Islam Untuk Semua Umat

Friday, April 29, 2011

Kehidupan Berikutnya: Surga dan Neraka


1.6 Kehidupan Berikutnya: Surga dan Neraka

1.6a. Surga
Allah telah menciptakan Surga dan telah disiapkan sebagai sebuah tempat tinggal abadi untuk kekasih-kekasih Nya (auliya'). Ia akan menghormati mereka di dalamnya dengan penampakan Wajah Mulia Nya. Ini adalah Surga yang sama dari mana Ia menurunkan Adam, Nabi dan Khalifah Nya, ke bumi, yang mana hal ini telah ditakdirkan dalam pengetahuan Nya.

1.6b. Neraka
Ia telah menciptakan Neraka dan telah disiapkan sebagai tempat tinggal abadi bagi mereka yang tidak beriman kepada Nya dan mengingkari tanda-tanda dan Kitab dan Rasul Nya dan Ia menjadikan mereka terhalang dari melihat Nya.







Aqidah Seorang Muslim
Oleh Abu-l-Hasani-l-Asy'ari

Temukan artikel-artikel tentang Islam lainnya di http://lintas-islam.blogspot.com
Lintas Islam aqidah
Tuesday, April 26, 2011

Iman Kepada Hari Kebangkitan dan Hari Pengadilan


1.5 Iman Kepada Hari Kebangkitan dan Hari Pengadilan

1.5a. Hari Akhir
Juga bagian dari apa yang harus diimani adalah bahwa Hari Akhir akan datang - tidak ada keraguan tentangnya.

1.5b. Kebangkitan dari Mati
Harus diimani bahwa Allah akan membangkitkan semua yang telah mati: "Sebagaimana Ia membawa mereka ke dalam kejadian pertama maka mereka akan dibawa kembali lagi".

1.5c. Pahala: Pelipatgandaan Perbuatan-perbuatan Baik
Harus diimani bahwa Allah SWT, melipatgandakan balasan atas perbuatan-perbuatan baik oleh hamba-hamba Nya yang beriman.

1.5d. Memaafkan Perbuatan-perbuatan Dosa
Ia memaafkan mereka atas perbuatan-perbuatan dosa besar mereka dengan nilai taubat mereka dan Ia memaafkan mereka atas perbuatan-perbuatan dosa kecil mereka dengan nilai penghindaran mereka atas perbuatan-perbuatan dosa besar.

1.5e. Mereka yang Tidak Meminta Maaf adalah Subyek atas kehendak-Nya
Mereka yang tidak meminta maaf dari perbuatan-perbuatan dosa besar mereka menjadi subyek atas kehendak-Nya. "Ia tidak memaafkan segala sesuatu yang disekutukan dengan Nya, tetapi Ia memaafkan segala sesuatu selain dari itu bagi siapa saja yang Ia kehendaki".

1.5f. Penyelamatan dari Neraka karena Iman
Mereka yang Ia hukum dengan Neraka-Nya, Ia akan menghilangkan darinya karena adanya sedikit iman yang mereka miliki dan dengan ini Ia akan menyebabkan mereka memasuki Surga-Nya. "Barangsiapa melakukan seberat atom kebaikan akan melihatnya." (99:7)

1.5g. Syafa'at Nabi
Umat Nabi, semoga Allah merahmatinya dan memberinya kedamaian, yang telah melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar dan kepada siapa ia memberi syafaat, akan dikeluarkan dari Neraka dengan syafaatnya.


****************

Aqidah Seorang Muslim
Oleh Abu-l-Hasani-l-Asy'ari

Temukan artikel-artikel tentang Islam lainnya di http://lintas-islam.blogspot.com
Lintas Islam aqidah
Saturday, April 23, 2011

Iman Kepada Muhammad



1.4 Iman Kepada Muhammad

1.4a. Pengiriman Rasul-rasul
Ia telah mengirimkan Rasul-rasul kepada mereka supaya mereka tidak memiliki argumen untuk membantah-Nya.

1.4b. Rasul Penghabisan
Ia telah menutup Kerasulan ini, peringatan dan Kenabian dengan Nabi-Nya Muhammad, semoga Allah merahmatinya dan memberikannya kedamaian, yang Ia jadikan Rasul terakhir "Seorang pembawa berita baik dan seorang pemberi peringatan, memanggil kepada Allah dengan izin-Nya dan lampu penerang".

1.4c. Bimbingan Ilahi melalui Kitab
Ia mengirimkan kepadanya Buku Bijaksana Nya dan melaluinya Ia menjelaskan agama tegaknya dan memandu manusia ke Jalan yang Lurus.








Aqidah Seorang Muslim
Oleh Abu-l-Hasani-l-Asy'ari

Temukan artikel-artikel tentang Islam lainnya di http://lintas-islam.blogspot.com
Lintas Islam aqidah
Thursday, April 21, 2011

Iman Kepada Takdir

1.3 Iman Kepada Takdir

1.3a. Takdir Baik dan Buruk
Juga termasuk adalah keimanan dalam Takdir baiknya dan buruknya, manisnya dan pahitnya. Semua ini telah ditakdirkan oleh Allah, Tuhan kita. Segala sesuatu telah diputuskan di tangan-Nya dan cara mereka terjadi tergantung takdir-Nya. Ia tahu segala sesuatu sebelum mereka terjadi dan mereka mengambil tempat dalam cara yang Ia telah putuskan.

1.3b. Pengetahuan tentang Takdir
Tidak ada sesuatu pun yang hamba-hamba Nya katakan atau lakukan yang Ia tidak takdirkan dan tidak memiliki pengetahuan tentangnya. "Bukankah Ia yang menciptakan tahu, sedangkan Ia Maha Lembut dan Maha Mengetahui" (67:14)

1.3c. Takdir Tabiat Manusia
Ia menyesatkan siapa saja yang Ia kehendaki dan keadilan-Nya memerosotkan mereka dan Ia membimbing siapa saja yang Ia kehendaki dan kemurahan-Nya menghadiahkan mereka kesuksesan. Dengan cara itu setiap orang dimudahkan oleh-Nya terhadap apa yang Ia telah memiliki pengetahuan tentangnya dan telah sebelumnya ditakdirkan sebagai apakah mereka menjadi di antara yang beruntung atau celaka.

