Tsabit memiliki bongkahan emas dan perak yang membutuhkan sebuah kapak besar untuk memotongnya. Zubair telah membangun beberapa rumah di Bashrah, Mesir, Kufah dan Alexandria. Demikian pula, Thalhah memiliki sebuah rumah di Kufah di samping sebuah rumah tua di Madinah, yang telah direnovasi dengan batu bata, semen dan kayu oak. Sa'ad bin Waqqas telah membangun sebuah rumah tinggi dan luas terbuat dari batu merah. Maqdad membangun sebuah rumah di Madinah yang diplester dalam dan luarnya." 

Mas'udi juga menyatakan bahwa kekayaan ini diperoleh secara sah melalui ghanimah dan perdagangan. Sementara kekayaan yang diperoleh secara sah tidak mempengaruhi para sahabat, banyak orang lain di dalam umat yang kurang percaya tentang bagaimana kekayaan itu diperoleh atau bagaimana kekayaan itu digunakan. Kemewahan baru dari masyarakat sangat kontras dengan kesederhanaan yang ditunjukkan oleh kehidupan khalifah sebelumnya. Umar bin Khattab RA, ketika ia menjadi Khalifah, biasa menutup lubang di pakaian compang-campingnya dengan tambalan dari kulit kambing. Tetapi zaman telah berubah. Kedatangan emas Persia telah merubah karakter dari beberapa orang Arab. Damaskus, yang diperintah oleh gubernur Umayyah, menjadi kota istana. Sebuah proses yang tak terhindarkan dari pembusukan telah dimulai dimana dekadensi kemewahan menggantikan kesederhanaan hidup nomaden dan menjauhkan pria dan wanita dari transendensi jiwa kepada kesenangan jasmani. 

Korupsi yang meningkat memberikan peluang bagi penyebaran rumor, gosip dan kerusakan. Dalam skenario bergejolak ini, dua tokoh muncul sebagai ancaman yang menyeramkan. Salah satunya adalah Abdullah bin Saba, seorang yang baru memeluk Islam, mencoba mengadu Utsman RA melawan Ali Kwh dan menghasut rakyat Kufah (Irak) dan Mesir terhadap Utsman RA. Yang lainnya adalah Hakam bin Marwan, seorang Umayyah, yang telah ditunjuk Utsman RA sebagai Sekretaris Kepala nya. Hakam bertanggung jawab untuk korespondensi resmi dan menyalahgunakan posisi istimewa tersebut untuk mengkhianati Utsman RA pada saat-saat kritis. Ketidakpuasan dan ketidakpuasan akhirnya meletus dalam pemberontakan terbuka. Kelompok pemberontak dari Kufah dan Mesir memasuki Madinah, mengepung kediaman Khalifah dan menuntut pengunduran dirinya. Utsman RA tidak bisa memenuhi permintaan ini karena hal itu akan menghancurkan kekhalifahan sebagai sebuah institusi. Dia diserang dan tanpa ampun dieksekusi pada tahun 655. Perang saudara telah dimulai. 

Tindakan yang didorong oleh nafsu menghasilkan gairah yang sama dengan konsekuensi yang tak terduga. Pembunuhan Utsman RA menimbulkan kekacauan di Madinah. Tidak ada kepemimpinan, ketertiban dan otoritas di kota. Jenazah Utsman RA terbaring tidak ada yang berani mengurusnya selama lebih dari 24 jam sampai akhirnya sekelompok Muslim memberanikan diri untuk melakukan shalat jenazah dan menguburkan khalifah yang dibunuh di kegelapan malam. Hanya tujuh belas orang yang menghadiri pemakaman. Di tengah kekacauan ini, Ali bin Abu Thalib Kwh diminta untuk menerima tugas kekhalifahan. Beliau awalnya ragu-ragu, tetapi menyerah atas desakan dari beberapa sahabat terkemuka Nabi dan menjadi Khalifah Islam keempat. 

Ali Kwh memahami bahwa pembunuhan Utsman Kwh adalah gejala dari keburukan yang lebih dalam. Emas Persia telah menciptakan angin puyuh yang kuat di mana tubuh politik Islam telah dikalahkan oleh kekayaan. Beberapa kekayaan ini telah menemukan jalannya ke ibu kota provinsi di mana para pejabat gubernur telah terbiasa dengan gaya hidup mewah. Mereka yang telah terbiasa dengan gaya hidup mewah ini enggan untuk berubah dan kembali ke kesederhanaan yang diperintahkan oleh Nabi. 