1.3d. Ketinggian Kuasa Allah
Ia ditinggikan di atas segala sesuatu yang Ia tidak kehendaki di dalam kerajaan-Nya, atau bahwa tidak ada sesuatu pun yang tidak bergantung pada-Nya, atau tidak ada pencipta pun selain-Nya, Tuhan semua manusia, Tuhan dari perbuatan mereka, Satu yang menakdirkan gerakan-gerakan mereka dan waktu kematian mereka.


****************

Aqidah Seorang Muslim
Oleh Abu-l-Hasani-l-Asy'ari

Temukan artikel-artikel tentang Islam lainnya di http://lintas-islam.blogspot.com
Lintas Islam aqidah
Tuesday, April 19, 2011

Iman Kepada Qur'an


2.1 Iman Kepada Qur'an

Qur'an adalah Firman Allah, bukan sesuatu yang diciptakan yang oleh karena itu pasti akan mati, bukan pula atribut dari sesuatu yang diciptakan yang oleh karena itu pasti akan berakhir.







Aqidah Seorang Muslim
Oleh Abu-l-Hasani-l-Asy'ari

Temukan artikel-artikel tentang Islam lainnya di: http://lintas-islam.blogspot.com
Lintas Islam aqidah
Sunday, April 17, 2011

Iman Kepada Allah


Ajaran-ajaran ini adalah yang seorang Muslim harus ekspresikan dalam kata-kata dan yang hati harus mengimani. Ia berisi sekitar seratus item kredo (aqidah), yang dapat dibagi ke dalam tiga kategori dasar: yang harus diimani tentang Allah SWT, yang mustahil dalam hal Allah, dan yang diperbolehkan dalam hal-Nya. Ini adalah hal di mana mereka semua yang bertanggung jawab secara hukum harus beriman.


1.1 Iman Kepada Allah

1.1a Tauhid - Kesatuan Allah dan Ketidakhubungan-Nya dari Makhluk-makhluk (tanzih)
Ajaran-ajaran wajib ini termasuk mengimani di dalam hati dan mengekspresikan dengan lidah bahwa Allah adalah Tuhan Satu dan bahwa tidak ada tuhan selain-Nya, tidak ada yang serupa dengan Nya, atau setara dengan Nya.

1.1b. Tidak Memiliki Sekutu
Ia tidak memliki anak. Ia tidak memiliki ayah. Ia tidak memiliki istri. Ia tidak memiliki mitra.

1.1c. Tidak Sementara
Tidak ada permulaan atas pertama-Nya atau akhir atas selesai-Nya.

1.1d. Tidak Terungkapkan dan Tidak Terdefinisi
Mereka yang berusaha untuk mendeskripsikan-Nya tidak pernah dapat melakukannya secara cukup sehingga tidak dapat para pemikir meliputkan-Nya ke dalam pikiran mereka.
Para pemikir sejati boleh menarik pelajaran dari tanda-tanda Nya tetapi jangan berusaha untuk memikirkan tentang alam dari Zat-Nya. "Tetapi mereka tidak memperoleh pengetahuan-Nya kecuali yang Ia kehendaki." (2:254)

1.1e. Kursi-Nya
"Kursi-Nya meliputi langit dan bumi, dan pelestarian mereka tidak melelahkan-Nya. Ia Maha Tinggi, Maha Besar" (2:255)

1.1f. Atribut-Nya
Maha Mengetahui dan Maha Pengawas, Pengatur dan Maha Kuasa. Maha Mendengar dan Maha Melihat. Tinggi dan Agung. Ia di atas tahta-Nya dengan Zat-Nya. Ia memiliki pengetahuan atas segala sesuatu, dan kekuasaan dan otoritas yang lengkap atas segala sesuatu. Pendengaran dan visi-Nya terhubung kepada segala sesuatu dalam eksistensi.

1.1g. Pengetahuan-Nya
Ia di setiap tempat dengan pengetahuan-Nya. Ia menciptakan manusia dan Ia mengetahui apa yang dirinya bisikkan kepadanya dan Ia lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. Tak ada daun yang jatuh tanpa Ia mengetahuinya atau ada biji di dalam kegelapan bumi, atau sesuatu yang basah atau sesuatu yang kering, yang tidak terdapat di dalam sebuah buku yang jelas (lauful mahfudz).

1.1h. Penguasaan atas seluruh ciptaan
Dia bersemayam di atas takhta-Nya dan memiliki kendali penuh atas kerajaan-Nya.
Tidak ada yang tahu interpretasi sebenarnya dari ungkapan ini. Imam Malik ditanya tentang hal ini dan berkata, "Bersemayam diketahui tetapi 'bagaimana' nya tidak diketahui". Tidak ada yang tersembunyi dari-Nya dan kontrol-Nya adalah mutlak. "Ia kemudian bersemayam di atas Arsy." (10:3, dll)

1.1i. Nama dan Atribut-Nya
Dia memiliki nama yang paling indah dan atribut yang paling agung dan Dia selalu memiliki semua nama-nama dan atribut-atribut ini. Dia ditinggikan di atas segala atribut-atribut Nya yang pernah dibuat atau nama-nama Nya yang telah dibawa ke dalam eksistensi temporal.

1.1j. Firman dan Manifestasi Nya
Ia berbicara kepada Musa dengan firman-Nya yang merupakan sebuah atribut dari Zat-Nya dan bukan sesuatu yang diciptakan. Ia memanifestasikan diri-Nya kepada gunung dan ia hancur melalui penampakan keagungan-Nya.

Allah berbicara kepada Musa dengan kata-kata abadi-Nya dan Musa benar-benar mendengar pidato abadi-Nya. "Ketika Musa datang pada waktu yang ditentukan dan Tuhannya berbicara kepadanya, dan ia berkata, 'Ya Tuhanku, tunjukkan diri-Mu sehingga aku dapat melihat Engkau!' Ia berkata, 'Engkau tidak akan melihat Aku, tetapi lihatlah gunung. Jika tetap teguh pada tempatnya, maka Engkau akan melihat Aku'. Tetapi ketika Tuhan-nya memanifestasikan diri-Nya kepada gunung, Dia menghancurkannya menjadi rata dan Musa jatuh pingsan ke tanah." (7:143)







Aqidah Seorang Muslim
Oleh Abu-l-Hasani-l-Asy'ari

Temukan artikel-artikel tentang Islam lainnya di: http://lintas-islam.blogspot.com
Lintas Islam aqidah
Sunday, April 10, 2011

Hukum Qadha Shalat

Keberadaan wajibnya hukum qadha shalat terdapat perbedaan pendapat. Pandangan yang mengatakan tidak wajib qadha adalah pendapat Imam Ibn Taymiyah dan Ibn Hazmin. Mereka berhujjah bahwa Islam telah mewajibkan shalat dan tidak boleh menangguhkannya walaupun sakit, musafir, atau dalam peperangan; ditegaskan oleh Imam Ibn Taymiyah tidak boleh mengqadha solat yang tertinggal, cukup dengan taubat dan shalat sunat yang banyak untuk menggantikannya.

Sedangkan semua Imam Mazhab memasukkan hal ini sebagai perkara wajib. Mereka berhujjah bahwa jika qadha ini diwajibkan atas orang yang lupa dan tertidur, yang keduanya di maafkan, maka kewajibannya atas orang yang tidak dimaafkan dan orang yang durhaka jauh lebih layak.


MENYELAMI PERBEDAAN

Perlu diperhatikan, bahwa tulisan ini bukan untuk menghakimi perbedaan kedua pendapat tersebut. Penulis menganjurkan kepada mereka yang mampu untuk tidak pernah meninggalkan shalat ada', sehingga tidak akan pernah muncul perkara qadha shalat. Hukum qadha shalat dimunculkan oleh para Imam mazhab diperuntukkan bagi mereka yang pernah meninggalkan shalat ada'. Oleh karena itu, tulisan ini diperuntukkan bagi mereka yang pernah meninggalkan shalat ada' dan mau berhukum kepada fiqh Imam mazhab tersebut.

Yang dimaksud dengan shalat qadha ialah melakukan shalat di luar waktu yang telah ditentukan, untuk menggantikan shalat wajib harian yang tertinggal. Sedangkan shalat ada' ialah melakukan shalat wajib harian tepat menurut waktu yang telah ditentukan.
Pengertian qadha hanya berlaku bagi shalat-shalat harian (5 waktu).

Sedangkan untuk shalat wajib lainnya seperti shalat Jum'at, Ied dan sebagainya, tidak ada kewajiban untuk meng-qadhanya saat tertinggal, kecuali untuk shalat gerhana matahari dan gerhana bulan total yang diharuskan untuk melakukannya di luar waktu (qadha gerhana total). Saat melakukannya tidak diharuskan dengan niat qadha, cukup dengan niat melakukan shalat.


HUKUM BAGI ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT

Allah SWT berfirman: "Maka akan datang generasi sesudah mereka yang melalaikan shalat dan mengikuti hawa nafsu maka mereka itu akan bertemu dengan kesesatan" (QS. Maryam : 59)

Al Quran menggambarkan dialog antara orang-orang penghuni surga dengan penghuni neraka Saqar:

"Apakah yang menyebabkan kalian masuk ke dalam neraka Saqar?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan" (QS. al-Muddatstsir :42-46).

Rasulullah SAW bersabda, riwayat dari Muaz bin Jabal: "Janganlah engkau tinggalkan shalat dengan sengaja karena orang yang meninggalkannya dengan sengaja akan terlepas dari lindungan Allah SWT" (HR. Thabrani).

Dari Abdullah bin Umar RA, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Siapa-siapa yang menjaga shalat maka shalat itu akan menjadi cahaya, tanda bukti, dan keselamatan baginya pada hari kiamat. Siapa-siapa yang tidak memeliharanya, maka shalat itu tidak akan menjadi cahaya, tanda bukti, dan keselamatan baginya, dan kelak pada hari kiamat ia akan bersama Qarun, Fir'aun, Haman, Ubay bin Khalaf" (HR. Ahmad).

Ibnu Abbas berkata: "Siapa-siapa yang meninggalkan shalat sesungguhnya ia telah kafir".

Dan Ibnu Mas'ud berkata : "Siapa-siapa yang meninggalkan shalat maka tidak ada agama baginya".

Jabir bin Abdullah berkata: "Siapa-siapa yang tidak shalat ia adalah kafir".

Keterangan-keterangan di atas menjelaskan beratnya hukum bagi orang-orang yang meninggalkan shalat. Bila mereka meninggalkan shalat karena melawan atau meyakini bahwa shalat tidak wajib, mereka dihukum kafir. Sedangkan bagi mereka yang meninggalkan shalat karena malas atau lalai, maka mereka dihukum fasik.

Terlepas dari sanksi hukum yang ditimpakan kepada mereka baik didunia maupun di akhirat, shalat yang ditinggalkan karena tidak ada uzur, wajib diqadha.


KEWAJIBAN QADHA

Hadis riwayat dari Abi Qatadah dia berkata, dilaporkan kepada Nabi SAW orang yang tertidur sehingga terlewat waktu shalat, Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya tidur tidak termasuk mengabaikan shalat, hanya saja lalai ketika sadar. Bila salah seorang dari kamu lupa shalat, atau tertidur maka shalat lah bila dia ingat" (HR. Turmuzi).

Dari Anas ra, Nabi saw bersabda, "Barangsiapa lupa mengerjakan shalat, hendaklah mengerjakannya bila telah ingat, dan selain itu tidak ada kewajiban kaffarat yang lain." (HR al-Khamsah/lima imam hadis).

Dalam sebuah riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, "Bila seseorang di antaramu tertidur hingga meninggalkan shalat atau lupa mengerjakannya, hendaknya ia mengerjakannya jika telah ingat, karena Allah berfirman, 'dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku'." (Thaha: 14).

Dari Abu Qatadah ra, "Pada suatu malam kami bepergian bersama Rasulullah saw, salah seorang di antara kami berkata, 'Tidakkah lebih baik kita beristirahat ya Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Saya khawatir kalian akan tertidur sehingga meninggalkan shalat'. Bilal berkata, 'Saya akan membangunkan kalian,' Kemudian tidurlah semuanya. Sementara itu, Bilal menyandarkan punggungnya pada kendaraannya dan nampaknya ia tidak kuat menahan kantuk hingga akhirnya ia tertidur. Kemudian Nabi saw bangun di saat matahari telah naik tinggi, maka beliau bersabda, 'Hai Bilal mana janjimu?' 'Sungguh, saya tak pernah mengalami seperti ini', jawab Bilal. Nabi bersabda lagi, 'Allah mencabut roh-roh kalian kapan saja Dia mau, Dia akan mengembalikannya kepadamu kapan saja Dia mau. Hai Bilal, berdirilah dan serukanlah azan shalat untuk orang banyak'. Kemudian, beliau berwudhu. Ketika matahari telah tinggi dan bersinar terang beliau shalat dengan berjama'ah bersama mereka." (HR al-Khamsah, dan redaksi ini adalah redaksi Bukhari dan Nasa'i). Menurut riwayat Ahmad orang-orang berkata, "Ya Rasulullah, tidakkah sebaiknya shalat ini kita kerjakan besok pada waktunya?" Rasul menjawab, "Bukankah Allah telah melarangmu melakukan riba lalu akan menerimanya darimu?"