Prioritas pertama Ali Kwh adalah menciptakan ketertiban. Dia menghendaki untuk mencapainya sedemikian rupa sehingga penyakit itu sendiri akan sembuh. Menyadari bahwa setiap reformasi harus dimulai dari atas, Ali Kwh menuntut pengunduran diri gubernur-gubernur provinsi. Sebagaimana akan kita lihat, ini terbukti menjadi keputusan yang naas. Beberapa gubernur mematuhi, yang lain menolak sebagai tanda deklarasi terbuka atas pemberontakan. Terkenal di antaranya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Umayyah Suriah. 

Iman dan kekayaan adalah dua mesin yang paling kuat dari sejarah. Kita melihat untuk pertama kalinya setelah pembunuhan Utsman RA tarikan berlawanan dari dua elemen ini. Kekayaan itu seperti kuda liar. Bila dijinakkan, ia bergerak dengan anggun dan memberikan kekuatan untuk pengendara. Bila liar, ia menghancurkan dirinya sendiri dan pengendaranya. Iman adalah yang menjinakkan kekayaan. Tanpa disiplin yang berasal dari iman, kekayaan akan menyebabkan keserakahan dan menghancurkan semua yang telah membangun peradaban. Yang diperlukan setelah penaklukan Persia adalah kedisiplinan dan ketegasan dari seseorang seperti Umar RA. Sifat pemalu dan lamban bertindak dari Khalifah  ketiga Utsman RA adalah resep untuk bencana. Dalam paruh kedua kekhalifahan Utsman RA, kita melihat bagaimana kekayaan baru telah melahirkan korupsi dan nepotisme, mengancam untuk menghancurkan iman kuat yang telah memungkinkan umat Islam untuk memenangkan kekayaan. 

Ali Kwh, karena ia dilatih oleh Nabi Muhammad SAW, ingin membangun kembali kehidupan Islam seperti contoh murni dari Nabi. Tetapi zaman telah berubah. Penaklukan Kekaisaran Persia telah membuat beberapa tokoh sangat kaya. Tokoh-tokoh ini lebih suka berperang untuk keistimewaan mereka daripada menyerah. Islam sebagai agama dunia dan akhirat harus bersaing dengan kekuatan pribadi dan prestise untuk merebut kesetiaan hati orang-orang. Transendensi dari contoh Nabi sekarang dihadapkan dengan realitas duniawi dari emas dan keserakahan. 

Iman dan keserakahan terkunci dalam pertempuran fana. Terhadap latar belakang ini, pembunuhan Utsman RA adalah suatu peristiwa yang memberikan bahan bakar untuk para petempur. Prioritas Ali Kwh adalah untuk menciptakan ketertiban. Tetapi banyak dari para sahabat menginginkan untuk menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman RA sebagai prioritas pertama. Mereka menuntut qisas (penangkapan dan hukuman bagi pembunuh seperti yang telah ditentukan oleh Al-Qur'an). Bagi mereka, keadilan harus didahulukan atas ketertiban. 

Tidak ada yang sangat terkejut di dalam umat Islam atas pembunuhan Utsman RA daripada Aisyah binti Abu Bakar RA, istri Nabi, yang mengangkat isu qisas. Sahabat Terkemuka seperti Thalhah bin Ubaidallah dan Zubair bin al Awwam bergabung. Pada tahun 656, Aisyah RA berangkat dari Mekkah menuju Basrah (Irak) dengan kekuatan 3.000 orang. Ini adalah saat yang sangat serius. Saat itu adalah Ummul Mukminin sendiri, yang berbaris keluar untuk menangkap dan menghukum para pembunuh Utsman RA dan dalam proses itu, beliau telah menjatuhkan otoritas kekhalifahan. Rasa sedih dan tidak berdaya menghinggapi masyarakat Mekah. Beberapa sahabat ikut bergabung, termasuk para sahabat terkenal Nabi seperti Thalhah bin  Ubaidallah dan Zubair bin  al Awwam. Sejumlah besar orang merasakan gravitasi situasi dan berusaha tetap netral. 