Bagi mereka yang shalatnya tertinggal karena lupa atau tertidur, tidak dianggap berdosa setelah mereka mengqadha' kewajiban-kewajiban tadi, karena saat mereka lupa kewajibannya ditangguhkan sampai mereka ingat kembali atau dengan hilangnya alasan-alasan tadi.

Sedangkan bagi mereka yang meninggalkan shalat dalam keadaan sadar (sengaja), mereka harus bertaubat dan harus membayar khaffarat dengan mengqadha semua shalat yang ditinggalkannya.

Kewajiban qadha ditetapkan kepada mereka yang memiliki kewajiban ada', dan kewajiban qadha jatuh dengan jatuhnya kewajiban ada'. Kurang warasnya akal, anak-anak (mereka yang belum menanggung kewajiban), kufur, atau karena keluarnya darah haid, nifas (sehabis melahirkan), pada semua keadaan tersebut tidak wajib qadha (karena kewajiban ada' terangkat dari mereka), sampai kewajiban ada' terpikulkan kembali kepada mereka (dengan pulihnya keadaan).

Tiga perkara yang menyebabkan hilangnya kewajiban qadha:
1. Melaksanakan kewajiban tepat pada waktunya.
2. Meninggalnya seseorang sebelum masuknya waktu sholat.
3. Kufur, kecuali bagi yang murtad kemudian bertaubat kembali.


CARA MELAKUKAN QADHA SHALAT

Mazhab Syafii berpendapat bahwa meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa uzur, WAJIB diqadha dengan segera, tidak boleh ditempokan kecuali sedang melakukan kewajiban yang lain, seperti sedang mendengarkan khutbah Jum'at, mencari nafkah dan lain-lain, maka boleh ditempokan sampai menyelesaikan kewajiban. Adapun shalat yang ditinggalkan karena uzur seperti sakit, wajib diqadha walaupun tidak dikerjakan dengan segera.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa shalat yang ditinggalkan WAJIB diqadha dengan segera, bahkan lebik baik mengqadha shalat daripada menyibukkan diri dengan pekerjaan yang sunat, terkecuali shalat-shalat sunat Rawatib, shalat Dhuha, shalat Tasbih, Tahiyatul Masjid, mereka itu boleh dikerjakan namun tidak dapat dijadikan sebagai pengganti shalat-shalat wajib yang ditinggalkan, hanya saja dengan sebab mengerjakan shalat-shalat sunat yang disebutkan boleh menempokan untuk mengqadha shalat yang ditinggalkan.

Menurut mazhab Maliki, HARAM melakukan shalat-shalat sunat bagi orang yang masih ada shalat wajibnya yang belum di qadha, kecuali shalat Tahajjud dan shalat Witir. Adapun shalat Tarawih bagi orang yang belum mengqadha shalatnya yang tertinggal, di satu sisi tetap berpahala dan di sisi lain dia berdosa disebabkan melambatkan qadha shalat wajib yang ditinggalkan.

Mazhab Hambali berpendapat bahwa HARAM hukumnya melaksanakan shalat sunat sebelum mengqadha shalat wajib yang ditinggalkan. Jika dikerjakan shalat sunat seperti shalat sunat mutlak maka hukumnya haram. Adapun shalat sunat Rawatib, Witir boleh dia kerjakan, namun sebaiknya diutamakan shalat qadha.

Barangsiapa tertinggal mengerjakan shalat, maka wajib mengqadhanya sesuai dengan cara dan sifat-sifat shalat yang tertinggal itu. Jika seorang musafir yang menempuh jarak qashar sehingga tertinggal shalat yang empat rakaat, ia mengqadhanya dua rakaat, sekalipun dikerjakan di rumah. Tetapi, menurut ulama Syafi'i dan Hanbali, dalam keadaan terakhir ini, ia mengqadhanya empat rakaat, sebab hukum asal shalat adalah itmam (menyempurnakan shalat empat rakaat). Karena itu, ketika di rumah, shalat dengan itmamlah yang harus dikerjakan. Sebaliknya, jika seorang mukmin tidak dalam perjalanan (di rumah) tertinggal shalat yang empat rakaat, maka ia harus mengqadhanya empat rakaat pula sekalipun dikerjakan dalam perjalanan. Demikian juga, jika ia tertinggal shalat sirriyyah (yang bacaannya pelan) seperti Dzuhur, maka di waktu mengqadhanya harus secara sirri pula, sekalipun dikerjakan di malam hari. Sebalikmya, jika ia tertinggal shalat Jahrriyyah (yang bacaannya keras) seperti shalat Subuh, maka mengqadhanya pun harus keras pula, sekalipun dikerjakan di siang hari. Akan tetapi, menurut ulama Syafi'i yang menjadi patokan adalah waktu di mana qadha itu dilaksanakan. Jadi, seandainya qadha itu dilaksanakan pada malam hari, maka bacaannya harus dikeraskan, sekalipun yang diqadha itu shalat sirriyyah. Dan sebaliknya, jika di siang hari maka bacaan shalat harus dipelankan walaupun yang diqadhanya itu shalat jahriyyah.

Dalam mengqadha shalat yang tertinggal (shalat faa'itah) hendaknya diperhatikan tertib urutannya satu dengan yang lain. Qadha shalat Subuh dikerjakan sebelum qadha Dzuhur, dan qadha Dzuhur sebelum shalat Ashar. Di samping itu, hendaklah diperhatikan pula urutan shalat faa'itah dengan shalat pada waktunya (shalat haadhirah). Maka, apabila shalat faa'itah itu kurang dari lima waktu atau hanya lima waktu, shalat haadhirah tidak boleh dikerjakan dulu sebelum shalat faa'itah dikerjakan dengan tertib, selama tidak dikhawatirkan habisnya waktu shalat haadhirah.

Dari Ibnu Mas'ud berkata, "Ketika Perang Khandaq kaum musyrikin terlalu menyibukkan Rasulullah sampai-sampai empat shalat tertinggal, dan waktu pun telah larut malam sejalan dengan kehendak Allah. Kemudian, beliau menyuruh Bilal untuk menyerukan azan. Bilal pun menyerukannya lalu membacakan iqamah, maka beliau shalat Dzuhur, lalu berdiri lagi dan mengerjakan Ashar, berdiri lagi mengerjakan shalat Maghrib, kemudian berdiri lagi untuk mengerjakan shalat Isya'." (HR Tirmidzi dan Nasa'i. Peristiwa ini terjadi sebelum ada perintah shalat Khauf).

Ulama Hanafi berpendapat, jika seseorang setelah mengerjakan shalat haadhirah teringat akan shalat faa'itah yang belum dikerjakannya, batallah shalat haadhirahnya. Orang itu harus mengerjakan shalat faa'itah dulu dan setelah itu mengulangi shalat haadhirah. Namun, menurut ulama yang lain, ia tidak harus mengulangi shalat haadhirah. Sedang menurut ulama Maliki, sunnah mengulangi lagi shalat haadhirah setelah mengerjakan faa'itah.

Jika shalat faa'itah itu enam waktu atau lebih, maka dalam mengerjakannya tidak harus tertib, boleh dikerjakan sebelum shalat haadhirah ataupun sesudahnya.

Mengqadha shalat boleh dilakukan setiap saat, kecuali pada tiga waktu yang dilarang shalat, yaitu ketika matahari terbit, matahari berada tepat di tengah langit (waktu istiwa'), dan ketika matahari terbenam. Juga dalam satu waktu boleh mengqadha beberapa shalat yang tertinggal, sebab pengertian qadha adalah melakukan shalat yang telah lewat waktunya.

Mengqadha shalat wajib dilakukan dengan segera, baik shalat itu tertinggal karena sesuatu uzur yang tidak menggugurkan kewajibannya ataupun tanpa uzur sama sekali, dan qadha ini tidak boleh ditunda-tunda kecuali ada halangan mendesak seperti bekerja untuk mencari rezeki dan menuntut ilmu yang wajib 'ain baginya, begitu juga makan dan tidur.

Barangsiapa tertinggal sejumlah shalat, tetapi ia lupa atau tidak tahu persis berapa jumlahnya, maka ia harus mengerjakan qadha sampai merasa yakin bahwa kewajibannya telah terpenuhi.


Wallahua'lam






Temukan artikel-artikel tentang Islam lainnya di: http://lintas-islam.blogspot.com
Lintas Islam fiqh
Thursday, April 7, 2011

Belajar Sendiri Hadis dari al-Bukhari dan Muslim?

"Ada manfaat yang Muslim awam bisa harapkan dari mempelajari hadits sendiri... tetapi tanpa tangan yang membimbing, pembaca yang tidak terlatih akan salah dalam memahami banyak hadits," Nuh Ha Mim Keller memperingatkan.

Setiap Muslim bisa mendapatkan keuntungan dari membaca hadits al-Bukhari dan Muslim, baik sendiri atau dengan orang lain. Sedangkan untuk mempelajari hadis, Sheikh Shuayb al-Arnaut, dengan siapa istri saya dan saya membaca Tadrib al-Rawi (Pelatihan narator hadits)-nya Imam al-Suyuti, menekankan bahwa ilmu yang berkaitan dengan hadits sangat kompleks dan membutuhkan penguasaan literatur yang luas, lautan besar informasi yang memerlukan nahkoda untuk membantu menavigasi, tanpa satupun yang terdampar di batu karang. Dalam konteks ini, Syekh Shuayb pernah mengatakan kepada kami, "Barangsiapa tidak memiliki seorang syekh, Iblis adalah syekh-nya, dalam setiap disiplin ilmu Islam." Dengan kata lain, ada manfaat yang Muslim awam dapat harapkan dari membaca hadits secara pribadi, dan keuntungan yang dia tidak bisa dapatkan, kecuali ia dilatih secara baik dan menggunakan alat sastra lainnya, terutama menyangkut komentar-komentar klasik yang menjelaskan makna hadits dan hubungannya dengan Islam secara keseluruhan.

Manfaat yang bisa didapatkan dari membaca al-Bukhari dan Muslim banyak: pengetahuan umum fundamental seperti iman kepada Allah, kenabian Muhammad SAW, Hari Akhir dan seterusnya; serta aturan moral umum Islam untuk berbuat baik, menghindari kejahatan, melakukan shalat, puasa Ramadhan, dan sebagainya. Koleksi hadits lain juga mengandung banyak poin yang menarik, seperti pahala besar untuk tindakan ibadah seperti shalat pagi (Dhuha), berjaga shalat malam (Tahajjud), puasa pada hari Senin dan Kamis, memberikan amal jariyah, dan seterusnya. Siapapun yang membaca ini dan mengamalkannya dalam hidupnya memiliki keuntungan besar dari membaca hadits, bahkan lebih baik lagi jika ia bertujuan untuk menyempurnakan diri dalam mencapai karakter mulia Nabi SAW. Disebutkan dalam hadis "Barangsiapa yang mempelajari dan mengikuti contoh nabi, ia telah beruntung di dunia dan akhirat".

Apa yang tidak diharapkan dalam membaca hadis (tanpa instruksi pribadi dari seorang syekh untuk beberapa waktu) ada dua hal: untuk menjadi alim atau ulama Islam, dan menyimpulkan fiqh (hukum Islam) dari hadis-hadis tentang praktik syariah khusus.

Tanpa tangan yang membimbing, pembaca yang tidak terlatih akan salah memahami banyak hadits yang ia baca, dan kesalahan-kesalahan ini, jika terakumulasi dan tidak dikoreksi, bisa menumpuk sampai dia tidak pernah dapat menemukan jalan keluar, apalagi menjadi seorang ulama hadis. Orang tersebut sangat mudah menjadi mangsa bagi gerakan sektarian modern dari zaman kita yang muncul dalam kedok neo-ortodoks, yang dipublikasikan dan dibiayai secara baik, mengutip Quran dan hadis-hadis kepada orang-orang awam untuk membuat anggapan dasar dari semua aliran yang menyimpang sejak awal Islam, yaitu, bahwa hanya mereka lah Muslim sejati. Gerakan tersebut dapat mengemukakan hadis otentik (hadis hasan) yang dibawa oleh Aisyah (Allah berkenan dengan dia) oleh al-Hakim al-Tirmidzi bahwa Nabi SAW mengatakan, "syirik (politeisme) lebih tersembunyi di Umatku daripada semut yang merayap di sebuah batu halus yang besar pada malam yang gelap gulita. . . (Nawadir al-usul fi marifa Ahadis al-Rasul. Istanbul 1294/1877. Reprint. Beirut: Dar Sadir, n.d., 399).