Posisi Aisyah RA, meskipun termotivasi oleh keinginan kuat untuk mereformasi masyarakat dan menghukum yang bersalah, memiliki efek menciptakan sebuah kekuatan bersenjata yang independen dari Khalifah dan melemahkan kewenangannya. Tidak mungkin ada dua kekuatan bersenjata independen dalam satu negara politik. Keadilan, sebagaimana yang dituntut oleh Aisyah RA, pasti akan menjerumuskannya ke dalam konflik dengan prioritas ketertiban yang diinginkan oleh Ali Kwh. Dua kelompok tersebut bertabrakan pada Pertempuran Jamal (Unta). 

Ali Kwh pada mulanya bersiap-siap untuk berbaris ke Suriah untuk membawa Muawiyah di bawah kontrol. Namun gerakan pasukan Mekah di bawah pimpinan Aisyah RA ke Irak adalah gangguan yang tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, Ali Kwh berbaris menuju Irak dengan kekuatan 700 laki-laki. Ini satu lagi keputusan yang naas, bagi Ali Kwh yang tidak pernah bisa kembali lagi ke Madinah. Roda takdir  telah ditetapkan dalam perputarannya. Saat mendekati Kufah (Irak), pasukan Ali Kwh diperkuat oleh suatu kontingen yang kuat dari beberapa ribu orang Irak. Hanyalah masalah waktu sebelum pasukan gabungan dari Madinah dan Irak di bawah Ali Kwh akan menghadapi pasukan Mekah dibawah Aisyah RA. 

Upaya-upaya dilakukan yang ditujukan untuk membawa posisi dari kedua belah pihak bersama-sama untuk menghindari konflik bersenjata. Sebuah kesepahaman memang berhasil dicapai di antara kedua belah pihak untuk menghindari perang dan mendamaikan masyarakat. Tetapi terdapat beberapa pembuat onar di antara kedua kelompok. Faksi yang bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman RA menetapkan untuk menyabot perjanjian karena rekonsiliasi damai akan menghadapkan mereka kepada hukuman berat dari kedua belah pihak. Salah satu faksi, yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba yang baru memeluk Islam, sangat aktif di Irak dan Mesir. Bertekad untuk menjegal kesepakatan damai dengan cara apapun, mereka menyerang kamp-kamp di kegelapan malam. Selanjutnya dalam kebingungan, masing-masing pihak mengira bahwa yang lainnya telah menipu mereka. Ketika Aisyah RA naik ke untanya untuk mengendalikan situasi di bawah kontrol, kelompoknya mengasumsikan bahwa ia melakukannya untuk secara pribadi memimpin pasukan. Perang saudara meletus. Ribuan orang tewas dalam hitungan jam. Di antara korban konflik adalah sahabat terkenal Thalhah bin Ubaidallah. Sahabat lain yang terkenal, Zubair bin al Awwam menarik diri dari keributan, tetapi dibunuh dalam perjalanan dari medan perang. Menyadari bahwa selama Aisyah RA berada di atas untanya, pertempuran akan terus berlanjut, Ali Kwh memerintahkan untanya untuk dijatuhkan (dengan memanah kakinya - pen). Ketika untanya jatuh, pasukan Aisyah jatuh ke dalam kekacauan. Ali Kwh secara pasti telah memenangkan pertempuran. Aisyah RA diperlakukan dengan penghormatan sepenuhnya dan dikirim kembali ke Mekah di bawah pengawalan militer. 

Pertempuran Unta adalah bencana bagi umat Islam. Ia menghancurkan kekompakan komunitas Islam yang telah begitu susah payah ditempa oleh Nabi. Aisyah RA sendiri menyatakan penyesalannya atas pertempuran tersebut menjelang akhir hidupnya. Ini adalah ronde pertama dalam perang saudara yang mengguncang Islam dan memuncak di Karbala. Meskipun Ali Kwh secara pasti telah memenangkan pertempuran, hal ini telah melemahkan posisi politiknya dan mendorong lawan-lawannya untuk bertahan dalam tuntutan mereka untuk qisas. Para pembunuh Utsman RA merasa yakin bahwa mereka bisa bersembunyi di balik salah satu faksi atau yang lainnya dan lolos dari hukuman. Memang, Ali Kwh tidak pernah bisa untuk menyelenggarakan pengadilan untuk membawa para pembunuh Utsman RA ke pengadilan. 