Hadis ini telah digunakan sejak awal gerakan sekte Wahabi sampai sekte gerakan saat ini untuk meyakinkan masyarakat umum bahwa mayoritas Muslim bukanlah Muslim sesungguhnya, melainkan musyrikin, dan mereka yang tidak sepaham dengan pandangan syekh mereka berada di luar Islam yang benar.

Sebagai jawaban, para ulama tradisional menunjukkan bahwa kata fii ummati, "di dalam umatku" dalam hadits jelas menunjukkan bahwa apa yang dimaksudkan di sini adalah syirik kecil, dosa tertentu yang meskipun serius, tidak menjadikannya kafir (keluar dari Islam). Kata syirik memiliki dua makna. Yang pertama adalah syirik besar, yaitu menyembah selain Allah, dimana Allah berfirman dalam surat an-Nisa, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi mengampuni dosa selain dari itu kepada siapa yang Dia kehendaki" (Quran 4:48), dan ini adalah syirik kafir. Yang kedua adalah syirik yang lebih rendah akibat dosa-dosa yang menyangkut kekurangan tauhid seseorang, tetapi tidak sampai menyebabkannya keluar dari Islam. Contohnya termasuk menyukai seseorang yang berbuat salah (disebut syirik karena seseorang berharap untuk mendapatkan keuntungan dari apa yang Allah telah menetapkan tidak ada manfaat di dalamnya), atau membenci seseorang karena sesuatu yang benar (disebut syirik karena seseorang menjauhi dari apa yang Allah telah menetapkan manfaat di dalamnya), atau dosa memamerkan (riya) dalam ibadah, sebagaimana disebutkan dalam hadis otentik (sahih) bahwa Nabi SAW mengatakan, "Sedikit pun pamer dalam amal-amal baik adalah syirik" (al-Mustadrak ala al-Sahihayn. 4 vols. Hyderabad, 1334/1916. Reprint (with index vol. 5). Beirut: Dar al-Marifa, n.d.,1.4). Dosa-dosa seperti itu tidak menempatkan seseorang di luar Islam, meskipun mereka merupakan ketidaktaatan dan menunjukkan kurangnya keyakinan (iman).

Ulama mengatakan bahwa dosa seperti yang dimaksud dengan hadits di awal adalah syirik kecil, karena jika yang dimaksudkan adalah syirik besar atau kafir, Nabi SAW tidak akan menyebut individu sebagai "di dalam umatku", karena kekufuran adalah terpisah dan berbeda dari Islam, dan tentu di luar itu. Ini juga dikuatkan oleh versi lain dari hadits terkait dari Abu Bakar (Nawadir al-ushul, 397), di mana kata fikum atau "pada kalian" menggantikan kata "di dalam umatku", merujuk langsung ke para sahabat nabi, yang tidak ada satupun dari mereka yang merupakan seorang musyrik atau penyembah berhala, sesuai konsensus bulat (ijma) dari seluruh ulama Muslim. Adapun dosa syirik kecil itu tidak bisa hilang pada seseorang, itulah mengapa dalam hadits ketersembunyian mereka dibandingkan dengan ketidaknampakan merayapnya semut di atas sebuah batu halus yang besar pada malam yang gelap gulita, yaitu karena kehalusan motif manusia, dan kemudahan di mana manusia bisa menipu diri mereka sendiri.

Demikian pula, al-Bukhari menceritakan bahwa Nabi SAW berkata: "Sesungguhnya, kamu akan mengikuti cara orang-orang yang sebelum kamu, jarak demi jarak, dan hasta demi hasta, sampai-sampai jika mereka masuk ke sarang biawak, kamu akan mengikuti mereka." Kami berkata, "Wahai Rasulullah, (apakah mereka) orang Yahudi dan Kristen?" Dan beliau berkata, "Siapa lagi?" (Sahih al-Bukhari. 9 vols. Cairo 1313/1895. Reprint (9 vols. in 3). Beirut: Dar al-Jil, n.d., 9.126: 7320).

Hadits ini juga digunakan oleh gerakan-gerakan modern yang mengaku kembali ke Quran dan sunnah, mengatakan bahwa mayoritas Muslim Sunni umum yang mengikuti aqidah (prinsip-prinsip iman) atau fiqh mainstream imam Sunni ortodoks (yang karya klasiknya jarang yang sesuai dengan pandangan mereka) adalah yang dimaksudkan oleh hadits ini, sementara ada banyak bukti bahwa mayoritas umat ortodoks dilindungi dari kesalahan oleh Allah, seperti hadis sahih yang terkait oleh al-Hakim bahwa "tangan Allah di atas jamaah, dan siapa pun menyimpang dari mereka menyimpang ke neraka" (al-Mustadrak, 1,116). Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa ayat-ayat Alquran seperti "Jikalau kamu menuruti kebanyakan dari mereka di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah" (Quran, 6:116) tidak merujuk kepada mereka yang mengikuti ulama Islam tradisional (yang di antara mereka belum pernah menjadi mayoritas di bumi), melainkan mayoritas umat manusia non-muslim.

Hadis yang disebutkan sebelumnya mengenai mengikuti orang Yahudi dan Kristen, di masa kita merujuk kepada Muslim yang meng-copy Barat dalam semua aspek kehidupan mereka, rasional dan tidak rasional, bahkan sampai mendirikan bank di kota Muslim dan tempat-tempat suci yang belum pernah dinodai oleh usury (riba) secara institusional sejak masa pra-Islam. Atau mereka yang mempromosikan ideologi sektarian memecah-belah dengan kedok gerakan reformasi di kalangan umat Islam, seperti orang Yahudi dan Kristen telah lakukan dalam agama mereka masing-masing.

Ulama tradisional dilindungi dari kesesatan tersebut oleh pengetahuan asli yang telah dilestarikan, dari guru hidup ke guru hidup lainnya, dalam suksesi tak terputus kembali sampai ke Nabi SAW. Kembali ke pertanyaan kita, tanpa suatu proses kontrol kualitas, pembaca hadis tanpa pemandu tidak bisa berharap untuk menjadi semacam ulama buatan sendiri ("ulama homemade"), memberikan fatwa berdasarkan apa yang dia temukan dalam al-Bukhari atau Muslim saja, karena hadis sahih terkait untuk pertanyaan hukum Islam tidak hanya ditemukan dalam dua karya tersebut, tetapi dalam banyak karya besar lain, di mana mereka yang membuat penilaian pada pertanyaan-pertanyaan ini pasti tahu. Aku telah menyebutkan di tempat lain beberapa ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh ulama untuk menggabungkan semua hadits, dan kondisi masing-masing hadis atau kondisi hadis atau ayat Alquran yang lebih spesifik atau lebih umum yang dikenakan pada pertanyaan. Tanpa pengetahuan ini, dan syekh tradisional yang membimbing, seseorang pasti tersandung, sesuatu yang aku ketahui karena aku secara pribadi telah mengalaminya.

Ketika aku pertama kali datang ke Yordania pada tahun 1980, ada yang membuat terkesan dalam benak-ku bahwa seorang Muslim tidak memerlukan apa-apa selain Quran dan hadis sahih. Setelah membaca Quran bahasa Arab yang diterjemahkan oleh AJ Arberry dan mencatat apa yang aku pahami, aku duduk mempelajari Sahih al-Bukhari terjemahan Muhammad Muhsin Khan dan menelusuri semua hadist, jilid demi jilid, menuliskan segala sesuatu yang tampaknya mengatakan apa yang harus dilakukan oleh seorang Muslim. Ini merupakan upaya untuk 'potong jalan' melewati pembaharuan-pembaharuan dalam hukum Islam selama berabad-abad seperti yang orientalis telah ajarkan kepada-ku tentang hal tersebut di Universitas Chicago, upaya untuk menggapai Islam murni dari sumber aslinya sendiri. Salafisme-ku dan orientalisme-ku berkumpul di titik ini.

Akhirnya, aku menghasilkan naskah hadis terpilih al-Bukhari, semacam buku petunjuk syariah "do-it-yourself". Aku masih menggunakannya sebagai indeks untuk hadis-hadis dari al-Bukhari, meskipun kesimpulan fiqh dari ijtihad-ijtihad amatirku terasa memalukan bila dilihat saat ini. Ketika hadis yang disebutkan tampaknya bertentangan satu sama lain, aku hanya akan memilih mana yang aku inginkan, atau mana yang lebih dekat dengan kebiasaan Barat -ku. Setelahnya, aku berkata, bahwa Nabi SAW tidak pernah diberi pilihan antara dua hal kecuali bahwa ia memilih yang lebih mudah dari keduanya (Sahih al-Bukhari, 4,230: 3560). Sebagai contoh, aku telah diberitahu bahwa bukanlah sunnah untuk buang air kecil sambil berdiri, dan telah mendengar hadits dari Aisyah bahwa siapa pun yang mengatakan bahwa Nabi SAW telah buang air kecil sambil berdiri, maka ia tidak beriman kepadanya (Musnad al-Imam Ahmad. 6 vols. Cairo 1313/1895. Reprint. Beirut: Dar Sadir, n.d., 6.136). Tetapi kemudian aku membaca dalam hadis al-Bukhari bahwa Nabi SAW pernah sekali buang air kecil sambil berdiri (Sahih al-Bukhari, 1.66: 224), dan memutuskan bahwa apa yang pertama kali diberitahukan kepadaku adalah sebuah kesalahan, atau bahwa mungkin itu tidak terlalu penting. Hanya kemudian, ketika aku mulai menerjemahkan dari bahasa Arab manual fiqh Syafi'i "Reliance of The Traveller", aku menemukan bagaimana para ulama syariah telah menggabungkan implikasi dari hadist ini, bahwa berdirinya Nabi SAW untuk buang air kecil adalah untuk mengajarkan umat bahwa itu tidak melanggar hukum (haram), melainkan hanya ofensif (makruh) - meskipun dalam kaitannya dengan Nabi tindakan seperti itu tidak menyimpang, melainkan wajib untuk dilakukan setidaknya satu kali untuk mengajarkan umat bahwa mereka tidak melanggar hukum - atau menurut ulama lain, untuk menunjukkan hal itu diperbolehkan dalam situasi di mana untuk mencegah air kencing memercik ke pakaian.

Dalam retrospeksi, awal kesalahan petualanganku di hadits memungkinkan aku untuk menghargai cara fiqh dihasilkan. Aku kemudian belajar untuk menggabungkan di antara semua hadits, sesuatu yang secara pribadi tidak dapat aku lakukan sebelumnya. Dan aku mengerti mengapa, dari Imam hadits terkemuka, Imam al-Bukhari mengambil yurisprudensi-nya Syafi'i dari muridnya Imam Syafi'i, Abdullah ibn al-Zubayr al-Humaydi (al-Subki, Tabaqat al-Shafi'iyya al-kubra. 10 vols. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1383/1964, 2.214), dan mengapa Imam Muslim, al-Tirmidzi, Abu Dawud, dan al-Nasai juga mengikuti sekolah Syafi'i (Mansur Ali Nasif, al-Taj al-jami li al-usul fi ahadith al-Rasul. 5 vols. Cairo 1382/1962. Reprint. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, n.d., 1.16), seperti yang dilakukan juga oleh al-Baihaqi, al-Hakim, Abu Nuaym, Ibnu Hibban, al-Daraqutni, al-Baghawi, Ibnu Khuzayma, al-Suyuti, al-Dhahabi, Ibn Kathir, Nur al-Din al-Haythami, al-Mundhiri, al-Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqalani, Taqi al-Din al-Subki dan lain-lain, mengapa pula imam seperti al-Rahman bin Abd al-Jawzi mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal, dan mengapa Abu Jafar al-Tahawi, Ali al-Qari, Jamal al-Din al-Zaylai (Syekh Afrika Ibnu Hajar Al-Asqalani, dianggap oleh beberapa ulama lebih berpengetahuan dari dia), dan Badr al-Din al-Ayni mengikuti sekolah Hanafi.

Fakta-fakta ini berbicara dengan fasih tentang peran hadis dalam syariah di mata para Imam ini, dibandingkan dengan mereka yang menganggap bahwa tidak penting berlatih baik dalam fiqh atau hadits, seperti yang disarankan oleh beberapa Muslim hari ini. Tetapi lebih tepatnya, fiqh dari hadis diwujudkan dalam mazhab tradisional yang mereka ikuti. Ada ruang bagi kita untuk memperoleh manfaat banyak dari contoh mereka.