Perang Unta memberi Muawiyah tambahan waktu untuk mempersiapkan perjuangan yang akan datang melawan Khalifah Ali bin Abu Thalib Kwh. Jubah bernoda darah milik Utsman RA digantung di pintu Masjid Agung di Damaskus. Orang-orang dari  wilayah yang jauh dan luas datang mengunjungi masjid dan melihat darah Utsman RA, akan menangis dan mengambil sumpah untuk membalas darah khalifah ketiga. Keterlibatan Ali Kwh dalam pembunuhan Utsman RA dituduhkan, awalnya diam-diam dan kemudian terbuka. Muawiyah meminta dukungan dari seorang orator terkenal, Shurahbeel bin Samat Kindi, untuk menyebarkan tuduhan ini ke wilayah yang jauh dan luas di Suriah. Dengan cara seperti itu, Muawiyah berhasil menyatukan Suriah melawan Ali Kwh dan membangun kekuatan militer yang solid sebanyak 70.000 orang untuk menghadapinya. 

Pertempuran antara Ali Kwh dan Muawiyah adalah contoh klasik dari pertempuran antara prinsip dan politik. Beberapa Muslim memandangnya sebagai perjuangan antara Tariqah dan Syariah. Lainnya menghindar dari membahas konflik sama sekali, menyatakan penghormatan dan penghargaan karena semuanya adalah sahabat Nabi. Namun yang lain mempertahankan bahwa ijtihad (penalaran hukum) baik dari Ali Kwh dan Muawiyah adalah benar, tetapi Ali Kwh adalah berada pada suatu tatanan yang lebih tinggi daripada Muawiyah (karena Ali adalah termasuk di dalam orang-orang Islam permulaan, sedangkan Muawiyah memeluk Islam setelah penaklukan Mekah - pen). Kami tidak mengambil posisi menyangkut masalah ini kecuali untuk mengutip fakta-fakta sejarah seperti yang dipertunjukkan oleh mereka. Ali Kwh, yang telah disebut nabi "pintu gerbang menuju pengetahuanku", adalah sumber utama spiritualitas, seorang pria yang berprinsip, seorang ulama besar, seorang prajurit yang mulia, tetapi terjebak dalam badai politik yang dihasilkan oleh kekhalifahan Utsman RA dan pembunuhannya. Muawiyah adalah seorang administrator yang berhasil, seorang politisi hebat dan musuh yang harus diperhitungkan. Keduanya terbukti benar pada posisi mereka sampai akhir hidup mereka. Ali Kwh, sebagai Khalifah yang sah, menginginkan untuk menciptakan ketertiban pada urutan pertama dan kemudian menyelesaikan masalah-masalah lain negara termasuk pembunuhan Utsman RA. Ali Kwh tidak berhasil dalam usaha ini dan perjuangan telah memakan kekhalifahan dan pribadinya. Muawiyah menuntut qisas sebagai urutan pertama, sebelum ia menerima kekhalifahan Ali Kwh. 

Pada bagiannya, Ali Kwh memindahkan ibukota negara Islam dari Madinah ke Kufah (656) dan mengkonsolidasikan posisinya. Dia membawa 80.000 tentara untuk berbaris ke Suriah. Tentara ini sebagian besar terdiri dari orang Irak, dengan kontingen dari orang-orang Madinah dan Persia. Melihat badai berkumpul di cakrawala, beberapa sahabat terkemuka mencoba untuk mendamaikan. Abu Muslim Khorasani meyakinkan Muawiyah untuk menulis surat kepada Ali Kwh. Dalam suratnya, Muawiyah menawarkan untuk mengambil sumpah kesetiaan kepada Ali Kwh jika ia menyerahkan para pembunuh Utsman RA. Tetapi sekarang posisi telah mengeras di kedua belah pihak. Muawiyah tahu bahwa Ali Kwh secara politik terlalu lemah pada waktu itu untuk memenuhi permintaan ini. Ketika masalah ini diangkat sebelum pertemuan besar di masjid di Kufah, lebih dari 10.000 orang Irak mengangkat tangan mereka dan menyatakan bahwa masing-masing dari mereka adalah pembunuh Utsman RA. Utusan dari Suriah kembali dengan tangan kosong. 

Muawiyah, dengan tentara Suriahnya, adalah yang pertama bergerak menuju Irak dan menempati perairan Efrat dekat dataran Siffin. Ketika tentara Ali Kwh tiba di lokasi, mereka tidak mendapatkan air. Ali Kwh segera memerintahkan orang-orang Suriah untuk diusir untuk mengontrol sumber air. Pertempuran Siffin telah dimulai. Ini adalah salah satu pertempuran paling berdarah di zaman itu. Selama tiga bulan, orang-orang Suriah dan Irak berhadapan satu sama lain dengan penuh amarah, yakin bahwa posisi masing-masing adalah benar. Lebih dari 40.000 orang kehilangan nyawa mereka. Begitu besarnya pertumpahan darah sehingga banyak orang di kedua belah pihak bertanya-tanya apakah umat Islam akan bertahan jika pembantaian ini terus berlanjut. 

Dalam waktu yang lama, pertempuran menemukan jalan buntu dengan tidak ada pihak yang memperoleh keuntungan yang menentukan. Tetapi pada malam Laitul-Harir (Malam Pertempuran), para pendukung Ali Kwh menyerang dengan kekuatan yang menentukan, sehingga orang Suriah menyadari bahwa mereka berada di ambang kekalahan. Di sinilah Muawiyah memainkan satu tipu muslihat lagi. Setelah saran dari Amr bin al As, kepada siapa Muawiyah telah menjanjikan gubernur Mesir, orang-orang Suriah mengangkat salinan Alquran dengan tombak mereka dan menyatakan bahwa mereka akan menerima Hakam (arbitrase) dari Al-Qur'an antara pihak yang bersengketa. Ali Kwh melihat bahwa ini hanyalah sebuah tipuan, tetapi tidak berdaya dalam menghadapi permintaan dari kedua belah pihak. 

Ini adalah satu lagi keputusan naas bagi  Khalifah Ali Kwh. Penerimaan arbitrase (penengah sengketa - pen) menegaskan Muawiyah sebagai pesaing kekuasaan yang sah dengan Ali Kwh. Kedua belah pihak membentuk pengadilan dua orang, satu dari masing-masing pihak, untuk memutuskan antara Muawiyah dan Ali Kwh. Abu Musa Asyari, seorang Sahabat tua yang shaleh dari Nabi, dipilih untuk mewakili Ali Kwh. Amr bin al As, seorang partisan yang ulung, adalah wakil untuk Muawiyah. 

Pada titik ini sebuah sekelompok dari tentara Ali Kwh berjalan pergi. Mereka disebut Al Khawarij (orang-orang yang berjalan pergi, juga disebut Kharijites). Kaum Khawarij marah karena dalam pandangan mereka, Khalifah Ali bin Abu Thalib Kwh telah melakukan syirik dengan menerima arbitrase orang-orang yang bertentangan dengan Hakam (arbitrase) dari Al Qur'an. Dan kecuali beliau bertobat, mereka bersumpah untuk menentang Ali Kwh. 

Ini adalah ilustrasi klasik tentang bagaimana transendensi dari wahyu ilahi dikompromikan, ketika orang-orang dengan pemahaman yang terbatas mengaplikasikannya dalam urusan duniawi. Kaum Khawarij mengemukakan dua ayat dari Al Qur'an dan menjustifikasi untuk perbuatan kejam mereka. Awalnya, mereka memaksa Ali Kwh untuk menerima arbitrase berdasarkan Ayat: "Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik" (Al Qur'an, 5:47). Kemudian mereka berjalan menjauh ketika pengadilan diselenggarakan, mendasarkan posisi mereka pada Ayat lain: "namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka." (Al Qur'an, 6:1). Ini adalah posisi mereka bahwa hanya Al-Qur'an lah penengah; penengah dari manusia tidak dapat diterima. 

Para arbiter memutuskan bahwa baik Ali Kwh maupun Muawiyah diminta untuk mengundurkan diri dan bahwa penggantian tersebut akan dipilih oleh umat. Ketika tiba waktunya untuk membuat pengumuman ke publik, tipuan lain dimainkan Amr bin Al As. Abu Musa Asyari diminta untuk berbicara lebih dulu dan dia dengan yakinnya mengumumkan keputusan bersama. Tetapi ketika Amr bin al As berikutnya, ia mengubah cerita. "Wahai manusia, Anda telah mendengar keputusan Abu Musa. Dia telah melengserkan orangnya sendiri dan sekarang aku juga melengserkannya. Tetapi aku tidak akan melengserkan orangku sendiri Muawiyah. Dia adalah pewaris Amir ul Mukminin Utsman RA dan menginginkan qisas yang sesuai dengan hukum atas darahnya. Oleh karena itu, dia lebih berhak untuk mengambil kursi khalifah terakhir". Terjadi kekacauan di dalam pertemuan. Tuduhan melayang. Tetapi sudah terlambat. Ketika berita tentang episode ini sampai ke Ali Kwh, beliau sedih. Amr bin al As kembali ke Damaskus di mana Muawiyah mendeklarasikan sebagai Khalifah (658). Jadi itulah selama tahun 658-661, ada dua pusat kekhalifahan, satu di Kufah dan yang lainnya di Damaskus. 