© Nuh Ha Mim Keller 1995
From "Would you advise individuals to study hadith from al-Bukhari and Muslim on their own?"

Nuh Ha Mim Keller adalah penerjemah Muslim Amerika dan spesialis hukum Islam. Lahir pada tahun 1954 di barat-laut America Serikat, mengikuti pendidikan filosofi dan bahasa Arab di University of Chicago and UCLA. Ia masuk Islam pada tahun 1977 di al -Azhar, Cairo, dan kemudian mempelajari Sains Hadis Islam Tradisional, yurisprudensi Syafi 'i dan Hanafi , metodologi hukum (usul al-fiqh), dan `aqidah di Syria dan Jordan, di mana ia tinggal sejak tahun 1980. Terjemahan bahasa Inggris dari `Umdat al- Salik' [The Reliance of the Traveller] (1250 pp., Sunna Books, 1991) adalah karya hukum Islam pertama dalam bahasa Eropa yang menerima sertifikasi dari Al Azhar, institusi pendidikan tinggi Muslim tertua di dunia. Ia juga menerima ijasah atau "sertifikat otorisasi" dalam yurisprudensi Islam dari para syeikh di Syria dan Jordan.
Lintas Islam fiqh
Sunday, April 3, 2011

Umur Aisyah RA Saat Menikah


Dalam Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husein Haikal disebutkan bahwa Aisyah dipinang kepada orangtuanya tatkala ia berusia sembilan tahun dan dibiarkannya dua tahun sebelum perkawinan dilangsungkan. Ini berarti bahwa usia Aisyah saat menikah dengan rasulullah SAW minimal 11 tahun.


KETERANGAN-KETERANGAN LAIN

Sebagian besar riwayat yang menceritakan bahwa usia Aisyah saat menikah dengan Rasulullah SAW adalah 6 tahun, berasal dari hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari Bapaknya. Adalah aneh bahwa tak ada seorang pun yang di Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini. Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, dimana Hisham tinggal disana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua.

Tehzibu'l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat: "Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq" (Tehzi'bu'l-Tehzi'b, Ibn Hajar Al-`asqala'ni, Dar Ihya Al-Turath Al-Islami, 15th Century. Vol 11, p.50).

Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: "Saya pernah diberi tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq" (Tehzi'b u'l-Tehzi'b, IbnHajar Al- `asqala'ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).

Mizanu'l-ai`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup para periwayat hadist Nabi SAW mencatat: "Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok" (Mizanu'l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu'l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).

Berdasarkan referensi ini, ingatan Hisham sangatlah jelek dan riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.

Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal dan Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: "Semua anak Abu Bakar (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya" (Tarikhu'l-umam wa'l-mamlu'k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4, p. 50, Arabic, Dara'l-fikr, Beirut, 1979).

Jika Aisyah dipinang pada tahun 620 M (usia 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al-Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613 M, yaitu 3 tahun sesudah masa jahiliyah usai (610 M).

Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya Aisyah berusia minimal 14 tahun ketika dinikah. Ini berarti bahwa Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.

Menurut Ibn Hajar, "Fatimah dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun. Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah" (Al-isabah fi tamyizi'l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu'l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978).

Jika Statement Ibn Hajar adalah faktual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, usia Fatimah minimal 17 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah minimal 12 tahun.

Dari tiga keterangan oleh Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal di atas, tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah di usia 6 tahun tidak benar.

**********

Menurut Abda'l-Rahman ibn abi zanna'd: "Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`la'ma'l-nubala', Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu'assasatu'l-risalah, Beirut, 1992). Menurut Ibn Kathir: "Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya (Aisyah)" (Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).

Menurut Ibn Kathir: "Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut riwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau bebrapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun" (Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933)

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: "Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 atau 74 H." (Taqribu'l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi'l-nisa', al-harfu'l-alif, Lucknow).

Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun di tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622 M). Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah, Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah dan menikah dengan Rasulullah SAW pada usia antara 18-20 tahun (623/624 M).

**********

Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam Hadist Muslim, (Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab Karahiyati'l-isti`anah fi'l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu momen penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: "ketika kami mencapai Shajarah". Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar. Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab Ghazwi'l-nisa' wa qitalihinnama`a'lrijal): "Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. (pada hari itu) Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh. Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya (untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb)."

Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr.

Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu'l-maghazi, Bab Ghazwati'l-khandaq wa hiya'l-ahza'b): "Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tersebut."

Berdasarkan riwayat diatas,
(a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan
(b) Aisyah ikut dalam perang badar dan Uhud.

Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud yang mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 6 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.

**********

Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: "Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa arab) ketika Surah Al-Qamar diturunkan" (Sahih Bukhari, kitabu'l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa'l-sa`atu adha' wa amarr).

Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tersebut diturunkan pada tahun 614 M. Jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M atau 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah dalam bahasa arab) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane's Arabic English Lexicon). Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia minimal 14 sampai 21 tahun ketika dinikahi Nabi.

Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah (Khadijah), Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi. Nabi SAW bertanya kepadanya ttg pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: "Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)". Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis (bikr) tersebut, Khaulah menyebutkan nama Aisyah.

Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata 'bikr" dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 6 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. "Bikr" disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam bahasa Inggris "virgin". Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 6 tahun bukanlah "wanita" (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).

Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah "wanita dewasa, yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan (virgin)." Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang gadis dewasa pada waktu menikahnya.

Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 6 tahun. Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah SAW dan Aisyah ketika berusia 6 tahun.

**********

Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 6 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran karena tidak sesuai dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak bisa diandalkan dan berkontradiksi dengan pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim, yang menunjukkan mengenai usia menikah Aisyah 6 tahun ketika menikah adalah tidak nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.

Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai bahwa Aisyah berusia 6 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tersebut.

KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:

pra-610 M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M      : turun wahyu pertama dan Abu Bakar menerima Islam
613 M      : Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
615 M      : Hijrah ke Abyssinia.
616 M      : Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M      : dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M      : Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Madinah.
623/624 M: dikatakan Nabi SAW berumah tangga dengan Aisyah.


Daftar Bahan Acuan:

1. The Ancient Myth Exposed By T.O. Shanavas, di Michigan. © 2001 Minaret from The Minaret. Source: http://www.iiie.net/
2. Muhammad Husain Haekal, Seri Pustaka Islam. Sejarah Hidup Muhammad Penerbit PUSTAKA JAYA. Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980.






Temukan artikel-artikel tentang Islam lainnya di: http://lintas-islam.blogspot.com
Lintas Islam fiqh, sejarah