Ketidakjujuran ini tidak dapat diterima oleh pengikut Ali Kwh dan perang dilanjutkan. Selama tiga tahun berbagai provinsi diperebutkan antara Muawiyah dan Ali Kwh, termasuk Madinah, Mekkah, Jazira, Anbar, Madain, Badya, Waqusa, Talbia, Qataqtana, Doumatul Jandal dan Tadammur. Pada akhirnya kedua belah pihak sepertinya telah lelah dan gencatan senjata dideklarasikan di tahun 660. Berdasarkan ketentuan, Ali Kwh mempertahankan kontrol atas Mekah, Madinah, Irak, Persia dan provinsi-provinsi di timur. Muawiyah mempertahankan kontrol atas Suriah dan Mesir. 

Perbatasan de-facto menetapkan kembali batas geopolitik bersejarah antara Byzantium dan Persia pada perbatasan Efrat. Sebagaimana akan kita lihat lagi dan lagi dalam eksposisi kita tentang sejarah Islam, batas ini kembali ditegaskan oleh banyak khalifah dan sultan, begitu banyaknya sehingga peristiwa historis dari Persia, Asia Tengah, India dan Pakistan hari ini secara signifikan berbeda dengan peristiwa historis dari Suriah, Yordania, Lebanon, Mesir dan Afrika Utara. Suriah dan Mesir tidak menerima kekhalifahan Ali Kwh sampai periode Abbasiyah (750), sedangkan Ali Kwh adalah Khalifah sepanjang masa, "Singa Allah", guru dan mentor untuk orang-orang Persia dan Muslim Persia di timur. 

Kaum Khawarij tidak mau meninggalkan Ali Kwh. Mereka berusaha untuk mengubah status quo melalui pembantaian, pembunuhan dan aniaya dan memutuskan untuk secara serentak membunuh Ali Kwh, Muawiyah dan Amr bin al As, menyalahkan ketiganya atas perang saudara. Seperti sudah ditakdirkan, pembunuhan atas Ali Kwh berhasil dilakukan. Muawiyah lolos dengan luka ringan. Amr bin al As tidak muncul untuk shalat pada hari ia akan dibunuh dan wakilnya tewas di tempatnya. Ali bin Abu Thalib Kwh, Khalifah Islam Keempat dan yang terakhir dalam garis orang-orang terkenal yang berjuang untuk memerintah sesuai dengan Sunnah Nabi, meninggal pada tanggal 20 Ramadhan, pada tahun 661. 

Badai yang diciptakan oleh pembunuhan Utsman bin Affan RA menghancurkan kesatuan dalam umat Islam. Ali bin Abu Thalib Kwh mencoba untuk mengendalikan kapal negara di perairan badai, dalam upaya itu, ia sendiri menjadi korban. Disebutkan bahwa ia dimakamkan di Kufah. Tetapi penelitian yang teliti dari sejarah mengungkapkan bahwa makamnya tidak diketahui. Ia mungkin di Kufah, atau di padang pasir, atau jenazahnya mungkin telah dikirim ke Madinah untuk dimakamkan agar kaum Khawarij tidak menghancurkannya. Penghargaan abadi yang diberikan oleh sejarah kepada orang besar ini adalah bahwa semua umat Islam, apakah mereka menyebut diri mereka Syiah atau Sunni, Zaidi atau Fatimiyah, menerima beliau sebagai Khalifah Islam. Dia adalah Qutub, kutub rohani bagi para Sufi. Dia adalah seorang orator yang sempurna, sebuah menara ketabahan, tiang keberanian, air terjun spiritualitas. Dia adalah pencetus tata bahasa Arab klasik. Nabi memanggilnya, "saudaraku... pintu gerbang pengetahuanku". Kata-kata bijaksananya, dikumpulkan di bawah judul Nahjul Balaga, memiliki daya tarik universal dan global. Tidak ada orang lain di dalam sejarah Islam dianugerahi kehormatan ini.





Disumbangkan oleh Prof. Dr. Nazeer Ahmed, PhD

Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com

Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com
Lintas Islam politik, sejarah